“Yuuk… kita buktikan sekarang, kita buktikan hari ini di Padang ada prostitusi online…” Inilah kata pertama yang keluar dari video yang beredar luas tentang aksi 'heroik" seorang anggota parlemen ketika akan “menggerebek” kamar 606 di salah satu hotel berbintang di Kota Padang.
Aksi anggota parlemen itu bertujuan untuk membuktikan bahwa di Kota Padang ada praktik esek-esek yang dianggap banyak orang sebagai perbuatan yang merusak moral dan kesusilaan. Benar saja, ternyata di kamar itu terdapat sepasang umat manusia berlainan jenis kelamin. Ditemukan juga beberapa barang hasil transaksi dan alat pengaman.
Perempuannya diinterogasi, lalu digiring ke kantor polisi. Padanya kemudian dicapkan label tersangka. Ia dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pria berhidung belang yang telah “mengorder” dan menurut pengakuan si perempuan saat diwawancara oleh media bahwa ia sempat “dipakai” hilang di saat penggerebekan yang dilakukan oleh si anggota parlemen bersama polisi dan beberapa wartawan dari berbagai media.
Di sinilah masalah mulai muncul. Kenapa kok hanya perempuannya saja yang dicokok? Bukankah jika mau berbicara moral dan kesusilaan itu menjadi tanggung jawab para pembuat (baik yang mengorder, memakai, dan menikmati)? Tidak bisa disalahkan hanya pada objeknya saja. Postulat bahwa objek yang salah membuktikan bahwa standar moral dan susila masih dipengaruhi oleh pola subjektifitas kolonial.
Pada awal masa kolonial Belanda, para pria Eropa yang hendak memperoleh kepuasan seksual mulai mempekerjakan pelaku atau selir dari wanita lokal. Ketika pelacuran dianggap membawa wabah, malah si perempuannya yang disalahkan.
Kasus di Padang yang berusaha di pertontonkan oleh si anggota parlemen, semakin memperkuat subjektifitas moral dan susila itu. Sehina-hinanya pelacur, jauh lebih hina mereka yang mengorder dan memakai si pelacurnya. Jika tidak ada konsumennya, maka lama-kelamaan praktik 'perdagangan lendir' itu juga akan berkurang. Kenapa masih ada prostitusi? Ya, karena masih ada pelanggan, ada yang membutuhkan.
Jika si anggota parlemen serius untuk menjadi “polisi susila” harusnya tidak menggunakan standar ganda. Karena sesungguhnya orang yang mengorder PSK, tidak telah mendekatkan diri pada zina, apapun motifnya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak disukai oleh Sang Pencipta.
Menggunakan Instrumen Negara
Tidak ada aturan hukum di Indonesia yang secara spesifik bisa menjerat si pria hidung belang. KUHPidana hanya memberikan hak kepada istri si pria hidung belang untuk dapat mengadukan perbuatan suaminya -zina. Itupun kalau si pria hidung belang punya istri, dan istrinya merasa tidak senang. Sungguh nikmat hidup si pria hidung belang. Karena memang dulu sejarahnya user dari PSK kebanyakan Penjajah dan diikuti oleh mereka yang punya kuasa.
Namun demikian, jika ada keseriusan dalam penegakan hukum. Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang (UU PTPO). Yang dimaksud perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Dari kasus yang terjadi di Kota Padang, setidaknya ada unsur penyalahgunaan kekuasaan, posisi yang rentan dan atau memberi bayaran sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali, sehingga terjadi tindakan berupa persetubuhan atau perbuatan cabul.
UU PTPO menjadi jawaban untuk menjerat setiap orang yang berperan terjadinya prostitusi. Baik bagi mereka yang menyediakan jasa maupun mereka yang menggunakan jasa prostitusi. Apalagi ada fakta yang dapat mengarah pada dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Di akhir tulisan ini, ada satu pertanyaan yang menjanggal di pikiran saya. Fungsi apa yang sesungguhnya dilakukan oleh anggota parlemen tersebut, jika memang ingin menegakkan moral, susila dan hukum?Alangkah baiknya, serahkan secara resmi kepada pihak yang berwenang untuk itu. Jika pihak yang berwenang tidak melakukan tindakan, gunakan hak pengawasan dengan memanggil dan memeriksa si petugas. (*)