“Angin yang berhembus/di akhir November/bawa kisah dan lagu/dari angin lalu…”
Sepotong lirik dengan atmosfir musik yang sedikit dark. Gelap dan sendu yang dalam. Tiba-tiba sering muncul berkelindan dengan lagu-lagu Ebit G. Ade, di ruang lini masa. Seperti biasa, tabiat sebuah lagu, memanggil pesan absur dalam sumbu sejarah di kepala, di tengah suasana duka ini, ingatan tiba saat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di bangku sekolah dasar akhir 80’an, yang bertemu pertama dengan diksi yang hari kini justru memahaminya lebih dalam. Diksi itu, Angin Muson; Peralihan arah angin akibat tekanan antar benua pada bulan-bulan tertentu. Termasuk bulan November!
Setelah lagu itu, muncul lagi istilah Munson Asia, diksi jadul itu diverifikasi ke berbagai sumber secara daring, maka ketemulah maksud diksi ini. Diksi yang benar ditulis dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Muson. Maka benar penulisannya, dari sudut aturan resmi di negeri Agak Laen ini, adalah Angin Muson. Sementara itu, di media-media online, kini ditulis Badai Munson Asia.
Angin Muson itu melahirkan istilah baru berdasarkan peristiwa yang terjadi, ada lagi Siklon Tropis Senyar, lagi-lagi tentang angin kencang yang melanda banyak kawasan nusantara bagian barat: Thailand, Malaysia, Indonesia dimana kepulauan Sumatera bagian barat, Aceh, Sumut, Sumbar, sangat terdampak dari angin ini. Menghempas banyak hal, menerbangkan nyawa saudara-saudara kita. Kita berduka atasnya.
Apa itu Muson? Diksi ini berasal dari Bahasa Arab! Mausim (موسم), yang berarti musim, penanda waktu tertentu, misalnya; موسم الحج (mawsim al-ḥajj); Akar katanya adalah و-س-م (wasama) yang berkaitan dengan tanda atau penanda waktu. Menurut sejarah, para saudagar Arab pada abad ke-9 hingga ke-14 yang berlayar di Samudra Hindia menyebut angin yang datang secara musiman sebagai ar-riyāḥ al-mawsimiyyah. Melalui perdagangan di Samudra Hindia, istilah ini kemudian masuk ke: Bahasa Portugis → monção, Bahasa Belanda → moesson, Bahasa Inggris → monsoon, Bahasa Indonesia → muson. Jadi, muson = angin musim. Menundukkan angin adalah cara kerja hasil daya pikir manusia membaca alam. Alam takambang menjadi guru. Para pelaut ulung, menyadari pada musim tertentu, angin bertiup dari barat daya (muson barat). Pada musim lainnya, angin bertiup dari timur laut (muson timur).
Angin ini menentukan kapan kapal bisa berlayar menuju India, Nusantara, Cina, dan sebaliknya. Tanpa memahami “angin musim, muson, munson” ini, perdagangan maritim tidak akan berfungsi. Jadi, penyebutan mausim, monsoon, muson sepenuhnya berdasarkan sifat angin yang berganti sesuai musim. Sempat terpikirkan ini nama seseorang, sebagai penemu musim angin ini, sebagaimana biasanya dunia ilmu, selalu melekatkan temuannya kepada seorang tokoh yang pertama menemui, menggunakan dan mengatakannya pertama kali.
Mausim (موسم) muncul berbeda atas perbedaan transliterasi dari bahasa atau kesalahan penulisan yang diwariskan dalam beberapa buku. Tetapi istilah ilmiah dan baku dalam bahasa Indonesia tetap muson, sedangkan dalam bahasa internasional tetap sering dipakai monsoon. Sekali lagi, akar bahasa awalnya, Arab; Mausim!
Pada tahun 1976, adalah Emilia Contessa (1957-2025) menulis dan menyanyikan lagu Angin November, sebagaimana ditulis di atas. Nada-nada lirih yang kini banyak diputar di video pendek social media dengan potongan-potongan gambar yang menyembilu hati. Dan, itulah yang berulang kini. Angin akhir November 2025, membawa nyawa saudara-saudara kita menemui pemilik-Nya. Alfatihah!
Muson akhir November 2025, duka lara yang tiada pernah cepat lupa atas bencana hidrometerologi bercampur krisis ekologis karena lemahnya tata kelola hutan kita. Selamat tinggal angin Mausim (موسم) November yang menderu pilu. Pepatah latin ditulis begini, tempus rerum imperator/waktu akan menyelesaikan semuanya. Kami telah tiba pula di awal Desember, menjinjing kenangan pahit yang akan jadi i’tibar. Salam. []
Abdullah Khusairi adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Imam Bonjol






