Mengenal Rahmah El Yunusiyah, Peraih Gelar Pahlawan Nasional Asal Sumbar yang Ditetapkan Hari Ini

Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

Sumber: commons.wikimedia.org

Langgam.id – Hajjah Rahmah El Yunusiyah menjadi satu dari 10 nama yang dibacakan Presiden Prabowo Subianto untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun 2025. Ia berasal dari Sumatra Barat, persisnya Kota Padang Panjang.

Kepatutan Rahma mendapat gelar Pahlawan Nasional sepintas disebutkan oleh protokoler dalam agenda pengumuman Pahlawan Nasional tahun 2025. Rahma dikatakan berasal dari Sumatra Barat. Ia pahlawan bagian perjuangan pendidikan Islam. Rahma juga disebutkan adalah ulama, pendiidk, dan pejuang kemerdekaan, dimana dedikasi paling menonjol mempelopori pendidkan perempuan Islam di Indonesia.

Nah, siapa Rahma dan seperti apa perjuangan serta dedikasi semasa hidup. Langgam.id menurunkan biodata singkat Rahma El Yunusiyah yang ditulis jurnalis cum sejarawan Hasril Chaniago. Naskah ini pun menjadi fragmen Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang yang terbit tahun 2023 silam. Berikut biodata lengkap Rahma sebagai ditulis Hasril Chaniago.

Rahmah El Yunusiyah (ejaan lama: Rahmah El Joenoesijjah) adalah pendiri dan pemimpin Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang, dijuluki juga “Kartini Pendidikan Islam” dan “Ibu Pendidikan Indonesia”. Warisannya, sekolah putri yang telah berumur hampir satu abad, tetap eksis hingga saat ini dan telah melahirkan banyak alumni yang sukses di berbagai bidang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia.

Dilahirkan di Padang Panjang pada tanggal 29 Desember 1900, Rahmah adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus, seorang qadi di Nagari Pandai Sikek, sedangkan ibunya bernama Rafi’ah. Kakeknya Imanuddin adalalah ahli ilmu falak dan seorang pemimpin Tarikat Naqsyabandiyah yang terkenal dan turut berjasa memberantas bid’ah dan khurafat dan tempat-tempat keramat di Minangkabau pada masa itu.

Rahmah dididik dan dibesarkan dalam keluarga Islam yang berpikiran maju pada zamannya. Kakak lelakinya, Zainuddin Labay El Yunusy (1890-1924), adalah seorang ulama muda dan tokoh pendidikan Islam pembaharu yang mendirikan Perguruan Diniyah School Padang Panjang.

Rahmah sudah menjadi anak yatim dalam usia balita karena ditinggal mati ayahnya. Ia diasuh dan dibesarkan oleh ibu serta kakak-kakaknya. Ketika berumur 16 tahun ia dikawinkan dengan H. Baharuddin Latif, seorang ulama berpikiran maju asal Sumpur, Singkarak. Tetapi enam tahun kemudian (1922) pasangan ini bercerai secara baik-baik dan tidak mempunyai anak. Setelah itu Rahmah tidak menikah lagi hingga akhir hayatnya.

Pendidikan formal yang diterima Rahmah hanya sampai kelas III sekolah rakyat di Padang Panjang. Setelah itu ia lebih banyak belajar sendiri dan berguru langsung kepada ulama-ulama terkemuka pada masa itu seperti Syekh Dr. H. Abdul Karim Amarullah (Inyiak DR), S Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pimpinan Thawalib Padang Panjang), serta kepada kakaknya sendiri, Zainuddin Labay El Yunusy.

Selain belajar pengetahuan umum dan ilmu agama, Rahmah juga belajar ilmu kebidanan dari salah seorang saudara ibunya. Ia juga belajar ilmu kesehatan dari beberapa orang dokter yang ada pada waktu itu, antara lain dr. Sjofjan Rasjad, dr. Tazar (Kayutanam), dr. A. Saleh (Bukittinggi), dr. Arifin (Payakumbuh), dan dr. Rasjidin serta dr. A. Sani (Padang Panjang).

Rahmah menjalani masa remaja pada zaman penjajahan Belanda. Sebagai bangsa terjajah, masalah utama yang dihadapi adalah pendidikan. Pada masa itu (1920-an), penduduk pribumi yang bisa baca-tulis baru sekitar 5 persen (menurut Sensus tahun 1930, baru 6 persen penduduk pribumi yang bisa membaca dan selebihnya buta huruf). Dalam kondisi seperti itu, manusia terdidik didominasi oleh kaum pria. Sedangkan kaum perempuan dianggap hanya layak bekerja di dapur, mengasuh anak dan melayani suami.

Dalam pandangan Rahmah, kaum wanita harus dimajukan melalui pendidikan agar mereka bisa menjadi ibu yang baik di rumah tangga dan mampu pula menjadi guru pendidik masyarakat di sekolah. Cita-cita kemajuan itu hanya bisa dicapai bila kaum perempuan mendapat kesempatan pendidikan secara luas. Rahmah pun sampai pada satu kesimpulan bahwa perlu ada perguruan khusus untuk anak-anak perempuan. Dia bercita-cita memperbaiki kedudukan kaum wanita melalui pendidikan moderen berdasarkan prinsip agama.

Setelah berkali-kali menyampaikan keinginannya dan berdiskusi dengan kakaknya, akhirnya Zainuddin menyokong keinginan Rahmah untuk mendirikan perguruan yang dicita-citakannya. Maka pada tanggal 1 November 1923 berdirilah Madrasatul Dinijjah lil Banat yang artinya sekolah khusus untuk anak-anak perempuan yang dipimpin oleh Rahmah. Mula bergiatnya perguruan ini tidaklah melaksanakan pendidikan dalam ruang kelas sebagaimana layaknya ruang kelas masa kini. Menempati sebuah surau di Pasar Usang Padang Panjang, murid-muridnya duduk di tikar dan belajar membaca buku-buku berbahasa dan bertulisan Arab.

Setahun kemudian Zainuddin Labay meninggal, sehingga Rahmah pula yang mengambil alih pimpinan Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid pria saja. Sejak itu, praktis Rahmah menjalankan kedua perguruan tersebut. Kedua sekolah itu dengan cepat dikenal oleh masyarakat dan muridnya terus bertambah. Tetapi baru berjalan tiga tahun, ketika terjadi Gempa Padang Panjkang tahun 1926, gedung kedua sekolah itu rubuh bersama banyak bangunan lainnya di kota itu. Musibah tersebut tidak menyurutkan semangat Rahmah mewujudkan cita-citanya. Dengan segala daya upaya berusaha mendirikan kembali bangunan untuk sekolahnya tanpa mau meminta-minta bantuan kepada orang lain.

Ia berusaha sendiri mencari dana dengan melakukan perjalanan sembari memberikan penerangan tentang cita-cita perguruannya ke luar daerah, di antaranya ke Aceh, Sumatra Utara, bahkan ke Semenanjung Malaysia.

Di Malaysia, sekitar tahun 1933, Rahmah masuk ke istana-istana Sultan di Negeri Sembilan, Penang, Selangor, Pahang dan Kedah. Di sana ia mengajar putri-putri istana. Perjalanan ini sangat mengesankan baginya, karena para sultan yang ditemuinya memberikan bantuan untuk perguruannya di Padang Panjang. Dengan usaha itu ia mendapat biaya untuk membangun kembali Sekolah Diniyah, dan nama perguruannya pun harum ke mana-mana.

Berhasil memajukan sekolah yang didirikan dan dipimpinnya, ternyata Rahmah tidak hanya puas bergerak di bidang pendidikan. Ia juga aktif di bidang pergerakan sosial, keagamaan, dan pergerakan politik yang pada tahun 1930-an tumbuh subur di Padang Panjang. Ia dekat dan turut menyokong pergerakan Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berdiri di Padang Panjang pada awal tahun 1930-an. Ia juga dekat dan bahu membahu dengan kalangan Muhammadiyah, serta tokoh wanita lainnya, Rasuna Said yang juga mengajar di perguruannya.

Selain untuk memajukan pendidikan dan kaumnya, Rahmah juga aktif dalam pergerakan menentang praktik-praktik penindasan ataupun pengekangan oleh penjajah Belanda. Gerakan itu ia lakukan antara lain dengan mendirikan Perikatan Guru-guru Poetri Islam di Bukittinggi; Ketua Panitia Penolakan Kawin Bercatat; dan Ketua Penolakan Ordonansi Sekolah Liar di Padang Panjang.

Pada tahun 1933 Rahmah memimpin Rapat Umum Kaum Ibu di Padang Panjang. Hal ini menyebabkan dia didenda pemerintah Belanda 100 gulden karena dituduh membicarakan politik. Dia juga menjadi anggota pengurus Serikat Kaum Ibu Sumatra (GKIS) di Padang Panjkang, organisasi yang berjuang menegakkan harkat kaum wanita dengan menerbitkan majalah bulanan. Ia juga mendirikan Khuttub Khannah (taman bacaan) untuk masyarakat (1935).

Pada tahun 1935 ia mewakili Kaum Ibu Sumatra Tengah ke Kongres Perempuan di Jakarta. Dalam kongres inilah ia bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum wanita Indonesia memakai selendang. Dalam kesempatan ini pula ia tinggal agak lama di Jakarta untuk mengembangkan perguruannya dengan mendirikan pendidikan untuk kaum putri di Gang Nangka, Kwitang, kemudian di Kebon Kacang Tanah Abang serta di Jatinegara dan di Jalan Johar (Rawasari sekarang).

Pada zaman Jepang, Rahmah El Yunusiyah mengambil sikap non-kooperatif, tidak bersedia bekerjasama dengan Jepang. Ia tidak mau percaya dengan janji-janji muluk penjajah. Selain menjalankan sekolahnya yang sudah maju, ia terus aktif dalam berbagai organisasi dan gerakan sosial maupun politik. Salah satunya adalah melalui organisasi Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bertujuan menentang Jepang menggunakan wanita-wanita Indonesia, khususnya wanita Sumatra Tengah, sebagai penghibur di rumah-rumah bordir untuk melayani tentara Jepang.

ADI juga menuntut pemerintah militer Jepang menutup semua rumah kuning (rumah bordir) karena bertentangan dengan kebudayaan Indonesia dan agama yang dipeluk mayoritas penduduknya. Gerakan ADI dan tuntutannya boleh dikatakan berhasil, dan akhirnya Jepang terpaksa mendatangkan wanita-wanita penghibur dari Korea dan Singapura.

Pada masa itu Rahmah juga menjadi Ketua Haha Nokai (Organisasi Kaum Ibu) di Padang Panjang dan menjadi pengurus organisasi yang sama untuk tingkat Sumatra Tengah. Organisasi ini bertujuan membantu pemuda-pemuda Indonesia yang masuk Giyu Gun agar para pemuda itu dapat dijadikan alat perjuangan bangsa. Menjelang akhir pendudukan Jepang Rahmah juga menjadi anggota peninjau Sumatora Cuo Sangi In (semacam Panitia Persiapan Kemerdekaan di Sumatra) yang dipimpin Mohammad Sjafei. Di samping itu ia juga menjadi anggota Mahkamah Syari’ah Bukittinggi serta anggota Majelis Tinggi Islam Sumatra Tengah.

Aktivitasnya yang beragam ini membuat nama Rahmah dikenal secara luas di kalangan kaum pergerakan sampai ke Pulau Jawa. Sehingga setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengangkat Rahmah sebagai anggota KNIP. Namun panggilan untuk duduk di dalam lembaga tinggi negara itu tak dapat penuhinya karena Rahmah tidak bisa meninggalkan Padang Panjang untuk merawat ibunya yang sedang sakit.

Meskipun demikian, Proklamasi membukakan pintu lebih lebar bagi Rahmah untuk terjun di bidang politik dan perjuangan. Begitu berita Proklamasi ia terima melalui Mohammad Sjafei, Rahmah langsung mengibarkan bendara Merah Putih untuk pertama kalinya di Padang Panjang, yakni di depan gedung Sekolah Diniyah Putri. Tindakannya ini segera diikuti masyarakat Padang Panjang dan Batipuh X Koto.

Setelah itu Rahmah diangkat sebagai anggota KNID Sumatra Tengah dan mempelopori pembentukan Komite Nasional Indonesia Kota Padang Panjang. Bersamaan dengan gerekan serentak secara nasional, Rahmah juga menjadi salah seorang pelopor pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) kemudian menjadi TKR (Tentera Keamanan Rakyat) di Padang Panjang. TKR Padang Panjang yang dibentuk tanggal 2 Oktober 1945, anggota intinya adalah para perwira Giyu Gun pada zaman Jepang. TKR yang ikut dibentuk Rahmah adalah cikal bakal dari Batalion Merapi, Divisi IX Banteng, yang tersusun rapi dan terkenal reputasinya selama Perang Kemerdekaan, dipimpin oleh Mayor Anas Karim.

Sekolah Diniyah Putri yang dipimpin Rahmah mempunyai andil besar bagi TKR. Sebelum TKR (kemudian jadi TRI dan TNI) mempunyai markas tetap, Rahman bersama para guru dan murid-muridnya mendirikan dapur umum di sekolahnya dan menyediakan makanan tiga kali sehari untuk para tentara pejuang kemerdekaan.

Selama Perang Kemerdekaan, Rahmah ikut berjuang dalam arti fisik walau tidak memanggul senjata. Setelah Kota Padang kembali diduduki Belanda, banyak para pemuda yang mengungsi ke Padang Panjang. Rahmah mengumpulkan mereka dan membentuk pasukan ekstrimis yang tujuannya untuk melakukan penyusupan ke Kota Padang sambil melakukan pengacauan dan mencari senjata.

Setelah Kota Padang Panjang diduduki Belanda pada Agresi II (Desember 1948), Rahmah memindahkan basis gerakannya ke lereng Gunung Singgalang. Tapi sebelum itu ia sudah sempat mengubah Sekolah Diniyah menjadi rumah sakit, dan murid-muridnya disuruh pula atau ikut mengungsi dengannya. Tindakan menjadikan sekolah sebagai rumah sakit itu selain bertujuan sosial juga bertujuan politik. Yaitu agar komplek perguruan ini tidak diduduki tentara Belanda untuk dijadikan benteng ataupun tangsi militer.

Selama Agresi II Militer Belanda Rahmah dan guru-guru perguruan Diniyah serta organisasi Ibu Sumatra Tengah ikut bergerilya bersama para pejuang. Untuk mengobarkan semangat perjuangan ia sering turun ke garis depan mengantarkan bantuan. Ia dianggap sebagai salah satu aktor perjuangan di sekitar Padang Panjang, sehingga ia menjadi inceran Belanda. Pada tanggal 7 Januari 1949 ia ditangkap Belanda di persembunyiannya di lereng Gunung Singgalang, kemudian dibawa ke Padang Panjang dan selanjutnya ditahan di Padang.

Di kota ini dia ditempatkan di rumah seorang pejabat Polisi Belanda dengan penjagaan ketat dan dilarang menerima tamu. Selama dalam tahanan ia tidak pernah diinterogasi atau dibuat proses verbalnya. Tujuan penahanan Rahmah hanya untuk memisahkan dia dari kaum pejhuang karena dianggap besar pengaruhnya.

Rahmah baru dibebaskan sembilan bulan kemudian, yakni bulan September 1949 dan diberikan izin mengikuti Konferensi Pendidikan di Yogyakarta. Ia pergi ke Yogya dengan didampingi kakaknya Hasniah Saleh. Setelah konferensi ia sementara tinggal di Jakarta karena akan mengikuti pula Kongres Kaum Muslimin Indonesia yang juga diadakan di Yogyakarta. Rahmah baru kembali ke Padang Panjang setelah penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949.

SDi bidang politik, Rahmah tercatat ikut mendirikan Partai Masyumi di Minangkabau. Setelah penyerahan kedaulatan, di samping membenahi kembali perguruannya, ia terus aktif mengembangkan Masyumi. Pada Pemilu 1955, Rahmah dicalonkan partainya dan terpilih menjadi anggota Parlemen (DPR) mewakili Partai Masyumi Sumatra Tengah (1955-1958).

Di tengah berbagai kegiatan di luar pendidikan, Rahmah tetap dapat memajukan perguruannya. Diniyah makin besar, dan murid-muridnya berdatangan tidak hanya dari berbagai daerah di Indonesia tetapi juga dari Semenanjung Malaysia. Banyak tamatannya yang kemudian terjun menjadi pemimpin masyarakat sehingga nama perguruan tinggi makin harum.

Salah satu alumninya di Malaysia bahkan pernah menjadi Menteri Urusan Am (Menteri Sosial), yakni Puan Hj. Aisyah Gani, dan seorang lagi menjadi Senator mewakili Negara Bagian Penang. Sebagai bentuk apresiasi atas usaha dan perjuangannya, Presiden Sukarno juga pernah mengunjungi Diniyah Putri.

Tapi keharuman nama Rahmah sebagai tokoh pendidikan sampai melampaui batas negaranya. Pada tahun 1955 Perguruan Diniyah Putri mendapat kunjungan Rektor Universitas Al-Azhar dari Kairo, Mesir. Rektor Al-Azhar ternyata amat mengagumi perguruan serta sistem pendidikan yang dikembangkan Rahmah. Perguruan Diniyah Putri inilah yang menginspirasi Universitas Al-Azhar kemudian membuka fakultas khusus untuk wanita yang diberi nama Kuliyyatul Banat. Pada tahun 1956 Universitas Al-Azhar mengundang Rahmah El Yunusiyah berkunjung ke Kairo.

Dalam kunjungan itu oleh Rapat Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar ia dianugrahi gelar Syeikhah. Menurut Hamka (majalah Aneka Minang No. 18 Tahun 1/1972), gelar yang diberikan kepada Rahmah ini adalah gelar tertinggi yang belum pernah diberikan kepada seorang wanita.

Penghargaan itu adalah buah dari bakti Rahmah bagi pendidikan, khususnya pendidikan kaumnya. Dan hampir seluruh hidupnya ia berikan untuk mengembangkan dan membesarkan perguruan ini. Pada tanggal 26 Februari 1969, Rahmah menemui Gubernur Sumatra Barat Harun Zain untuk membicarakan usaha memajukan perguruannya khususnya dan pendidikan Sumatra Barat umumnya. Hari itu Harun Zain mengentarkan Rahmah sampai halaman kantornya untuk menaiki mobil yang akan membawanya kembali ke Padang Panjang.

Keesokan harinya, Harun Zain menerima khabar bahwa Syeikah Rahmah El-Yunusiyah meninggal dunia. Rahmah meninggal pada tanggal 27 Februari 1969, dalam usia 68 tahun lewat dua bulan.

Atas jasa-jasanya sebagai pendidik maupun pejuang kemerdekaan, Rahmah El-Yunusiyah sebelumnya sudah meraih penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Dan gelar Pahlawan Nasional yang disematkan ke Rahmah hari ini, adalah penyempurnaan penghargaan atas jasa dan dedikasinya untuk nusa dan bangsa. (HC/Yh)

Baca Juga

Rahmah El Yunusiyah Pendiri Diniyah Putri Padang Panjang
Rahmah El Yunusiyyah Pendiri Diniyah Putri Padang Panjang Raih Gelar Pahlawan
Hari Pahlawan Dalam Bayang-Bayang Sang Otoritarian (Menolak Soeharto Jadi Pahlawan, Menagih Janji yang Terlupakan)
Hari Pahlawan Dalam Bayang-Bayang Sang Otoritarian (Menolak Soeharto Jadi Pahlawan, Menagih Janji yang Terlupakan)
BMKG mencatat terjadi 24 kejadian gempa bumi di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) dan sekitarnya pada periode 31 Oktober hingga 6 November 2025.
Sepekan Terakhir, Sumbar 24 Kali Diguncang Gempa
Pengurus KONI Sumbar resmi dilantik, Rabu (5/11/2025). Salah satu pengurus diketahui adalah Plt Ketua DPW PSI Sumbar Taufiqur Rahman
Susunan Pengurus KONI Sumbar: Plt Ketua PSI Sumbar Jabat Waketum
Semen Padang FC harus mengakui keunggulan Arema FC dengak skor 1-2
Semen Padang FC Kembali Kalah, Takluk 1-2 dari Arema
Anggota DPRD Limapuluh Kota Fajar Rillah Vesky, bersama Mensos.
Khatib Sulaiman Masuk Calon Pahlawan Nasional, Anggota DPRD Limapuluh Kota Apresiasi Mensos