Simalakama Inpres 1/2025, Bagi Infrastruktur Daerah

Sejatinya, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, punya tujuan mulia. Menghemat anggaran negara hingga 306,7 triliun rupiah. Tapi dalam eksekusinya, bukan pekerjaan mudah. Bak memakan buah simalakama. Bila dimakan, ayah mati. Tidak dimakan, ibu yang mati.

Sebelum Inpres 1/2025 diteken Presiden Prabowo Subianto pada 22 Januari 2025 lalu, DPR-RI bersama pemerintah sejak September 2024, sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN Tahun 2025. Kemudian, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia, sudah mengetok lalu APBD tahun anggaran 2025.

Otomatis, APBN 2025 yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang dan APBD 2025 yang sudah dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda), harus disisir ulang. Pos-pos anggaran belanja yang telah disusun berdasarkan segala jenis dokumen perencanaan pembangunan, mesti dipangkas sana-sini. Demi efisiensi.

Lazimnya, perubahan atau pergeseran anggaran dilakukan pada tahun anggaran berjalan. Disampaikan kepada parlemen lewat mekanisme Perubahan APBN atau Perubahan APBD. Tapi, bandul sejarah  sepertinya sedang berulang. Kebijakan efisiensi belanja tahun 2025, mirip dengan kejadian tahun anggaran 2020 silam.

Saat  itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam Percepatan Penanganan Covid-19. Dampak dari refocussing tahun 2020, terasa hingga tahun anggaran 2021 dan 2022.  Kedaaan baru mulai stabil pada 2023 dan 2024. 

Kini, lewat Inpres 1/2025, Presiden Prabowo Subianto juga menghendaki efisiensi belanja. Penghematan besar-besaran ini didengungkan Kementerian Keuangan, untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tantangan dan ketidaklaspatian ekonomi global. 

Sedikit berbeda dengan refocussing tahun 2020 yang digunakan untuk penanganan Covid-19. Hasil kebijakan efisiensi belanja 2025 dilakukan untuk mempercepat program prioritas nasional. Termasuk pemenuhan gizi masyarakat, dalam bentuk makan bergizi gratis di sekolah-sekolah.

Simalakama Bagi "Daerah Rancak di Lebuh"

Hanya saja, melakukan efisiensi belanja tentu tidak mudah. Menyisakan simalakama bagi puluhan kementerian dan lembaga negara. Simalakama yang juga akan dialami  seluruh pemerintah daerah. Apalagi, bagi daerah-daerah yang sejauh ini hanya "rancak di lebuh" saja.

Daerah-daerah yang "rancak di lebuh" itu lagaknya seperti daerah-daerah berprestasi. Tapi kinerja pengelolaan keuangan daerah; kinerja pelayanan dasar; kinerja dukungan fokus kebijakan nasional; dan kinerja sinergi kebijakan pemerintah, masih berbobot  rendah. Tak kebagian insentif fiskal.

Daerah-daerah yang "rancak di lebuh" itu gayanya seperti daerah-daerah kaya. Program dan kegiatannya, bisa dibuat dengan beribu-ribu nomenklatur. Tapi belum seluruhnya yang mengacu  pemenuhan standar pelayanan minimal. Sehingga output-nya belum memadai, jika terlalu kasar disebut jauh panggang dari api.  

Ketika mekanisme perencanaan pembangunan di daerah-daerah "rancak di lebuh" itu diatur sedikit saja, untuk menghindari ugal-ugalan penggunaan anggaran daerah, pendekatan pembangunan dari pusat dianggap pula terlalu imperatif. Padahal, sumber pendapatan daerahnya 80 persen, bahkan 95 persen, bergantung dari pemerintah pusat.  

Andai kata, tak ada Transfer ke Daerah (TKD). Baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Non Fisik, Dana Desa (DD), dana Dana Insentif Fiskal,  maka dapat dijamin, daerah-daerah nan "rancak di lebuh" akan  gigit jari. Karena Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya, belum serupa pepatah Melayu "sauk air mandikan diri" atau  belum dapat memenuhi kebutuhan sendiri.

Sudahlah kondisi PAD-nya belum memenuhi harapan kemandirian fiskal,  daerah-daerah yang "rancak di lebuh" tadi, masih boros  berbelanja. Anggarannya, banyak tersedot untuk rapat ke rapat saja. Untuk makan-minum. Untuk alat tulis kantor. Untuk sewa gedung dan peralatan. Untuk honor ini dan honor itu. Kemudian, sebagian besar pejabatnya, termasuk DPRD-nya, mohon maaf bila tertepuk air di dulang, lebih suka pula melakukan perjalanan dinas luar daerah.

Maka, tidak heran, bila Surat Kementerian Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 sebagai turunan dari Inpres Nomor 1 Tahun 2025, memangkas belanja perjalanan dinas hingga 53,9 persen. Kemudian, belanja alat tulis kantor  dipangkas 90 persen. Begitu pula belanja rapat dan seminar dipangkas 45 persen, dan  kegiatan seremonial dipangkas 56,9 persen. Totalnya, ada 16 pos belanja yang dipangkas anggarannya.

Khusus untuk perjalanan dinas, dalam kondisi ekonomi rakyat yang sedang susah, memang patut dipangkas melalui kebijakan nasional efisiensi belanja negara sesuai Inpres 1/2025. Tapi patut pula dicatat, perjalanan dinas ini, terutama perjalanan dinas pegawai dan pejabat di daerah -daerah berpendapatan rendah, kondisinya cukup paradoks dan ambivalensi. 

Disebut ambivalensi karena perjalanan dinas itu bisa jadi ada yang belum tepat sasaran, tapi tetap dilaksanakan sesuai mekanismenya. Ini terjadi karena gaji dan tunjangan yang diterima, tidak cukup menutupi segala jenis kebutuhan dan tuntutan jabatan. Apalagi, bagi pimpinan dan anggota DPRD di daerah-daerah miskin, yang sejak sistem lumpsump ditiadakan dan kembali ke sistem at cost, betul-betul  "babak-belur", menghadapi pelbagai tuntutan konstituen. 

Tentu ini menjadi cerita lain dari kebijakan tentang efisiensi belanja tahun 2025. Cerita lain yang menjadi rahasia umum tersebut, sudah disuarakan sejumlah anggota DPR-RI dalam rapat kerja dengan Mendagri. Sebelumnya, sudah disinggung Ketum salah satu parpol, dalam agenda partainya yang dihadiri Presiden Prabowo Subianto. Tapi, sampai kini memang belum ditemukan formula tepat untuk menjawabnya.

Ironi Pembangunan Infrastruktur Daerah

Biarlah cerita lain tentang perjalanan dinas DPRD itu menjadi episode lebih lanjut untuk dikaji lebih mendalam. Kembali kepada Inpres 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025, seperti disinggung pada awal tulisan ini, betul-betul menjadi simalakama bagi pemerintah daerah.

Apalagi, setelah terbit Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) Nomor 29 Tahun 2025 Tentang Penyesuaian Rincian Alokasi Transfer Ke Daerah Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2025 Dalam Rangka Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBD dan APBN Tahun Anggaran 2025. Kepmenkeu tertanggal 3 Februari 2025  ini, membuat Rincian APBN 2025 mengalami perubahan cukup drastis.

Banyak provinsi dan banyak kabupaten/kota, kehilangan Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditentukan penggunaanya untuk dukungan bidang pekerjaan umum, setelah Kepmenkeu 29/2025 terbit sebagai tindaklanjut Inpres 1/2025. 

Tidak hanya DAU saja, Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk infrastruktur juga banyak yang lenyap dari rincian alokasi transfer ke daerah. Kondisi ini  terjadi merata se-Indonesia. 

Bahkan, Kementerian PUPR ikut pula terkena imbasnya. Pagu anggaran Kementerian PUPR yang semula ditetapkan Rp110,95 triliun, terkena efisiensi Rp81 triliun, sehingga tersisa Rp29 triliun saja. Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2025, berubah setelah terbitnya Inpres 1/2025 dan Surat Kementerian Keuangan. Dengan kondisi ini,  sulit berharap, daerah-daerah  akan mendapatkan DAU dan DAK tambahan bidang pekerjaan umum.

Padahal, saat kampanye Pilpres 2024, Prabowo-Gibran berjanji melanjutkan pengembangan infrastruktur dan melanjutkan pengembangan infrastruktur desa. Janji-janji itu tidak hanya tertuang dalam misi ketiga atau Asta Cita ketiga dan poin ketujuh dari 8 program hasil terbaik cepat Prabowo-Gibran. Tapi terpatri pada sejumlah program kerja dalam dokumen visi-misi yang ditawarkan kepada rakyat Indonesia.

Di antara program kerja bidang infrastruktur yang pernah ditawarkan Prabowo-Gibran adalah melanjutkan dan memperluas pembangunan jalur irigasi dan bendungan untuk air baku, pencegahan banjir, dan irigasi.

Kemudian, membangun dan memperbaiki jalan daerah yang tidak mampu ditangani pemerintah daerah. Serta, mengembangkan pembangunan infrastruktur untuk konektivitas orang, barang, dan informasi.

Banyak publik percaya, Prabowo-Gibran mampu  mewujudkan program kerja pengembangan infrastruktur tersebut. Apalagi, dalam dokumen visi-misi yang mereka sampaikan, dicantumkan data fondasi Indonesia Maju yang dibangun Presiden Joko Widodo dan pemimpin negara Indonesia sebelumnya. Termasuk data infrastruktur yang telah terbangun. Meliputi; 320 ribu kilometer jalan desa; 2.000 kilometer jalan tol; 1,7 juta meter jembatan; pelabuhan, bandara baru, dan infrastruktur kunci lainnya.

Akan tetapi, data-data yang disampaikan itu baru sebatas pelengkap visi-misi kampanye. Pada tahun anggaran pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, anggaran pembangunan infrastruktur terpangkas habis. Dalam Surat Kementerian Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 sebagai turunan dari Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, anggaran infrastruktur umum dipangkas hingga 34,3 persen.

Pemangkasan anggaran infrastruktur hingga 34,3 persen ini kontras dengan mandatory spending atau pengeluaran negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang HKPD. Mandatory spending mengharuskan pemda mengalokasikan anggaran belanja infrastruktur pelayanan publik sebesar 40 persen dari total belanja daerah dalam APBD, di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer ke daerah.

Meski mandatory spending ini paling lambat dilaksanakan pada tahun anggaran 2027. Tapi pengurangan DAU yang diarahkan untuk bidang pekerjaan umum karena adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2025, berpotensi memperlambat terwujudnya percepatan infrastruktur pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi daerah, dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Jika pada tahun 2025, kementerian dan lembaga negara, termasuk pemerintah daerah, sudah diminta memangkas anggaran infrastruktur hingga 34,3 persen. Bagaimana mungkin pada tahun 2027, terwujud mandatory spending 40 persen belanja daerah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur publik? Ini tentu bisa paradoks dengan berbagai regulasi penyusunan APBD yang setiap tahun diterbitkan.

Dalam kondisi yang penuh simalakama, mau tidak mau, pemerintah daerah se-Indonesia, terutama daerah-daerah yang bergantung 90 persen kepada TKDD, harus menyesuaikan lagi penyusunan penjabaran APBD tahun 2025. Kapan perlu, rasionalisasi lagi seluruh belanja daerah melalui penetapan Perkada tentang Perubahan Penjabaran APBD 2025, yang tentu saja wajib disampaikan kepada DPRD.

Tidak kalah penting, Pemda  bersama DPRD perlu memastikan, belanja infrastruktur pelayanan publik, masih tetap tersedia dalam APBD masing-masing. Walau dalam jumlah terbatas dan harus dicadangkan dulu, sesuai dengan Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri Keuangan Nomor SE-900.1.3/6629.A/SJ dan SE-1/MK.07/2024 Tentang Tindak Lanjut Arahan Presiden Mengenai Pelaksanaan Anggaran Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2025.

Akhirnya, kita semua harus tetap yakin dan percaya, Inpres 1 Tahun 2025 dengan segala aturan turunannya, memang bertujuan untuk mempercepat terwujudnya Indonesia Maju.

Biarlah berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Biarlah bersakit-sakit dahulu, asalkan senang kemudian.

Terakhir, harapan kita bersama, bila memang harus efisiensi belanja, maka efisiensilah belanja semua kementerian, lembaga negara, dan semua pemda. Sehingga terlentang sama makan abu dan terlungkup sama makan tanah. Itulah prinsip gotong royong: saripati Pancasila, dasar luhur negara kita yang diwariskan founding father bangsa. (***)

M Fajar Rillah Vesky adalah Anggota DPRD Limapuluh Kota*

Baca Juga

BPS mencatat pada 2023, panjang jalan di Sumbar mencapai 21.091,28 kilometer. Berdasarkan tingkat kewenangan pembinaan, jalan
Jalan Desa Kebun Nenas Labuhan Batu Rusak Parah Pasca Hujan
Jalan Lingkungan di Dadok Tunggul Hitam Segera Dibetonisasi
Jalan Lingkungan di Dadok Tunggul Hitam Segera Dibetonisasi
Pemkab Dharmasraya Raih Gatra Infrastruktur Award 2023
Pemkab Dharmasraya Raih Gatra Infrastruktur Award 2023
Wako Resmikan Jembatan Gantung Baru di Payakumbuh, Hubungkan 2 Kelurahan
Wako Resmikan Jembatan Gantung Baru di Payakumbuh, Hubungkan 2 Kelurahan
Warga Pariaman Hibahkan Tanah dan Rela Rumah Dirobohkan Demi Jalan Umum
Warga Pariaman Hibahkan Tanah dan Rela Rumah Dirobohkan Demi Jalan Umum
Pemko dan Warga Pariaman Gotong Royong Bangun Jalan Baru Penghubung 2 Kecamatan
Pemko dan Warga Pariaman Gotong Royong Bangun Jalan Baru Penghubung 2 Kecamatan