Langgam.id - Dua pesawat Mustang P51 bermanuver di antara Singgalang dan Marapi. Di dalam kokpit, pilot tempur Angkatan Udara Kerajaan Belanda di kedua pesawat saling berkoordinasi. Di bawah mereka, Bukittinggi menghampar, siap dihujani bom dan roket. Minggu, 19 Desember 1948 pagi itu, tepat 71 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (19/12/2019).
Pesawat Mustang P51 adalah pesawat terbaik yang digunakan Sekutu dalam Perang Dunia II. Bekerja sama dengan Inggris, pesawat ini diproduksi besar-besaran di Amerika.
Pesawat yang mampu terbang lebih jauh dibanding pesawat tempur lain pada masanya itu, digunakan Sekutu untuk menundukkan Jerman hingga bertekuk lutut. Belanda ikut membelinya. Pesawat ini yang dibawa ke Indonesia untuk melancarkan rencana Kerajaan Belanda kembali menguasai bekas koloninya.
Karena bagian depan pesawat dicat merah dan ada juga yang digambar dengan mulut menganga berwarna merah, Mustang P51 dikenal di Indonesia dengan sebutan "cocor merah". Selain bersenjata senapan mesin browning AN-2 kaliber 12.7mm, cocor merah juga dilengkapi bom dan roket HVAR kaliber 127mm.
Seperti halnya Yogyakarta yang diserang pada saat yang sama, Bukittinggi merasakan sengatan yang sama mulai pukul 7.00 WIB hari itu.
"Sepanjang hari pertama, gelombang serangan udara Belanda ke Bukittinggi datang bertubi-tubi," tulis Sejarawan Mestika Zed dalam "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan" (1997).
Menurutnya, bom, tembakan roket dan senapan mesin ditembakkan pesawat-pesawat Belanda ke tempat-tempat strategis. "Sasaran utama tampaknya ditujukan ke lapangan terbang Gadut," tulis Mestika.
Selain itu, markas Divisi Banteng dekat Lapangan Kantin, pemancar RRI, stasiun pemancar PTT di Tarok, Seksi Perhubungan Divisi IX dan kantor kawat (telekomunikasi).
Kendaraan yang sedang parkir dan berjalan tak luput dari sasaran si cocor merah. "Bus Atlas yang sedang meluncur ke luar Kota Bukittinggi digempur dekat Padang Tarok, tetapi untunglah tidak tepat mengenai sasaran," tulisnya.
Kejadian serupa, menurut Mestika, juga terjadi di Piladang, Koto Nan Ampek dan Batang Tabik. Sebagian penumpang kendaraan yang menjadi sasaran kedua pesawat meninggal dunia.
Sebuah sedan juga jadi sasaran cocor merah di Kandang Ampek. Penumpangnya, Letnan Zaidin Bakri, komandan kompi Bakipeh, selamat. Namun, seorang pembantu dan sopirnya meninggal seketika.
Serangan tersebut datang berkali-kali. Mulai pukul 7.00 WIB, lalu pukul 9.00 WIB dan beberapa kali hingga siang hari.
"Dua buah pesawat terbang Mustang bercocor merah yang secara tiba-tiba muncul di Sela-sela gunung Marapi dan Singgalang. Mereka langsung menjatuhkan benda-benda hitam, yang rupanya bom. Sama sekali tidak ada tembakan anti serangan udara dari pihak kita. Kepanikan, kekalutan, hiruk-pikuk, kacau-balau muncul pada penduduk kota Bukittinggi," tulis Buku "PDRI, Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Dikaji Ulang" (1990) yang diterbitkan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Serangan pesawat itu menandai dimulainya Agresi Militer II Belanda di Sumatra Barat. Mestika Zed dkk dalam Buku "Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995" (1995) menulis, pada hari itu, Belanda melancarkan serangan serentak di Jawa dan Sumatera.
"Sasaran utama mereka di Jawa adalah menduduki ibukota Yogyakarta, dan Sumatera ditujukan ke jantung pertahanan Republik di pulau itu ialah Bukittinggi," tulisnya.
Bergerak dari basis pertahanan mereka di Padang, pasukan Belanda melakukan terobosan cepat lewat tiga jurusan. Pertama, menyusuri jalan raya Padang-Kayutanam dan seterusnya via Lembah Anai. Formasi tempur diperkuat tank berlapis baja dan dan senjata berat menerobos ke jantung pertahanan Republik di Padang Panjang dan Bukittinggi. Kedua, memotong garis pertahanan militer Republik di pedalaman dengan menggunakan empat pesawat Catalinya. Pesawat yang bisa mendarat di air ini, landing di Danau Singkarak sekitar pukul 6 .30 pagi pada 19 Desember itu. Ketiga, melintasi garis genjatan senjata dekat Indarung di timur dan seterusnya via celah Subang menuju Solok.
Jenderal AH Nasution dalam Buku "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda" menulis, penyerbuan di Padang dengan induk kekuatan lebihkurang 1 batalyon infanteri, diiringi oleh senjata-senjata bantuan lengkap serta pesawat-pesawat Mustang.
Cocor merah, menurut Nasution, menembaki terlebih dahulu kedudukan-kedudukan TNI di Airsirah, Lubukgadang dan Lubukselasih. Tempat-tempat ini kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan pelopor Belanda.
Sementara, di Bukittinggi, setelah serangan pertama, sekitar pukul 9.00 WIB, di Istana Wakil Presiden yang berada di depan Jam Gadang, para tokoh pemerintahan dan militer berkoordinasi.
Mereka adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara, menteri kemakmuran yang telah berada di Bukittinggi sejak November 1948. Kemudian, Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatra Mr. Teuku Mohammad Hasan, Wakil Gubernur Sumatra Tengah Mr. M. Nasroen, Panglima Sumatra Kolonel Hidayat dan sejumlah tokoh lainnya.
Rapat pertama yang digelar pada pagi hari gagal, karena serangan masih datang silih berganti. Kolonel Hidayat meminta semua tokoh kembali rapat pada sore hari ketika serangan sudah mereda.
Sjafruddin Prawiranegara masih menunggu kabar dari Yogyakarta saat ia dijemput untuk menghadiri rapat sore itu. Kabar yang ditunggu tak kunjung tiba. Ia khawatir para pemimpin di Yogyakarta sudah ditawan Belanda. Kekhawatiran yang kelak diketahui memang benar terjadi.
Menurut Mestika, pertemuan sore itu digelar di kediaman Mr. Hasan di sebuah jalan dekat Ngarai Sianok. Saat itulah, Sjafruddin membuka pertanyaan pada Hasan, apabila para pemimpin di Yogyakarta ditahan Belanda, apakah tidak lebih baik di Bukittinggi dibentuk pemerintahan darurat.
"Sadar akan posisinya sebagai satu-satunya menteri kabinet Hatta yang ada di Bukittinggi ketika itu, Sjafruddin tanpa ragu-ragu menawarkan diri sebagai ketua dari badan pemerintahan yang akan dibentuk itu dan menawarkan Hasan sebagai wakilnya. Hasan setuju," tulis Mestika.
Keputusan dari dua pemimpin ini, kemudian didukung oleh para pemimpin lain di Bukittinggi ketika itu. Pada 19 Desember 1948 tersebut, PDRI sudah terbentuk dengan posisi ketua dan wakil ketua. Kabinet PDRI baru kemudian dilengkapi dan diumumkan pada 22 Desember di Halaban, Limapuluh Kota, ketika Kota Bukittinggi akhirnya jatuh ke tangan Belanda.
PDRI yang kemudian menyambung nyawa pemerintahan Republik Indonesia, yang kelak pendiriannya diperingati sebagai Hari Bela Negara. (HM)