Langgam.id - Kesadaran kritis sangat diperlukan dalam hingar bingar dunia digital saat ini. Kondisi tersebut menjadi dasar dari Roehana Project bersama Tactical Tech mengadakan workshop Digital Enquirer: Bagaimana Teknologi Membentuk Masa Depan Kita, pada rabu (27/3/2024) lalu di Padang.
Jaka Hendra B selaku Ketua Yayasan Roehana Independen Indonesia, sekaligus Editor at Large Roehanaproject.com mengatakan, workshop ini terkait dengan tiga tingkatan kesadaran manusia.
Jaka mengatakan pertama kesadaran magis. “Yang menganggap semua hal yang terjadi pada kita sebagai takdir. Seperti dapat nilai C, kita bilang itu takdir atau terjadinya tabrakan itu takdir,” katanya.
Selanjutnya kesadaran naif. “Kesadaran naif adalah fase dimana manusia tahu apa masalah yang terjadi di hadapannya. Namun ia tak mau tahu, tidak mau juga menyelesaikan masalah itu,” katanya.
Tahapan terakhir adalah kesadaran kritis. “Tahapan dimana kita memahami masalah yang terjadi, tahu apa penyebabnya dan melakukan tindakan untuk menanggulangi masalah itu,” kata Jaka.
Jaka mengatakan pada titik tersebut Roehana Project melihat ada titik temu dalam praktik-praktik dunia digital yang penuh sengkarut. “Kita perlu pikiran atau kesadaran kritis agar tak mudah tertipu atau teralihkan pada hal-hal tak penting di dunia digital,” katanya.
Uyung Hamdani, yang merupakan pemateri Mengidentifikasi dan Menanggapi Informasi yang Salah mengatakan ada beberapa jenis informasi salah yang beredar. “Ada misinformasi, disinformasi dan malinformasi,” katanya.
Andre Bustamar selaku researcher dari Walhi Sumbar mengatakan dalam memilah-milah informasi, pengguna internet perlu pemikiran yang ilmiah.
Selain itu Fachri Hamzah yang mengisi materi mengatakan kemanan digital masih belum banyak yang menyadari celahnya. “Keamanan digital menjadi bahan penting dalam pelatihan ini sebab ada beberapa peserta yang masih abai. Contohnya saja masih banyak data pribadi peserta, terutama email, dibobol,” kata kontributor Tempo di Sumatera Barat itu.
Hal ini juga diketahuinya saat beberapa peserta menggunakan tools yang diberikan Fachri. Masih ada beberapa yang data pribadinya bobol melalui aplikasi cerita, sosial media atau ecommerce.
Afdal salah satu jurnalis yang bekerja di Detik.com dan tergabung dalam Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) simpul Sumatera Barat, menceritakan dirinya pernah mendapat informasi yang tersebar cepat di grup WhatsApp. “Informasi tentang sepeda listrik yang meledak. Itu cepat menyebar, bahkan di grup-grup wartawan,” katanya.
Dia mengatakan bagi yang tidak sabaran dan tidak memeriksa informasi itu, maka dia akan ikut menyebarkan misinformasi itu.
Beberapa peserta juga mengalami peristiwa terkait keamanan digital itu. Ada Afwan yang hamir tertipu dengan tautan undangan nikah, ada Suwandi dari Walhi Sumbar yang hampir saja tertipu pembelian vespa miliknya. Peserta berbagi pengalamannya.
Jaka mengatakan dalam menghadapi keriuhan dalam dunia digital yang penuh misinformasi dan disinformasi, musuh terbesar adalah diri sendiri. “Kita bisa mengumpulkan bukti-bukti bahwa yang kita dapatkan itu penipuan atau tindakan yang buruk, tapi bias yang ada dalam diri kita seringkali malah membuat bukti yang kita dapat menjadi rancu,” kata Jaka.
“Kita lebih senang mendengar informasi yang kita inginkan, bukan informasi yang sebenarnya. Hal ini diperparah dengan adanya echo chamber dan filter bubble yang ada di internet. Yang kita inginkan itu memnebal dan membanjiri otak kita,” kata jurnalis lepas yang sering menulis di Mongabay ini.
Ada 20 perserta yang terbagi antara perwakilan civil society organizatioin dan mahasiswa dan umum. Seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Walhi Sumbar, Qbar, SIEJ Sumbar, AJI Pdang, Pelita Padang, Cahaya Maritim, KKI Warsi dan Yayasan Citra Mandiri-Mentawai (YCMM). Sepuluh peserta lainnya terdiri dari mahasiswa dan pekerja swasta. (*/Yh)