Judul tulisan ini dikembangkan dari kalimat terakhir buku Qana’ah: Autobiografi 75 Tahun Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Kalimat ini begitu bertenaga, bagaikan sebuah janji suci: Berawal dari guru agama dan berakhir insya Allah juga sebagai guru agama.
Galibnya, para pembaca cenderung menandai kalimat pertama sebuah buku yang dibacanya. Kalimat pertama itu adalah magnet yang akan menarik pembaca menjelajahi buku. Namun demikian, kalimat terakhir juga tidak kalah krusial dalam memahami makna yang tersurat hingga yang tersirat dalam kata dan kalimat seperti pada buku perjalanan hidup Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin yang tutup usia pada Rabu, 27 Desember 2023 lalu.
Buku ini diawali kisah di selingkar kaki Singgalang, ketika tangan Amir Syarifuddin kecil belum menjangkau telinga. Cerita kehidupannya kemudian mengalir dalam bab demi bab yang dijudulinya begitu puitik.
Ada kisah tentang betapa pentingya belajar merantau. Amir kecil sempat berpikir bahwa merantau adalah berdagang. Oleh karenanya, beliau mencobanya dengan menjajakan martabak manis di Pasar Jawa (Sekarang: Pasar Raya Padang).
Perjuangannya mencoba merintis karir dalam berdagang, dikatakannya justru berakhir dengan rasa getir. Setelah seharian berjaja, hanya tiga potong martabak yang terjual. Martabak manis ternyata pahit baginya, ketika itu.
Perjelajahan Membekali Diri Menjadi Guru Agama
Pada masa-masa berikutnya, perjalanan beliau lebih tertuntun di jalan ilmu pengetahuan. Ia mulai di Sekolah Rakyat sekaligus juga di Diniyah Tsnawiyah selamat empat tahun (tamat 1950). Ia sempat melanjutkan sekolah ke SMP Partikulir di Kurai, Bukittinggi sebelum akhirnya masuk ke Sekolah thawalib (Thawalib School).
Selain pada ilmu ukur, kegemarannya pada kajian fikih diceritakannya terbit dari sini, Ketika belajar kitab Mu’inul Mubin dan Al-Bayan kepada sang guru Abdul Hamid Hakim sang pengarang kitab tersebut. Sebuah metode belajar yang juga diaplikasikan di berbagai perguruan tinggi terkemuka di dunia, belajar atau mendaras buku/kitab langsung bersama pengarangnya.
Metode ini, agaknya mulai kehilangan pesonanya dan tidak lagi jadi primadona dalam proses belajar-mengajar di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Ini kemudian diperkuat dengan kesertaannya pada kuliah umum di Thawalib yang mewajibkan membahas kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd.
Melewati Pendidikan di Thawalib kemudian menjadi bekal beliau sukses mengikuti program Departemen Agama: Pendidikan Guru Agama (PGA) terdaftar tahun ajaran 1952/1953, meskipun sebelumnya ia sempat tertarik mengikuti program Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA), tetapi tidak sempat mengikutinya. Inilah titik tolak penejelajahan ilmu pengetahuan beliau sejak resmi menjadi PNS pada 1955 hingga mendapatkan tugas bekajar di Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) 1958. Belajar ke Eropa, tepatnya Nederland (Belanda) 1968.
Kekokohan karakter dan wibawa kepemimpinan beliau terus diperkaya dengan melakukan studi banding yang seus ke berbagai negara. boleh dikatakan beliau sudah keliling dunia untuk kperluan pengayaan itu, beliau menuis perlu melihat-lihat dunia orang. Meskipun beliau menemui godaan mencapai karir yang lebih menjanjikan, seperti pindah dinas ke UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, pada akhirnya ia bertekad kembali ke cita-cita semula, yang dalam bahasanya yang qana’ah ia sebut dalam buku autobigrafinya dengan menjadi guru agama.
Mengikuti “selera”nya sebagai seorang pembelajar yang gigih, ia menulis harus menyeberangi lautan, berangkat ke tanah Jawa, ke benua Asia, Eropa, hingga ke Amerika, guna menambah ilmu pengetahuan sebagai bekal kelak di masa dewasa dan mengemban karir sebagai guru agama.
Dengan bahasa yang lugas, beliau juga mengisahkan apa adanya pengamanan pada masa-masa kelam sebagai Pegawai Negeri Sipil. Tentang beberapa ekspreimen Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) dalam menguatkan peran kelembagaannya. Juga tentang bagaimana pentingnya perguruan Tinggi keagamaan dalam konstelasi merawat kualitas kehidupan berbangsa.
Serangkaian Amanah Terpikul di Pundak
Beliau pernah menjadi Rektor IAIN (kini UIN) Imam Bonjol dua periode 1983-1993. Amanah ini beliau emban dengan baik dan dapat dikatakan berkahir dengan baik; husnul khatimah. Keberhasilannya menjadi Rektor menjadi model kepemimpinan yang menjadi buah bibir hingga kini.
Keberhasilan ini juga merupakan kebanggaan bukan hanya bagi keluarga tetapi juga bagi keluarga besar IAIN-UIN Imam Bonjol Padang serta masyarakat Sumbar, bahkan untuk masyarakat dan umat di ranah dan juga di perantauan. Pada 1997-1999 beliau juga mengemban tugas sebagai anggota MPR RI Utusan Daerah.
Ketua MUI beliau jabat sejak 1995 hingga 2000 dan kiprah ini juga menjadi rujukan hingga generasi kepemimpinan MUI terkini. Penelitian beliau tentang pelaksanaan kewarisan Islam dalam ranah kebudayaan Minangkabau menjadi karya penting; magnum opus pemikiran beliau terkait bagaimana idealnya integrasi dan interkoneksi keislaman dan budaya. Semangat pemikiran semacam ini yang mewarnai prinsip-prinsip fatwa yang lahir dari MUI semasa kepemimpinan beliau.
Yang Tak Terlupakan dari Sosok Prof. Amir Syarifuddin
Sekitar tahun 2015, Pak Amir (begitu sivitas akademika Fakultas Syaria’ah memanggilnya) mengajak dosen bertemu dan berdiskusi di aula Rapat Fakultas Syariah. Pada kesempatan itu, beliau menyampaian bahwa perlu sebuah gebrakan dan gerakan akademik untuk menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai fikih a la Indonesia. Di samping itu, juga ia tekankan perlunya meneruskan kejian-kajaian berbasis kasus kontemporer yang terukur berdasarkan keilmuan Syariah. Para Doktor yang baru menamatkan pendidikannya, menurut hemat beliau ketika itu, semestinya mengukuhkan pondasi dan proposisi keilmuannya terlebih dahulu. Tugas tambahan menduduki jabatan struktural yang mensyaratkan gelar Doktor akan lebih sempurna dilakoni apabila gelar itu sudah melahirkan karya akademik yang diperhitungkan.
Pada tahun-tahun yang sama, sedang bergulir rencana transformasi IAIN Imam Bonjol Padang menjadi UIN Imam Bonjol Padang. Rektor IAIN Ketika itu, Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH, M. Ag optimis dan memang itu menjadi kebutuhan masa depan lembaga ini, IAIN harus ditransformasi menjadi UIN. Namun demikian, Prof. Amir Syarifuddin salah satu di antara yang menyampaikan kritik atas rencana tersebut. Dalam pandangan Prof Amir, mengubah bentuk IAIN menjadi UIN berpotensi akan mengikis kekuatan studi ilmu-ilmu keislaman. Selain itu, berubahnya beberapa IAIN menjadi UIN seperti dilakukan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pilot project, menurut beliau masih dalam tahap eksperimentasi, yang bisa saja, apabila tidak berhasil, maka mungkin saja akan dikembalikan ke bentuk semula, yakni menjadi IAIN kembali.
Intinya, beliau menunjukkan ada empati yang mendalam dari beliau terhadap keberadaan kajian keislaman di tengah kajian-kajian yang lain. Dapat pula dikatakan, beliau menyampaikan peringatan bahwa kondisi ini adalah tantangan kajian keislaman, apakah akan tetap dikotomis atau melebur dengan kajian apa pun yang dikembangkan di perguruan tinggi?.
Sekarang, Pak Amir, sang Guru Agama, telah ia tiada. Ia tutup usia, Rabu 27 Desember 2023. Betapa pun kuatnya pengendalian kesedihan yang dimiliki para murid beliau, tetap saja kehilangan guru ini adalah sebuah pengalaman yang memilukan. Akhirul kalam, tulisan ini kembali ke pesan Nabi Muhammad Saw: wa kafā bi al-mauti wā’izha (dan cukuplah kematian itu sebagai nasihat).
(Dr Zelfeni Wimra, Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol)