Munculnya kasus kekerasan seksual di kampus sebagai berita rutin yang sering muncul di media massa menunjukkan bahwa masalah ini masih belum teratasi dengan baik. Mengapa terus muncul kasus kekerasan seksual di kampus, dapat terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang isu kekerasan seksual di kalangan mahasiswa. Terkadang, budaya yang meremehkan seriusnya masalah ini atau mengabaikan hak-hak individu juga dapat memperburuk situasi.
Korban kekerasan seksual, yang sebagian besar adalah mahasiswa, seringkali membutuhkan waktu lama untuk berani berbicara. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai alasan yang kompleks. Beberapa korban mungkin mengalami trauma yang mendalam dan kesulitan untuk mengungkapkannya. Selain itu, stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual juga dapat membuat mereka takut untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. Mereka khawatir akan disalahkan atau tidak dipercaya, serta takut akan konsekuensi negatif yang mungkin timbul dari pengungkapan.
Untuk mendukung lingkungan yang aman bagi mahasiswa, komunitas perguruan tinggi perlu melakukan tindakan konkret. Penting untuk menciptakan budaya kampus yang mendukung setiap anggota komunitas merasa aman, dihormati, dan memiliki kepercayaan dalam melaporkan kekerasan seksual tanpa takut akan reprisal atau stigma. Ini melibatkan menghilangkan pola pikir yang mengabaikan atau meremehkan isu kekerasan seksual serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memberikan dukungan kepada korban. Dalam mencapai tujuan ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh lingkungan kampus:
Pertama, kesetaraan gender dalam pendidikan. Mendukung pendidikan tentang gender dalam kurikulum di bangku kuliah dapat membantu menghilangkan stigma gender dan budaya patriarki. Dosen dapat memberikan kuliah dan diskusi yang mempromosikan kesetaraan gender, memahami isu-isu yang terkait dengan kekerasan seksual, serta mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis tentang hal tersebut. Salah satu langkah yang dapat diambil untuk menciptakan lingkungan yang memberikan keberanian bagi perempuan adalah melalui pendidikan di bangku kuliah. Penting untuk menjadikan kuliah sebagai wadah yang terbuka, dimana mahasiswa merasa bebas untuk berpendapat dan didorong untuk mendorong kesetaraan gender. Dengan demikian, mahasiswa dapat menjadi individu yang kritis dan berani dalam menyikapi isu-isu tersebut. Sayangnya, masih ada beberapa dosen yang berpandangan bahwa materi tentang kesetaraan gender tidak penting, karena dianggap terkait dengan agenda westernisasi bahkan ada yang menyalahkan feminisme sebagai pintu masuk bagi LGBTQ.
Baca Juga: Mendorong Lingkungan Kampus yang Nyaman, Bebas dari Kekerasan Seksual
Kedua, penghapusan stigma. Penting untuk menghilangkan stigma terhadap korban kekerasan seksual. Mengedukasi seluruh komunitas kampus tentang dampak negatif dari stigma ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung bagi korban. Kampanye pencegahan, diskusi terbuka, dan pertemuan kelompok dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang isu ini dan mengubah sikap yang berkontribusi terhadap stigma.
Ketiga, sistem pelaporan yang aman. Membangun sistem pelaporan yang aman dan terpercaya adalah langkah penting untuk mendorong korban kekerasan seksual melaporkan insiden tersebut. Kampus harus memiliki kebijakan yang jelas dan prosedur yang efektif untuk menangani laporan kekerasan seksual. Jaminan kerahasiaan, perlindungan terhadap pembalasan, dan penanganan yang sensitif terhadap korban harus menjadi prioritas.
Keempat, kolaborasi dengan organisasi masyarakat, lembaga penegak hukum, dan kelompok advokasi juga dapat membantu dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus. Kolaborasi dengan pihak eksternal: kerja sama dengan organisasi masyarakat, lembaga penegak hukum, dan kelompok advokasi adalah penting untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus. Mengadakan pelatihan, workshop, dan kampanye bersama dapat meningkatkan kesadaran tentang isu kekerasan seksual dan memperluas jaringan dukungan bagi korban.
Kelima, pemanfaatan teknologi. Perkembangan teknologi, seperti platform media sosial, dapat menjadi alat penting dalam memberikan ruang bagi korban untuk menyampaikan pengalaman mereka secara anonim atau melalui saluran aman. Mendukung penggunaan teknologi ini dengan bijak dan memberikan edukasi tentang keamanan digital dapat membantu korban merasa lebih berani untuk menyuarakan pengalaman mereka. Kekerasan seksual di kampus dengan berbagai bentuk bukan hal yang baru. Sebelum internet informasi tentang kekerasan seksual hanya sebatas katanya atau informasinya terbatas. Tak banyak informasi yang bisa digali, korban lebih memilih diam karena mungkin takut atau tak tahu kemana harus mengadu, bukti juga susah untuk didapatkan. Perkembangan teknologi menjadikan korban berani untuk speak out dengan menggunakan platform social media. Ada yang mengadu ke akun menfess, dimana biasanya identitas korban dilindungi, namun kronologis dan pelaku bisa ia beberkan dengan leluasa. Ada juga yang menggunakan saluran WAG dimana informasi bisa cepat viral.
Keenam, peningkatan kesadaran. Mengadakan kegiatan dan acara yang bertujuan meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual di kampus dapat membantu membangun budaya yang lebih peduli dan mendukung. Diskusi panel, seminar, dan kampanye kesadaran dapat mengajak seluruh komunitas kampus untuk terlibat dan bertindak.
Perlu diingat bahwa masalah kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan dengan cepat atau tanpa upaya bersama. Semua langkah ini perlu didukung oleh komitmen yang kuat dari seluruh anggota komunitas kampus, termasuk mahasiswa, dosen, staf administrasi, dan pihak berwenang. (*)
Yayuk Lestari, S.Sos, MA, merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas