Langgam.id - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) Prof. Dr. Asrinaldi mengatakan, perbedaan identitas politik di Indonesia adalah hal lumrah. Meski demikian, identitas politik yang beragam tersebut mesti dibingkai dalam tujuan bernegara sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Demikian dikatakan Asrinaldi dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unand, pada Senin (15/5/2023) di di Gedung Convention Hall Kampus Limau Manis Unand.
Menurutnya, identitas politik adalah keniscayaan dalam mewujudkan perjuangan kelompok politik dalam kondisi yang majemuk. "Kondisi ini adalah lumrah karena setiap entitas politik memiliki visi dan misi yang ingin mereka wujudkan."
Baca Juga: Unand Kukuhkan Prof. Asrinaldi dan Prof. Ratni Jadi Guru Besar
Asrinaldi mengatakan, setiap entitas politik berusaha mendapatkan apa yang mereka cita-citakan dalam perjuangan mereka. "Begitulah dinamika dalam sistem politik yang menempatkan kelompok-kelompok politik saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan yang bertujuan membentuk pemerintahan yang absah," tuturnya.
Perjuangan dari entitas politik ini, menurutnya, memiliki perbedaan-perbedaan yang didasari oleh identitas politik yang mereka ciptakan. "Identitas politik ini diwujudkan dalam bentuk manifesto politik yang mereka perjuangkan."
Asrinaldi mengatakan, tidak ada persoalan dengan identitas politik ini sepanjang ditempatkan dalam tatanan berbangsa dan bernegara. "Apalagi NKRI dibangun dari identitas-identitas yang beragam dari aspek suku, bangsa, agama dan antar golongan yang menjadi karakter Indonesia," katanya.
Untuk membingkai agar manifesto politik entitas yang beragam ini berada dalam tatanan NKRI, menurutnya, negara harus mengatur identitas politik kelompok yang berbeda ini berada dalam wadah UUD 1945. "UUD 1945 dijadikan sebagai dasar dalam membangun Indonesia yang lebih maju dan modern ke depannya."
Tujuan NKRI bernegara itu, sudah ditegaskan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yaitu "…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…"
Maknanya, menurut Asrinaldi, identitas politik yang berbeda dalam masyarakat tersebut harus melebur ke dalam identitas nasional yang tercermin dalam tujuan bernegara yang harus dicapai.
Menurutnya, Pemilu selalu memunculkan friksi identitas dari kelompok politik yang bertanding, tidak hanya partai politik, tapi juga individu-individu yang menjadi peserta Pemilu.
"Fenomena ini juga lumrah terjadi karena setiap peserta Pemilu akan bersaing mendapatkan dukungan pemilih melalui identitas politik yang menjadi dasar membangun garis perjuangan mereka dalam sistem politik," ujarnya.
Ia mengatakan, manifesto politik dibangun dari identitas yang ditonjolkan sehingga diketahui oleh para pendukung sekaligus menjadi landasan bagi pendukungnya untuk memilih calon dan partai politik tersebut.
"Oleh karena identitas politik yang berbeda masing-masing partai dibingkai dalam wadah UUD 1945 sebagai landasan bernegara, mestinya tidak akan terjadi politisasi identitas yang mengarah pada konflik politik di antara partai politik yang bertanding."
Karena, menurutnua, konstitusi dan undang-undang sudah tegas mengaturnya serta sanksi yang diberikan kepada kelompok yang melanggarnya. "Karenanya cukup mengherankan kalau muncul politik identitas ini dalam setiap Pemilu, kecuali elite partai politik yang mempolitisasi tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai asas politiknya."
Asrinaldi menegaskan, Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan keberadaanya dibangun di atas keberagaman ini. "Tidak ada persoalan sesungguhnya dengan keberagaman ini kecuali memang ini sengaja dipermasalahkan oleh kelompok tertentu dengan tujuan politik tertentu," katanya.
Menurut Asrinaldi, hanya dinamika politik di antara elite yang ada di lembaga negara yang dapat menjaga keragaman Bangsa Indonesia ini.
Sebaliknya, elite politik pulalah yang dapat menjadikan keragaman ini sebagai dasar untuk berkonflik. Demokrasi akan hidup dan berkembang dengan baik, jika elite menjadikan keberagaman ini sebagai dasar berpolitik.
Sebaliknya, demokrasi akan mengalami defisit, jika pilihan elite politik adalah memperkuat identitas politik kelompok mereka dan mengabaikan identitas bersama yang sudah disepakati dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Asrinaldi menuturkan, sejarah sudah membuktikan, kehancuran sebuah negara yang berbilang kaum dimulai dengan menguatnya identitas-identitas etnis, suku, ras dan agama yang dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan belaka.
"Realita ini harus dipahami oleh elite politik dan massa pendukungnya untuk tidak bermain-main dengan politik identitas, apalagi untuk memenangkan Pemilu." katanya. (HM)