Langgam.id - Sidang perdana delapan orang anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Aia Gadang Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat terkait dugaan pelanggaran UU Perkebunan digelar, Senin (6/12/2022).
Sidang yang digelar Pengadilan Negeri Pasaman Barat itu, beragenda pembacaan dakwaan. Delapan petani yang diseret perusahaan perkebunan swasta PT. Anam Koto ke meja hijau tersebut Januardi, Akmal, Herianto, Susi Susanti, Safridin, Tamrin, Arman dan Amran.
Mereka dianggap telah menduduki dan mengerjakan lahan perkebunan diatas penguasaan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Tindakan yang dilakukan diduga telah melanggar Undangan Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan).
Konflik antara petani dan perusahaan berawal dari tidak dilaksanakannya perjanjian oleh PT. Anam Koto untuk membangunkan kebun masyarakat minimal 10% dari total luasan HGU. Padahal keharusan itu tercantum dalam perjanjian antara Ninik Mamak Nagari Aia Gadang dengan PT. Anam Koto pada saat penyerahan tanah ulayat.
Ketua DPC SPI Januardi mengatakan, masyarakat Aia Gadang yang tergabung dalam SPI Basis Aia Gadang sudah mengusulkan konflik tersebut ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kementerian sudah menetapkan lokasi konflik agraria sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
"LPRA ini harus diselesaikan konfliknya pada tahun 2022 ini, serta akan diredistribusikan paling lambat kepada petani tahun 2023. Target ini dilakukan untuk menunjang reforma agraria seluas 9 juta hektare secara nasional," tutur Januardi.
Terkait pelaporan pendudukan lahan secara tidak sah yang dituduhkan PT. Anam Koto kepada masyarakat Aia Gadang, menurut Januardi, merupakan bentuk pembangkangan terhadap komitmen pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria yang jumlahnya sangat tinggi, terkhusus di Pasaman Barat.
Pengakuan Januardi dalam keterangan tertulis yang diterima Langgam.id, sebelumnya juga Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko, sudah mengeluarkan surat Nomor B-21/KSK/03/2021 tentang Permohonan Perlindungan Lokasi Prioritas Penyelesaian Konflik Agraria kepada Kapolri dan Panglima TNI. Tujuannya agar mencegah terjadinya kriminalisasi, intimidasi serta membantu menjaga kondusifitas di lokasi lokasi prioritas. Namun hal ini tidak sedikitpun menjadi pertimbangan bagi Polres Pasaman Barat untuk menghentikan perkara konflik agraria.
Sekretaris Pusat Bantuan Hukum Petani Serikat Petani Indonesia (PBHP-SPI) M. Hafiz Saragih mengaku sangat menyayangkan persoalan sosial yakni konflik agraria yang mengedepankan prinsip-prinsip pemidanaan.
"Konflik Agraria merupakan persoalan sosial yang sudah berlangsung sejak lama, artinya struktural, sehingga membutuhkan penanganan yang serius oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah karena akan berdampak luas jika tidak segera diselesaikan. Penanganan permasalahan konflik agraria tentunya harus berlandaskan keadilan yang tercantum dalam konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)," tutur Hafiz.
Hafiz menambahkan, mengedepankan pemidanaan tidak akan menyelesaikan konflik agraria, tetapi justru akan menambah daftar petani dan rakyat pedesaan yang dipenjara akibat memperjuangkan hak atas tanahnya. Kemudian kian melegitimasi ketimpangan pemilikan dan pengusaaan tanah oleh segelintir orang yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan struktural di Indonesia.
Baca Juga: Bawa 9 Tuntutan Aksi, SPI Pasaman Barat Desak Bupati Selesaikan Konflik Agraria
"Oleh karena itu, yang terhormat majelis hakim harus melihat bahwasanya persoalan konflik agraria ini sebagai persoalan sosial yang harus disikapi dengan semangat mewujudkan keadilan terhadap akses sumber-sumber agraria bagi rakyat Indonesia. Pemidanaan tidak akan mencapai dari tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan," katanya.