Awalnya saya mencoba berjarak dengan polemik awning (kanopi) di Jalan Minangkabau Bukittinggi. Namun, makin kesini saya berpikir, kenapa pedagang toko yang rata-rata adalah orang kaya berteriak? Kenapa istilah naik kelas untuk sahabat pedagang kaki lima hanya sampai pada tataran pemberian (kanopi) atap? Kenapa tidak diusahakan oleh pemerintah kota untuk menaikkan kelas, benar benar sampai para saudara saudara kita pedagang kaki lima memiliki toko? Kenapa ada demo kaum pemilik toko? kenapa ada Demo kaum pedagang kaki lima seakan terzalimi? Apakah ini akan berujung berbicara menang dan kalah? Apakah paradigma yang akan dimunculkan adalah kaum kaya vs kaum miskin? Padahal bertahun tahun mereka seperti saudara, satu berjualan di dalam toko, satunya memanfaatkan emperan toko, dengan niat baik sama sama menghidupi keluarga.
Foto ini saya ambil saat melewati jalanan dari Stazione d Pisa Centrale, Italia beberapa tahun silam. Untuk menuju Menara Pisa, jalan kaki adalah pilihan paling tepat sembari melihat keindahan kota, ada yang berjualan di toko, ada juga yang berjualan kaki lima, persis sama dengan Bukittinggi. Dua kota yang tercatat sama-sama kota tua, sama-sama mempertahankan “kesempatan” untuk melihat awan, langit, dan sebuah Jam Besar yang menjadi penanda waktu.
Angle foto ini sering sekali dijumpai jika berkunjung ke Bukittinggi (foto @erisonjkambari) berjalan di Jalan Minangkabau yang langsung dapat melihat Jam Gadang serta Gunung Singgalang. Selera estetika setiap orang memang berbeda, selera estetika para pengambil kebijakan juga pasti berbeda. Tapi jika negara se modern Italia masih mempertahankan kesan vintage / kuno tanpa mengurangi daya tarik wisata bagi 5 juta wisatawan dunia setiap tahunnya. Apakah kita harus mengejar ke-modern-an lewat awning / kanopi yang menutupi jalan utama menuju pedestrian Jam Gadang dan pemandangan indah ini?
Kesampingkanlah estetika, timbangan utama adalah perihal fungsi. Apakah nantinya fungsi jalan akan beralih menjadi lokasi berjualan? Apakah itu permanen atau temporer? Bagi saya pribadi, mau di kanopi maupun tidak, saya tetap cinta dengan kota kecil ini.
Tapi, ada hal yang lebih penting sebelum terlalu jauh, perlu diingat, sejarah mencatat dahulu tahun 1884 pernah terjadi prahara besar di pasar atas Bukittinggi, bahkan terjadi disaat ekonomi maju namun tanpa system nilai dan moral yang baik. Sehingga terjadi penjarahan, perampokan, chaos antara sesama pedagang, timbul curiga dan saling tak berpikir sehat. Saat itu ninik mamak akhirnya menyerahkan penyelesaian masalah pada ulama, dan hari itu diperingati jadi HARI LAHIR KOTA BUKITTINGGI. Gesekan masyarakat itu tak pernah muncul sampai hari ini, 138 Tahun setelahnya.
Jelas, saya berharap api gesekan saling demo menolak dan mendukung awning tidak membelah warga. Karena saat ini entah sengaja atau tidak sudah menjadi 2 paradigma; orang toko = orang kaya vs pedagang kaki lima = rakyat terdzalimi sedang saling berhadapan.
Baca juga: Film Perjalanan Pertama Karya Arief Malinmudo, Tayang Spesial di Padang dan 11 Kota
Ayooo lihat kebelakang, berpuluh tahun mereka akur sebelum ada wacana ini. Dan kondisi yang diperparah dengan viralitas ini jangan sampai membuat para saudara saudara kita yang semua hampir saling mengenal di kota yang luasnya hanya 5x5 kilometer ini jadi tak harmonis, apalagi berpanas hati.
_
Penulis: Arief Malinmudo