Dalam kuliah "Communication for Public Leadership" di kuliah pascasarjana di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, setiap mahasiswa diberi kesempatan tiga kali berpidato menyampaikan gagasan kepada publik.
Mahasiswa diminta berperan sebagai pembuat kebijakan dan kemudian menyampaikan sebuah kebijakan kepada publik. Temanya boleh apa saja.
Di salah satu sesi dari tiga kali kesempatan pidato itu, tema yang saya ambil adalah mengenai sedikitnya warga Singapura berwisata ke Sumatra Barat, mereka lebih mengenal Batam, Bali, atau Jakarta. Saya membayangkan diri sebagai "Duta Besar Sumatra Barat untuk Singapura" yang ingin mempopulerkan wisata ke Ranah Minang. Saya membuka pidato dengan cerita mengenai Nasi Padang.
"Setiap orang Singapura tahu Nasi Padang. Tapi apakah kalian tahu dari mana asal istilah Nasi Padang? Kalian mungkin berpikir Nasi Padang itu makanan yang disajikan terhampar seperti tempat bernama Padang di sini. Tidak. Nasi Padang itu berasal dari kata Padang, nama Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat."
Lalu saya menceritakan, bagaimana perantau-perantau Minangkabau dulu datang ke Singapura, membawa tradisi kuliner mereka. Mereka kemudian berjualan kuliner ini yang kemudian dikenal ramai sebagai Nasi Padang.
Namun inti pidato saya bukanlah Nasi Padang, namun mengenai hubungan sejarah yang sudah terbentang lama antara Singapura dan Minangkabau termasuk misalnya Presiden pertama Singapura, Yusuf Ishak, yang juga berdarah Minang. Hubungan ini seharusnya bisa menjadi modal dasar bagi kunjungan warga Singapura yang lebih ramai ke kampung halaman saya itu.
Ketika kuliah berakhir, seorang teman India-Singapura mendatangi saya. Dia bilang baru tahu bahwa kata "padang" di Nasi Padang itu berasal dari nama kota di Indonesia. Saya tersenyum memaklumi ketidaktahuannya.
Istilah Generik
Di Singapura, terdapat sebuah lapangan yang disebut sebagai "Padang". F1 Singapore dilakukan mengelilingi lapangan ini karena memang, seperti namanya, adalah padang. Padang di Singapura ini digunakan untuk berolah raga seperti kriket atau mungkin dulunya juga berkuda.
Sementara juga ada istilah "Nasi Padang". Orang tua Presiden Singapura saat ini, Halimah Yacob, dulu berjualan Nasi Padang ini. Halimah mudah juga ikut membantu berjualan. Banyak yang syak jika Halimah memiliki darah Minang karena orang tuanya berjualan Nasi Padang, namun belum ada sumber meyakinkan menyatakan ini.
Nasi Padang di Singapura tidaklah terasosiasi langsung dengan orang-orang Minang. Saya, setelah berkuliah di Singapura, memahami Nasi Padang yang dipahami warga Singapura tidaklah sama dengan yang dipahami orang Indonesia umumnya. Perbedaan pemahaman ini sempat meruncing ketika seorang pebisnis makanan di Singapura membuat posting media sosial dengan memburuk-burukkan "Nasi Padang".
Lalu di mana letak perbedaan pengertiannya? Orang Singapura menggunakan istilah Nasi Padang untuk gaya berjualan makanan khas Nusantara yang siap saji atau buffet. Singapura mengistilahkannya sebagai makanan Melayu, namun saya menggunakan memilih menggunakan istilah Nusantara untuk menyebut wilayah geografis yang melintasi batas-batas negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, atau Thailand selatan. Nasi Padang sudah menjadi istilah generik untuk warung makanan yang menyajikan menu masakan Nusantara.
Rasanya bagaimana? Soal enak atau tida kenak tentu relatif. Namun saya bisa berkata, hampir semua Nasi Padang di Singapura sudah meninggalkan pakem Nasi Padang yang kita sehari-hari rasakan di Indonesia.
Dua hal mencolok yang saya temukan adalah penggunaan gula pasir dan kari untuk memasak, yang jarang kita temukan di masakan Minangkabau.
Nasi Padang dengan begitu sudah melampaui Nasi Padang yang orang-orang Indonesia bayangkan. Memang beberapa menu makanan khas seperti rendang juga tersedia, namun jangan kaget jika melihat menu lodeh, rawon, atau pepes.
Nasi Padang sebagai Medium
Namun yang paling mengejutkan dari Nasi Padang di Singapura adalah, tidak semuanya berlabel halal. Penjualnya bukan melulu orang-orang Minang, seperti halnya kita lihat dari orang tua Halimah Yacob. Ada juga penjualnya yang beretnis Cina, warga mayoritas di Singapura.
Ketika berita "Restoran Nasi Padang Babiambo" di Kelapa Gading beredar, pikiran saya kembali melayang kemasa-masa saya berkuliah di Negeri Singa itu. Nasi Padang sudah menjadi istilah generik untuk makanan yang diolah dengan bumbu-bumbu khas makanan Nusantara lalu kemudian ditaruh di etalase sebagai makanan siap saji yang tinggal dipilih dan dipadankan dengan nasi putih.
Pertanyaannya adalah, apakah kita akan bersikap konservatif dengan bertepuk dada bahwa Nasi Padang adalah makanan yang diolah oleh orang Minang, dengan cara Minang sehingga sesuai standar halal atau membiarkan Nasi Padang menjadi istilah yang lebih luas seperti dimaknai di Singapura?
Saya lebih memilih jalan yang kedua. Ini momen bagi orang-orang Minangkabau membawa kebudayaan mereka mendunia. Nasi Padang menyebar ke seluruh dunia dan pada akhirnya menjadi medium kebudayaan yang menghadirkannya ke dunia: Minangkabau. Penggemar Nasi Padang tentu akan mencoba menelusuri sejarah makanan yang mereka gemari.
Lalu bagaimana dengan perihal halal atau haram?
Jika ini ditanyakan, maka terpulang kepada pembeli, penjual makanan, dan pemerintah atau Majelis Ulama sebagai regulator halal-haram. Karena ayam goreng pun bisa jadi haram ketika ayam yang menjadi bahan bakunya tidak disembelih sesuai standar halal. Cappucino cincau pun bisa jadi haram jika memakai air comberan.
Ketika sebuah kebudayaan mendunia, tentu akan terjadi adaptasi, percampuran, dan sebagainya. Rendang yang biasanya menggunakan daging yang halal bisa saja menggunakan daging babi. Ini lumrah terjadi, selumrah orang Minang mencampur Cappucino dengan cincau, orang Yogya menggeprekkan sambal ke ayam goreng tepung sehingga menjadi ayam geprek, atau bakpao halal yang tidak lagi berisi daging babi.
Apakah pernah kita mendengar orang Italia protes ketika Cappucino dicampur cincau menjadi cappucino cincau? Orang Cina menggugat bakpao yang tidaklagi pakai daging babi? Atau orang Amerika mengeluhkan ayam goreng tepung mereka digeprek dengan sambal? Tentu tidak pernah.
Mereka merasa kebudayaannya menjadi lebih besar ketika tradisi kuliner mereka diadopsi di kebudayaan lain. Mereka tidak mengidap inferiority complex.
---
Arfi Bambani Amri adalah alumnus pascasarjana Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Pria berdarah Minang ini sekarang bekerja sebagai jurnalis di Jakarta.