Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Hampir tiap hari ditemukan sejumlah warga memancing di Banda Bakali, Kota Padang.
Langgam.id - Puluhan pemancing tampak mematung sembari menunggu umpannya disambar ikan. Mereka menyebar di sepanjang bantaran Banjir Kanal atau yang oleh warga Kota Padang lebih dikenal dengan sebutan Banda Bakali.
Banda Bakali merupakan sungai buatan yang dibangun pemerintah kolonial pada awal abad ke-19. Yose Hendra dalam tulisan Banjir Besar Padang 1907, Latar Belanda Menggagas Pembuatan Banda Bakali, menuliskan, pemerintah kolonial dibuat kelabakan akibat banjir besar yang melanda Padang pada tahun 1907.
Banjir besar itulah yang membuat pemerintah kolonial tergerak mengurai aliran sungai Batang Arau menjadi dua, dengan mengalirkan sebagian airnya ke Banjir Kanal atau Banda Bakali.
Sungai buatan ini mengular sepanjang 6,8 Km, yang dimulai dari Kecamatan Lubuk Begalung, dan bermuara di Purus.
Salah seorang warga yang bermukim di pinggiran Banda Bakali, Afriz, mengatakan, sudah sepekan lebih debit air Banda Bakali menyusut.
Afriz mengatakan, bila air menyusut, ikan akan mudah dipancing atau dijala. "Banyak ikan terlihat di permukaan. Ramailah warga yang datang ke sini untuk memancing," kata pria 43 tahun ini kepada langgam.id.
Para pemancing itu datang dari berbagai kelurahan di Kota Padang. Ada yang sekadar menyalurkan hobi memancing, dan sebagian lainnya menjadikan hasil tangkapan untuk dikonsumsi.
Mereka menyebar di bantaran Banda Bakali yang berada di sekitaran jembatan kereta api, di Kelurahan Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara.
Salah satunya adalah Jefriwan. Terik matahari tak menyurutkan semangat pria 28 tahun ini melentingkan kail demi kail ke air, Selasa (22/3/2022)
"Tak bisa lama-lama, karena banyak sampah juga," kata Jefriwan. Akibatnya, tiap sebentar, kail mesti ditarik sebab ada sampah yang menyangkut.
Jefriwan mengatakan, ada dua momen ketika ikan mudah didapat di Banda Bakali. Yaitu saat debit airnya sedang naik dan sebaliknya.
"Kalau airnya besar, ikan ini menepi di pinggiran, tinggal kita tangkap pakai tangguk," ujarnya.
Saat bercakap-cakap dengan langgam.id, Jefriwan terlihat sibuk melepaskan sampah yang menyangkut di mata kailnya.
"Beginilah, warga banyak yang buang sampah," kata warga Simpang Haru ini, sembari melempar kembali kail ke air.
Tak sampai lima menit, jorannya melengkung tajam. Ia tampak pasrah, sebab itu bukanlah tarikan ikan. Tawanya tiba-tiba pecah ketika mendapati sehelai pakaian dalam menyangkut di mata pancingnya.
"Tapi ya, kita harus sabar-sabar, seringan menyangkut sampah ketimbang ikan," kata Jefriwan.
Jefriwan mengatakan, saat air Banda Bakali menyusut, biasanya ia bisa mendapatkan 2 kg ikan. Jenisnya beragam, mulai dari nila, gariang, ikan panjang dan lele.
"Buat dimasak biasanya, yang dapat banyak kadang ada juga untuk dijual," kata dia.
Pemancing lainnya, Mahyudin (67), sudah mangkal di bantaran Banda Bakali sejak pukul 10.00 WIB. Pensiunan yang merupakan warga Kelurahan Ampang ini, saban hari mengisi waktu dengan memancing di Banda Bakali.
Mahyudin mengatakan, hobi memancing sudah mendarah daging sejak ia berusia belia. Memancing dengan modal murah, kata dia, hanya bisa dilakukan di Banda Bakali.
Bagi Mahyudin, tak perku modal besar untuk bisa menyalurkan hobi. "Cukup dengan umpan lumut, alat pancing sederhana, sudah. Itu saja, kalau lagi dapat, bisa lima kilo," kata dia.
Dari kejauhan, belasan pemancing lainnya tampak mematung di bawah terik matahari. Sedikit ke hulu dari tempat Mahyudin, tampak beberapa warga tengah menjala ikan.
"Memang harus jauh, kalau dekat sini juga, terganggulah orang yang memancing," kata Mahyudin.
Mahyudin mengungkapkan, apabila debit air kian menyusut, akan lebih banyak warga yang turun untuk menangguk ikan. Itu akan lebih mudah, karena ruang gerak ikan jadi lebih sempit.
Sesekali, Mahyudin harus bekerja sedikit lebih keras ketika ikan sapu-sapu menyambar umpannya. Ikan ini tak bisa dikonsumsi. "Kalau dapat, dibuang saja, sering bikin putus tali pancing," ujarnya.
Lantai Banda Bakali terlihat jelas dari dinding terasering di pinggirannya. Gerombolan ikan nila tampak mondar-mandir, sekan tak menyadari puluhan mata kail tengah mengintai.
Seakan tak mau kalah, gerombolan sampah juga tampak tenang dibawa arus. Bila hujan dan debit air Banda Bakali meningkat, sampah-sampah warga tampak saling berpacu di atas derasnya arus permukaan air.
"Bagaimana tidak banyak sampah, pas surut ini lihatlah, banyak orang buang sampah di sepanjang terasering ini. Pas hujan sampah itu akan disambar air, dan menumpuk di bagian muara," kata Mahyudin.
Baca juga: Banjir Besar Padang 1907, Latar Belanda Menggagas Pembuatan Banda Bakali
Pantauan langgam.id, di beberapa titik di bantaran terasering Banda Bakali, memang terlihat tumpukan sampah bekas pembakaran warga.
Warga yang lalu-lalang, sesekali juga terlihat melentingkan sekantong sampanh dari atas motor. Siapa peduli?
—