Selamatkan Gedung Bagindo Aziz Chan!

Karena gedung baru itu, dikhawatirkan akan menghancurkan gedung lama yang merupakan bangunan bersejarah gedung Bagindo Aziz Chan. 

Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi.

Saya membaca artikel Yeyen Kiram tentang kekhawatirannya atas pembangunan gedung baru Padang Youth Center yang baru saja dicanangkan Pemerintah Kota beberapa hari yang lalu. Karena gedung baru itu, yang direncakan 3 lantai, dikhawatirkan akan menghancurkan gedung lama yang merupakan bangunan bersejarah (populer dalam ingatan orang banyak sebagai Gedung Bagindo Aziz Chan).

Itu gedung kuno, tentu saja, sudah lebih dari pantas jadi Benda Cagar Budaya yang dilindungi.

Jika sejarahnya diurai, bisa panjang menjela-jela.

Yeyen Kiram telah menuliskannya dengan cukup baik. Gedung itu berdiri pada 1840an, setelah kekuasaan kolonial lumayan kokoh di Minangkabau, setelah Padri di dataran tinggi disingkirkan dan Belanda menegakkan supremasinya dengan kuat.

Sebagaimana gedung-gedung besar lain, saya pikir, bangunan itu mungkin dibuat para pekerja paksa. Tahanan-tahanan rantai yang banyak dipenjarakan di Penjara Muara telah dikirim ke situ untuk bekerja. Pada kurun itu, Penjara Muara memang tercatat jadi penjara pusat untuk tahanan hukuman berat.

Sepertinya bangunan itu mulanya bergaya empire style yang telah lama populer di Eropa, dengan pilar-pilar besar dan tinggi, tiang-tiangnya rapat dengan atap prisma segitiga.

Gedung itu digunakan untuk pertemuan-pertemuan sosial kelas atas kolonial, juga tempat upacara pelantikan dan peresmian pejabat-pejabat baru. Semacam gedung societiet, yang memang sejak paro kedua abad ke-19 jadi banyak di kota-kota kolonial. Tidak terkecuali di Padang, tentu saja, kota kolonial yang termasuk terpenting di Sumatra untuk ukuran zaman itu.

Lalu gedung itu direnovasi pada akhir abad ke-19, di saat kemakmuran negara kolonial tengah meningkat pesat setelah Tanam Paksa berakhir dan dimulainya Liberalisasi Ekonomi. Corak bangunannya jadi terlihat lebih bergaya art deco, sekalipun tidak begitu persis juga, ini semacam gaya arsitektur yang banyak diinspirasi bentuk-bentuk dekorasi zaman kemajuan semisal bentuk mesin, bentuk mobil, bentuk radio, bentuk gramophon dan lain-lain. Gaya ini banyak dipakai untuk bangunan bioskop (gedung sinema) dan gedung hiburan atau kesenian sejenis. Dapat dikata, langgam ini hadir sebagai antitesis dari langgam kerajaan yang sudah tertinggal.

Peruntukannya tampaknya juga semakin dintensifkan menyesuaikan geliat zaman. Mungkin karena gaya hidup mewah kelas-kelas atas dari masyarakat kota kolonial itu mesti ada ruangnya yang lebih lapang, jadi bangunan itu lebih banyak berfungsi sebagai ruang populis untuk pertunjukan orkestra, pergelaran musik dan sandiwara, termasuk pesta-pesta dansa dan acara-acara minum para sosialita Eropa kota.

Zaman Agresi, Walikota Aziz Chan juga pernah berkantor dan bermarkas di situ.

Setelah perang usai, sejak 1954 United States Information Service (USIS) pernah menjadikannya pusat kajian dan perpustakaan bernama mentereng 'Linclon Library'. Koleksinya sangat banyak saya pikir. Saya tidak tahu ke mana pergi koleksi-koleksinya setelah perpustakaan itu ditutup. Mungkin telah dihibahkan ke beberapa perpustakaan di kampus-kampus atau ke perpustakaan umum yang ada. Saya masih punya beberapa buku penting lagi langka yang berstempelkan nama perpustakaan itu.

Aldo Zhirsov pernah menulis postingan menantang di media sosial tentang riwayat perpustakaan itu. USIS mendirikan perpustakaan yang sama hanya di 5 kota besar di Indonesia, di mana Padang salah satunya. Amerika, pada kurun itu, sedang gencar melawan dominasi komunis di Asia Tenggara. Jadi, pusat kajian dan informasi penting sebagai jangkar penyebaran ide-ide demokrasi dan hak asasi manusia untuk melawan arus wacana komunisme.

Sumatra Barat mungkin dinilai penting sebagai kantong perlawanan yang paling giat dan gigih pada saat itu. Protes-protes daerah beberapa kali dilancarkan dari gedung itu. Beberapa rapat dan reuni Dewan Banteng sebelum pemberontakan benar-benar meletus juga dilakukan di situ. Foto yang diambil James Burke pada Februari 1958, bulan ultimatum Dewan Banteng diterbitkan yang menjadi awal Perang Saudara, memperlihatkan gelombang massa protes terhadap pemerintahan Jakarta dilakukan di depan gedung itu dengan latar papan nama Linclon Library tertera jelas (lihat postingan Aldo Zhirsov).

Setelah PRRI mengingkir ke hutan, tentara pendudukan APRI mungkin telah mengambil-alihnya.

Di zaman Orde Baru, gedung itu terkena bawah gonjongisasi Harun Zein, atapnya diganti jadi bergonjong.

Ketika saya kuliah dulu, beberapa pameran buku yang besar-besar dan monumental dalam sejarah pekan raya buku yang pernah ada sampai sekarang pernah dilangsungkan di situ.

Gempa tahun 2007 dan 2009 telah merusaknya dengan cukup parah. Pada 2012, pemerintah kota merehabnya, lalu dijadikan Kantor Dinas Pendidikan sampai baru-baru ini.

Mungkin gedung ini memang lebih cocok difungsikan untuk aktifitas publik yang menunjang pembangunan peradaban dan kreatifitas warga kota, alih-alih difungsikan sebagai sebuah kantor dinas. Jika pun kini di sana direncanakan akan jadi Padang Youth Centre yang memfasilitasi aktifitas dan kreatifitas anak muda, hal itu akan lebih senafas belaka dengan fungsinya dalam sejarahnya selama ini.

Tetapi persoalannya, pembangunan gedung baru yang direncanakan tiga lantai itu akan berpotensi melenyapkan bangunan gedung lama, sepandai-pandainya tukang tentu akan mengubah secara signifikan bentuk bangunan itu. Itulah yang diprotes Yeyen Kiram dan banyak orang pecinta bangunan tua lainnya saya kira belakangan ini.

Sebuah bangunan tentu saja benda mati. Kekuasaan manusia bisa berbuat sekehendaknya, merobohkannya lalu menggantinya dengan bangunan yang baru sama sekali. Tetapi, jika orang-orang punya akal yang lebih panjang sedikit, tentu saja mereka mengerti benda-benda itu, apalagi bangunan bersejarah berusia ratusan itu, jelas terhubung pada suatu ingatan manusia. Ia merekam geliat manusia berlintas zaman.

Ketika sebuah bangunan lenyap, berpotensi melenyapkan juga ingatan akannya.

Setidak-tidaknya makna hadir karena ada penanda. Jika penandanya lenyap, maknanya juga ikut lenyap.

Orang-orang di pemerintahan kota itu tidak perlu diajari. Banyak yang magister dan doktor juga. Setidak-tidaknya konsultan-konsultan mereka para orang terdidik dan cerdik-cendikia semua.

Pejabat-pejabat di sana juga sudah pada sering turne keluar negeri, bukan?

Tentu sudah melihat juga bagaimana orang-orang di negara-negara maju memperlakukan bangunan-bangunan bersejarah mereka.

Ini hanya masalah itikad baik dan kemauan saja. Untuk menyelamatkan bangunan bersejarah agar tidak dilamun begitu saja demi alasan klise bernama pembangunan.

Bukittinggi, Februari 2022

[Deddy Arsya, warga Kota Padang, sekarang jadi dosen sejarah di IAIN Bukittinggi]

Baca Juga

Jalan Terjal Welhendri Azwar Menggapai Guru Besar
Jalan Terjal Welhendri Azwar Menggapai Guru Besar
Bantah Maigus Nasir Pernah Divonis Korupsi, Mantan Pejabat Kejagung: Fitnah
Bantah Maigus Nasir Pernah Divonis Korupsi, Mantan Pejabat Kejagung: Fitnah
Temui Penyandang Disabilitas di Kuranji, Fadly Amran Janjikan Kota Inklusif
Temui Penyandang Disabilitas di Kuranji, Fadly Amran Janjikan Kota Inklusif
Pulihkan Ekonomi Kota Padang, Fadly Amran Bakal Revitalisasi Pasar Raya
Pulihkan Ekonomi Kota Padang, Fadly Amran Bakal Revitalisasi Pasar Raya
Fadly Amran Janji Jadikan Padang Kota Sehat
Fadly Amran Janji Jadikan Padang Kota Sehat
Balanjuang dengan Warga Kuranji, Fadly Amran Berkomitmen Jadi Pemimpin yang Melayani
Balanjuang dengan Warga Kuranji, Fadly Amran Berkomitmen Jadi Pemimpin yang Melayani