ABS-SBK di Tepi Jurang?

Langgam.id-tol

Benni Inayatullah. (Foto: Dok Benni)

Saya sungguh terkejut membaca judul berita di harian Haluan edisi 17 November 2021 lalu yang menurut saya sangat sulit diterima akal. Tertulis besar-besar judul itu “Sumbar darurat Kekerasan Seksual”. Mulanya saya tidak percaya namun di dalam laporan itu terpapar data-data yang sulit dibantah. Selama tahun 2021 telah terjadi 63 kasus kekerasan seksual yang dicatat oleh Nurani Perempuan Sumbar, sebuah LSM yang fokus terhadap pengadalayanan untuk perempuan korban kekerasan di Sumbar.

Karena penasaran saya kemudian mencari-cari informasi tentang kasus kekerasan seksual di Sumbar. Saya menemukan fakta yang makin mengejutkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di pedesaan Sumbar adalah yang tertinggi di Indonesia. Katadata.co.id yang bersumber dari BPS memaparkan tahun 2019 Sumbar tercatat sebagai peringkat tertinggi dalam kasus perkosaan dengan persentase desa sebanyak 5,73 persen.

Posisi selanjutnya ditempati oleh Gorontalo sebesar 4,63%, Nusa Tenggara Barat 4,55%, Kalimantan Timur 4.14%, dan Papua 3,46%. Sementara DKI Jakarta menempati posisi ke-10 dengan persentase 2,62%.

Kontrol Sosial

Saya sungguh tidak tahu harus mulai dari mana untuk menilai apa yang sesungguhnya terjadi di negeri yang beradat dan berlembaga ini. Soal kerasnya orang Minangkabau memegang adat sudah tidak perlu kita ragukan lagi. Begitu pula soal ketatnya orang Minangkabau beragama tidak perlu pula kita pertanyakan lagi. Adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang sungguh elok dan mengagumkan itupun hanya ada di Sumatera Barat.

Di berita yang saya baca, Ketua LKAAM M Sayuti Dt. Rajo Pangulu mengatakan bahwa dalam adat Minangkabau, perkosaan seperti itu akan dihukum berat begitu pelaku selesai menjalankan hukuman negara. Menurutnya, secara adat pelaku harus membantai sekor kerbau untuk meminta maaf pada korban, anak nagari dan masyarakat.

Sepintas itu sebuah hukuman ganda yang akan diterima oleh pelaku kekerasan seksual di Sumbar. Pertama adalah hukum positif dari negara berupa hukuman penjara dan kedua adalah hukum sosial yang akan dikenakan di nagari.

Lalu dengan hukuman sedemikian berat kenapa justru kekerasan seksual ini terus meningkat? Saya kemudian mencari-cari dari pemberitaan media apakah memang hukuman adat itu dilakukan secara konsisten di Sumatera Barat? Ternyata satupun tidak ada saya temukan pemberitaan tentang itu. Sidang pembaca boleh menyajikan data yang berbeda karena barangkali media luput memberitakan.

Namun, dari pengalaman masa kecilpun selama tinggal di Sumatera Barat saya juga belum pernah mendengar hukum adat ini dilekatkan kepada anak dan kemenakan. Kecuali perihal kasus ringan yang hanya perlu diselesaikan dengan membawa singgang ayam.

Sampailah saya pada satu kesimpulan awal bahwa di tataran nagari atau komunitas masyarakat terkecil, hukuman sosial ini sesungguhnya tidak jalan. Dengan begitu maka kontrol sosialpun saya ragukan berjalan dengan semestinya di Sumatera Barat.

Barangkali teori Travis Hirchi yang mengatakan bahwa “pelaku kriminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan untuk mengikatkan atau terikat dengan individu agar tetap teratur” adalah benar adanya.

ABS-SBK hanya bunga jamba belaka?

Bila Adat ternyata tidak lagi menjadi alat kontrol yang efektif dalam sistem sosial lalu bagaimana dengan peran agama? Saya agak sulit untuk menilai hal ini karena agama sangat personal sifatnya. Sangat sulit untuk menilai apakah seseorang atau kelompok telah menjalankan agama dengan baik. Ketaatan orang beragama dan menjalankan nilai-nilainya tidak bisa dinilai dari menutup aurat saja. Apalagi dinilai dari jumlah sekolah agama dan TPA yang ada.

Begitupun dengan aspek kontrol dan pendidikan di keluarga. Agak sulit kita mengetahui apakah dalam keluarga di Sumbar terjalin hubungan yang erat antar anggota keluarga. Apakah orang tua menjalin komunikasi dengan anak-anak dengan baik? Bagaimana pula peran mamak rumah sekarang? Pendidikan seksual sejak dini sebetulnya saat ini bukan hal tabu lagi. Namun saya tidak tahu juga apakah di Sumbar hal ini juga sudah menjadi kebiasan atau belum.

Bagaimanapun, adagium Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah sudah terpatri sebagai satu-satunya milik Minangkabau. Kewajiban untuk menghargai dan melindungi perempuan seharusnya sudah menjadi hal wajib dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ketika kekerasan seksual dan narkoba ternyata telah sedemikian menyeruaknya bagaimana kita akan menjelaskan kepada khalayak?

Saya tak mampu menjelaskan itu dan pada tulisan ini juga tidak berusaha memaparkan solusi. Saya hanya menyuarakan kegelisahan anak Minangkabau terhadap ranahnya. Rasanya kita tak kekurangan orang-orang cerdik pandai, alim ulama dan niniak mamak yang hebat-hebat.

Gubernur kita sudah beberapa periode bergelar Buya sekaligus Datuk. Tapi apa kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh Gubernur Buya Mahyeldi Dt. Marajo untuk mencegah kerusakan moral ini terus terjadi? Saya dan mungkin kita semua tidak (belum) tahu.

Kita juga memiliki Ulama sekaligus Datuk yang saat ini menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia yaitu Buya Gusrizal Gazahar Datuk Palimo Basa. Saya sangat mengagumi pernyataan-pernyataan beliau yang kritis sekaligus puitis di media sosial saat merespon isu nasional. Namun perihal isu kekerasan seksual di kampung sendiri saya belum mendengar sama sekali.

Jadi, kemana lagi kita akan mengadu? Sanak saudara boleh berkecil hati karena menganggap saya sedang membuka aib. Ibarat menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Mencabik baju di dada. Tapi fakta kelat ini tidak bisa terus kita sembunyikan. Tukak yang disembunyikan akan terus menyeruak hingga memenuhi sekujur tubuh lalu menyebarkan bau busuk. Butuh kesadaran untuk mengakui bahwa tukak itu ada dan hanya dengan kesadaran itu pulalah kita mampu bertolak untuk mencari penawarnya.

Benni Inayatullah (Peneliti Senior The Indonesian Institute Jakarta)

 

Baca Juga

Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
Satgas PPKS UIN Imam Bonjol Padang sudah menerima sejumlah laporan dari mahasiswi korban pelecehan seksual oleh oknum dosen.
Kemenag Sumbar Minta Ponpes Tingkatkan Pengawasan untuk Cegah Kekerasan Seksual
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Gosip Online
Gosip Online
Ilustrasi kekerasan seksual
Kisah Pilu Seorang Tunagrahita di Solok; Dirudapaksa di Dekat Kuburan dan Asa Menghidupkan Rasa Keadilan