Langgam.id - Kisah granat buatan Sawahlunto muncul dari cerita salah satu pejuang kemerdekaan di Sumatra Barat (Sumbar). Para pejuang memang menggunakan senjata rakitan sederhana dari kota arang itu menghadapi senjata modern yang dipakai tentara Belanda.
Salah satu palagan yang menggunakan senjata rakitan adalah saat pejuang bertempur menghadapi gempuran agresi militer pertama tentara Belanda. Agresi yang dimulai pada 21 Juli 1947 itu mendapat perlawanan sengit di jalur antara Padang dan Solok. Selain jalur utara, perlawanan juga muncul di utara arah ke Lubuk Alung dan di selatan arah ke Pesisir Selatan.
Soewardi Idris dalam Buku "Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau: Pengalaman Tak Terlupakan, Volume 2" (2000) salah satunya mencatat kesaksian pejuang kemerdekaan Azwar Abdullah Datuak Mangiang. Azwar yang saat itu masih pemuda, terlibat dalam pertempuran pada 25 dan 26 Juli 1947, atau tepat 74 tahun yang lalu dari hari ini, Ahad (25/7/2021).
Ialah yang mengungkapkan keunikan granat buatan Sawahlunto dalam pertempuran di jalur antara Padang dan Solok. "Bagi Datuak Mangiang, hal yang paling mengesankan dalam pertempuran ini ialah penggunaan granat tangan buatan Sawahlunto," tulis Soewardi.
Granat buatan bengkel senjata di Sawahlunto tersebut, menurutnya, tidak bisa dilemparkan begitu saja setelah pengamannya dicabut. "Granat Sawahlunto yang 'luar biasa' ini mempunyai sumbu. Sebelum dilemparkan, sumbunya harus dibakar dan si pelempar harus menyalakan rokok untuk membakar sumbunya."
Setelah membakar sumbu, baru kemudian pejuang melemparkan granat ke arah musuh. "Efektivitas granat sumbu itu tidak jauh berbeda dengan granat buatan pabrik yang sempurna," tulis Soewardi, mencatat cerita Datuak Mangiang.
Karena harus menyalakan sumbu, lanjutnya, maka bagi para pejuang tidak berlaku larangan merokok saat bertempur, termasuk di malam hari. "Jika dalam pertempuran umumnya prajurit harus selalu siap untuk menembak dan tidak boleh merokok, maka dalam pertempuran di Kapalodata, Aiasirah, seorang pelempar granat diwajibkan merokok lebih dahulu," tulisnya.
Saat perang, menurutnya, muncul berbagai solusi dan kreativitas untuk menghadapi ancaman. "Dalam waktu sangat terdesak, ada saja gagasan yang timbul seperti yang berlangsung di bengkel senjata kota arang itu. Tidak hanya granat yang dibikin , berbagai senjata lain juga dibuat," tulis Soewardi.
'Roh' Senjata
Menurut Datuak Mangiang, meski kualitas senjata rakitan produksi Sawahlunto jauh di bawah standar senjata militer, tetapi bersama senjata itu seolah ada "roh".
"Akan tetapi, di dalam senjata yang sederhana itu ada 'roh' yang ditiupkan, yaitu tekad untuk merdeka, bahkan dengan bambu runcing sekalipun. Dalam hal 'roh' ini Belanda jauh ketinggalan. Mereka harus berhadapan dengan pejuang-pejuang yang kadang-kadang dengan keberanian yang tidak masuk akal," tulis Soewardi.
Pasukan yang bertempur secara tak masuk akal di jalur Padang-Solok itu adalah Batalyon Harimau Kuranji pimpinan Mayor Ahmad Husein. Batalyon yang telah merepotkan Inggris hingga Belanda sejak berlabuh di Padang pada 1945.
Baca Juga: Pertempuran Malam Takbiran 1946, Kisah Idul Fitri Masa Perang di Padang
Bengkel Senjata
Dalam Buku "Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950" (1991) Ahmad Husein dkk menulis, Divisi III Banteng TNI yang bertugas di Sumbar punya sejumlah bengkel persenjataan.
Bengkel-bengkel tersebut mampu membuat tabung-tabung mortir dan granat tangan di samping membuat sendiri slaghoedjes serta mengisi patron-patron dari segala macam jenis peluru.
"Pabrik/ bengkel persenjataan ini berpusat di Sawahlunto pada bekas bengkel besar Tambang Batubara Ombilin. Selain dari ini, bekas bengkel persenjataan Jepang di Gelanggang Payakumbuh dan bengkel Jawatan kereta api di Padang Panjang juga aktif kembali untuk memenuhi kebutuhan perjuangan dalam pengadaan dan perbaikan senjata api yang rusak," tulisnya.
Tentang kemampuan bengkel di Sawahlunto membuat senjata, sebenarnya sudah cukup lama terasah. Audrey Kahin dalam buku "Dari Pemberontakan ke Integrasi" (2003) menulis, kemampuan membuat bom rakitan, granat tangan dan senjata rakitan di Sawahlunto telah ada pada 1926. Saat itu, bengkel-bengkel tersebut menyiapkan senjata untuk aksi pemberontakan pada Pemerintah Hindia Belanda yang berlangsung pada 1926-1927.
Perjanjian Linggarjati
Pertempuran sengit di jalur Padang - Solok sendiri, berawal dari agresi tentara Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi tersebut kurang empat bulan dari Perundingan Linggarjati yang berlangsung pada 25 Maret 1947.
Perundingan yang mengharuskan gencatan senjata antara Belanda dan pejuang itu juga mematok garis demarkasi antara Republik dan wilayah yang dikuasai Belanda. Di Sumbar, batas ini praktis membuat hanya Padang yang berada dalam wilayah kekuasan Belanda.
Baca Juga: Perjanjian Linggarjati dan Gagalnya Daerah Istimewa Sumatra Barat
Mestika Zed dkk dalam Buku "Indarung: Tonggak Sejarah Industri Semen Indonesia" menulis batas demarkasi itu yakni, sebelah utara ada di Tabing, sebelah selatan di Bungus, sedang di sebelah timur berada di Simpang Lubuk Begalung. Agresi militer pertama tentara Belanda terjadi sekitar empat bulan setelah Perjanjian Linggarjati. Mereka bermaksud memperluas wilayah. Garis demarkasi mereka langgar.
Di timur Padang, tentara Belanda sudah melaju dari Lubuk Begalung sampai Indarung. Masuk ke Lubuk Paraku, mereka harus berhadapan dengan sengitnya perlawanan Batalyon Harimau Kuranji.
"Lokasi yang berbukit-bukit dan berhutan lebat ini merupakan hadiah alam sebagai benteng yang kukuh. Belanda sendiri tidak dapat masuk kawasan ini tanpa korban jiwa dan peralatan perang," tulis Soewardi.
Perlawanan sengit para pejuang saat melawan agresi kesatu itu, membuat laju tentara Belanda ka arah timur terhenti di Indarung. Kedudukan Belanda, tergambar dari garis demarkasi yang kemudian jadi kesepakatan dalam Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 beberapa bulan selanjutnya.
Baca Juga: Perlawanan Sengit Cara Sumbar Menahan Agresi Militer Pertama Belanda
Di arah utara, hasil Agresi Militer Pertama, garis terdepan tentara Belanda berada di Lubuk Alung. Di timur, sampai di Indarung. Sementara di selatan, sampai di Nagari Siguntur, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, sekitar 32 kilometer dari Padang.
Perjanjian Renville yang kelak juga mereka langgar secara sepihak, jelas adalah taktik tentara Belanda. Garis terdepan tersebut kemudian menjadi titik awal mereka menyerang lebih jauh ke pedalaman Sumbar saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1949. (HM/SS)