Perlawanan Sengit Cara Sumbar Menahan Agresi Militer Pertama Belanda

Perlawanan Sengit Cara Sumbar Menahan Agresi Militer Pertama Belanda

Ilustrasi pertempuran. (Foto: pixabay.com)

Langgam.id - Sebagaimana sudah diduga banyak kalangan Republik, tentara Belanda akhirnya melanggar Perjanjian Linggarjati. Di seluruh Indonesia, militer Belanda digerakkan melanggar garis demarkasi yang sudah disepakati pada 25 Maret 1947 itu.

Tak cukup empat bulan. Pada 21 Juli 1947, atau tepat 72 tahun dari hari ini, Minggu (21/7/2019), tentara Belanda melancarkan Agresi Militer pertama.

Di Padang, batas garis demarkasi tersebut, sebagaimana ditulis Mestika Zed dkk dalam Buku ‘Indarung: Tonggak Sejarah Industri Semen Indonesia’, sebelah utara ada di Tabing, sebelah selatan di Bungus, sedang di sebelah timur berada di Simpang Lubuk Bagalung.

"Pagi-pagi sekali di hari itu, kesatuan tank dan bren- carrier mereka telah menerobos garis demarkasi," tulis Ahmad Husein dkk dalam Buku 'Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. Di Minangkabau/Riau, 1945-1950' (1991).

Radik Utoyo Sudirjo dalam Buku 'Panglima Besar Sudirman: sebuah kenangan perjuangan' (1985) menulis, dari Padang, kekuatan militer Belanda bergerak ke tiga arah berbeda: timur, utara dan selatan.

Dalam gerakan ke timur, menurutnya, pabrik Semen Padang di Indarung berhasil direbut Belanda setelah bertempur melawan TNI dan pejuang selama dua hari. "Namun tanggal 25 Juli, kota itu diserang kembali oleh TNI dan Belanda dapat dipukul mundur."

Ke arah utara, jalan menuju Bukittinggi dipertahankan mati-matian oleh pejuang. "Walaupun pihak Belanda mengerahkan pesawat-pesawat udara untuk membantu gerakan pasukan daratnya di front utara, namun kecuali berhasil merebut Tabing dan Lubuk Alung, mereka tak dapat memperoleh kemajuan lagi," tulis Radik.

Tentara Belanda gagal mendekati Bukittinggi, yang saat itu menjadi ibu kota Keresidenan Sumatra Barat dan beberapa hari kemudian menjadi ibu kota Provinsi Sumatra.

Di front Selatan, menurutnya, Belanda juga hanya sedikit mendapat kemajuan, karena daerah pesisir Selatan dipertahankan dengan gigih oleh para pejuang.

M Daud Silalahi menulis, di Front Timur, laju kendaraan lapis baja Belanda terhalang oleh rintangan di jalan yang disiapkan para pejuang.

Rintangan itu berupa lubang, pohon-pohon yang ditumbangkan, bahkan penghalang- penghalang khusus untuk tank yang terdiri dari potongan-potongan besi tulang jembatan yang ditanam .dalam coran beton. Pasukan Belanda harus menyingkirkan penghalang tersebut untuk dapat melewati Indarung.

Sejarawan Mestika Zed dan Hasril Chaniago mendeskripsikan sengitnya perlawanan di front timur dalam Buku 'Ahmad Husein: perlawanan seorang pejuang' (1991).

Letnan Kolonel Ahmad Husein yang memimpin Resimen III Harimau Kuranji membuat tentara Belanda bertempur habis-habisan.

Seluruh kekuatan Resimen III Harimau Kuranji berusaha mempertahankan daerah yang mereka kuasai. "Tapi setelah terlibat pertempuran sengit, akhirnya musuh dapat juga menduduki Indarung," tulis Mestika.

Dapat menguasai Indarung, bukan berarti tentara Belanda sudah aman. Para pejuang melancarkan beberapa kali serangan balasan ke Indarung dan pos-pos Belanda lainnya di Padang Area.

Pada 23 Juli 1947, Belanda membalas lagi dengan melancarkan serangan terhadap pertahanan para pejuang di Lubuk Paraku dan Ladang Padi. Terjadi pertempuran di Tanah Bengkok, yang menjadi kedudukan terdepan para pejuang Republik.

Dua hari setelah itu, tentara Belanda mengerahkan batalyon tempurnya yang diindungi oleh pesawat udara menuju Air Sirah. Serangan darat dan udara itu dapat dipatahkan oleh pasukan Husein.

Pada 26 Juli 1947, Belanda mencoba kembali menerobos pertahanan pejuang di Lubuk Silasih, Solok yang merupakan kedudukan Markas Gabungan Front Timur. dan

Maka, terjadilah pertempuran dalam kabut tebal dengan pasukan batalyon II/III di Ladang Padi. Beberapa pejuang yang diperintahkan menyerang lewat jalan di perbukitan, membuat Belanda kocar-kacir.

"Banyak korban jatuh di pihak mereka kena ranjau dan sejumlah truk mereka juga hancur," tulis Mestika.

Perlawanan sengit bukan saja terjadi di front timur. Tetapi juga di arah utara dan selatan. Itu makanya, meski dapat menggeser garis depan, tentara Belanda tak memenuhi target mereka.

Kedudukan Belanda, tergambar dari garis demarkasi yang disepakati dalam Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 beberapa bulan selanjutnya.

Di arah utara, hasil Agresi Militer Pertama, garis terdepan tentara Belanda berada di Lubuk Alung. Di timur, sampai di Indarung. Sementara di selatan, sampai di Nagari Siguntur, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, sekitar 32 kilometer dari Padang.

Perjanjian Renville yang kelak juga dilanggar secara sepihak, jelas adalah taktik tentara Belanda. Garis terdepan tersebut menjadi titik awal mereka menyerang lebih jauh ke pedalaman Sumbar saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1949.

Agresi militer pertama Belanda tersebut memberi kesadaran pada para pimpinan Republik di Sumatra Barat untuk bersiap. Kekuatan senjata dan mesin militer yang dimiliki Belanda jelas bukan tandingan.

Cepat atau lambat, tentara Belanda diperkirakan akan merangsek lebih jauh ke pedalaman Sumbar. Perlawanan harus lebih disiapkan.

Maka, Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Sumatra Barat menggagas perang rakyat semesta. Menyiapkan seluruh kekuatan rakyat untuk mengadang Belanda.

Sejarawan Gusti Asnan dalam Buku 'Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an' menulis, DPD Sumbar melalui SK No.15/P/1947 memutuskan membentuk Badan Pengawal Nagari dan Kampung (BPNK).

Anggota BPNK adalah para pemuda berumur 17 sampai dengan 35 tahun. Sesuai namanya, menurut Gusti, BPNK dibentuk di seluruh nagari dan kampung di Sumbar. Anggotanya diperkirakan mencapai 500 ribu orang.

Anggota BPNK kemudian dilatih baris berbaris dan dasar-dasar militer, termasuk perang gerilya. "Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, pada saat alat-alat pemerintahan kocar-kacir, BPNK inilah yang menjadi tulang punggung alat-alat pemerintahan dan tentara," tulis Gusti.

Kisah sukses yang diperoleh TNI dan juga Pemerintah Daruat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk setelah agresi kedua, menurutnya, banyak ditentukan oleh keberadaan BPNK. (HM)

Baca Juga

29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat