Langgam.id - Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Serikat (RIS) itu ditandatangani tiga orang: Presiden Soekarno (saat itu, namanya masih ditulis dengan ejaan 'u' lama), Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Menteri Dalam Negeri Ide Anak Agoeng Gde Agoeng.
Diketik di atas kertas yang tampak memerah karena dimakan usia, goresan tanda tangan ketiganya tertera jelas. Kecuali Sukarno-Hatta yang memakai tinta warna hitam, Gde Agoeng menggunakan tinta warna hijau.
Pasal 1 Kepres RIS bernomor 111 tahun 1950 tersebut, menyebutkan: "Menjatakan daerah Padang dan sekitarnja masuk kepada daerah asalnja, ja'ni Sumatera Barat, jang termasuk daerah Republik Indonesia."
Pasal 5 Kepres yang dikoleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) itu juga memberi informasi jelas: Keputusan ini berlaku pada tanggal 9 Maret 1950.
Itu artinya, Padang secara de jure baru resmi menjadi wilayah Republik, lima tahun setelah merdeka. Tanggal tersebut, tepat 69 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (9/3/2019).
Wilayah siapa Padang setelah merdeka dan sebelum Kepres tersebut? "Usai merdeka, Padang lama dikuasai Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, secara bertahap baru pada 1950 resmi kembali bergabung," kata Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan kepada Langgam.id.
Punya pelabuhan terbesar di pesisir barat Sumatra dengan posisi berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, Padang memang mempertahankan reputasinya sebagai wilayah terdepan yang jadi rebutan kekuasaan asing.
Bergantian jadi rebutan Belanda, Inggris dan Prancis sejak abad ke-17, Jepang menguasai kota ini dengan mudah pada 17 Maret 1942, hanya sembilan hari setelah Belanda menyerah.
Mengutip Mohammad Rasjid dan Ahmad Husein, Sejarawan Audrey Kahin menulis, "Kolonel Fujiyama memimpin balatentara Jepang memasuki Kota Padang setelah Belanda bersedia menyerah tanpa syarat."
"Pada pagi subuh 17 Maret 1942, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap terlihat di jalan- jalan kota Padang, dan menguasai tempat-tempat strategis," tulisnya dalam Buku 'Dari Pemberontakan Ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998' (2005) tersebut.
Dari tangan Jepang, kekuasaan di Kota Padang praktis beralih ke tangan Sekutu setelah Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia kedua. Audrey menulis, pasukan Inggris mendarat di Padang pada 10 Oktober 1945 dipimpin Mayor Jenderal H.M. Chambers yang didampingi Mayor Jenderal A.I. Spiys, mantan gubernur Sumatra sebagai wakil Belanda.
Sejak saat itu, wilayah Padang terpisah dari wilayah Republik. Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947, Padang secara resmi dikuasai Belanda.
Batas milik Republik, menurut Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam 'Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang' (2001), sebelah utara sampai di Tabing dan sebelah selatan di Bungus, sedang di sebelah timur berada di Simpang Lubuk Bagalung,
Kota Padang makin jauh dari Republik setelah Perjanjian Renville. Batas yang juga dilanggar Belanda dengan Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948.
Selain Kota Padang, semua kota dan hampir semua wilayah pedalaman Sumbar dikuasai Belanda setelah itu. Meski, mereka terus diserang para pejuang selama masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sampai dengan 13 Juli 1949. Praktis, selama itu, Kota Padang berada di tangan Belanda.
Kemenangan diplomasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, mengembalikan hampir seluruh wilayah Indonesia ke pangkuan republik. Secara resmi, pengakuan kedaulatan ditandatangani pula pada 27 Desember 1949 oleh Bung Hatta yang mewakili Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Indonesia Serikat menyusul pengakuan kedaulatan, seluruh Sumatra bersama Jawa Tengah, Yogyakarta dan sebagian Jawa Barat tetap berada di bawah Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Mr. Assaat.
Dalam masa inilah, Padang kembali masuk ke wilayah Republik. Konsideran Kepres RIS No 111 Tahun 1950 tersebut menimbang pernyataan Dewan Kota Padang dalam rapat tanggal 10 Januari 1950. Kepres menilai, nyata sekali hasrat rakyat Padang dan sekitarnya, supaya daerah tersebut dimasukkan ke dalam daerah Republik Indonesia dengan selekas-lekasnya.
Padang dan sekitarnya, menurut Kepres, karena perkembangan politik dalam tahun-tahun belakangan ini, telah terpisah dari daerah Sumatra Barat lainnya. Padahal, sejak dahulu Padang sudah masuk wilayah Sumbar.
Pemerintahan Federal yang dipimpin Sukarno juga menimbang surat Wakil Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Surat tertanggal 4 Maret 1950 itu menyatakan kesanggupan (persetujuan) menerima Padang masuk wilayah Republik.
Penjelasan Kepres tersebut lebih lanjut menyebutkan, berbeda dengan pertumbuhan politik di daerah lain, yang menyebabkan terciptanya negara-negara bagian ataupun kesatuan-kesatuan kenegaraan, maka buat Padang dan sekitarnya tidak diadakan 'bevoegdheids-regeling' (yurisdiksi) sendiri.
Setelah Kepres itu, Mardanas Safwan dkk dalam buku 'Sejarah Kota Padang' (1984) menulis, melalui Ketetapan Gubernur Sumatra Tengah pada tanggal 15 Agustus 1950, Padang menjadi kota otonom di dalam Provinsi Sumatra Tengah.
"Ketetapan gubernur itu, membuat daerah Kota Padang diperluas. Kewedanaan Padang dihapuskan dan urusannya diserahkan kepada walikota," tulis Safwan.
Dalam keputusan yang sama bernomor 65/GP/50 tersebut, menurut Safwan, juga dibentuk dan dilantik anggota DPRDS. Lembaga ini berjumlah 22 orang yang terdiri dari wakil partai politik, agama dan beberapa lainnya.
Sempat vakum saat terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, Padang lantas ditetapkan jadi ibu kota Provinsi Sumatra Barat. Keputusan itu keluar pada 29 Mei 1958 melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 1/g/PD/1958. (HM)