Langgam.id - Dua nama Syekh Burhanuddin lekat dalam ingatan warga terkait dengan penyebaran Islam di Minangkabau, Sumatra Barat (Sumbar) dan Riau. Syekh yang pertama makamnya terdapat di Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau. Sementara yang kedua, adalah yang bermakam di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat.
Sejumlah buku menegaskan, kedua ulama ini merupakan orang yang berbeda, bahkan dari abad yang tak sama. Namun, nama kedua ulama tersebut memang sama-sama Syekh Burhanuddin. Karena kesamaan nama itu, serta keterbatasan literatur, ada yang kesulitan membedakannya.
Bustamam, penulis profil Syekh Burhanuddin dalam "Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya" (2001) menulis, Syekh Burhanuddin Kuntu terlahir lebih dahulu. Ia hidup pada abad ke-12 dan 13 Masehi. Sementara, Syekh Burhanuddin Ulakan hidup pada abad ke-17.
Mengutip Sejarawan Malaysia Wan Mhd. Shagfir Abdullah, menurut Bustamam, Syekh Burhanuddin Kuntu wafat pada 1214 Masehi (610 Hijriah). Merujuk Mahmud Yunus (1983), tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbar di situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menulis tahun wafat yang sama.
Kedua sumber itu menyatakan, Syekh Burhanuddin I ini, datang dari Mekkah ke Aceh, kemudian berdakwah berpindah-pindah di sejumlah wilayah Sumbar. Ia kemudian menetap hingga akhir hayat di Kuntu, Kampar, yang kini masuk wilayah Riau.
“Pembawa Islam pertama ke Minangkabau ialah Burhanuddin Al- Kamil yang dikuburkan di Kuntu, bertanggal 610 H/1214 M. Ia datang bersama Abdullah Arif dari tanah Arab ke Aceh. Abdullah sendiri tinggal di Aceh, sedangkan Burhanuddin langsung ke Minangkabau. Tokoh yang disebut terakhir inilah yang sampai sekarang lestari dalam ingatan masyarakat Kuntu dengan nama Syekh Burhanuddin, sebagai penyebar Islam di wilayah ini,” tulis Mahmud Yunus, sebagaimana dikutip tim BPCB.
Merujuk Buku "Ketarbiyahan" (1984) tim ini menulis, Syekh Burhanuddin I berdakwah di Batu Hampar, Sumbar pada 560-570 H (1141-1151 M), kemudian di Kumpulan, Sumbar pada 570-575 H (1151 -1156 M), Ulakan, Padang Pariaman Sumbar pada 575-590 H (1156 s/d 1171 M) dan Kuntu, Kampar, Riau sampai beliau wafat pada 590-610 H (1171-1191 M). Karena pernah sama-sama pernah di Ulakan inilah, agaknya, kedua Syekh Burhanuddin di kemudian hari semakin sulit dibedakan.
Pada saat Syekh Burhanuddin datang, tulis tim BPCB, masyarakat di Kuntu masih menganut agama Hindu-Budha. Kepribadiannya yang mulia dan metode pendekatannya yang tidak membedakan orang, disebut membuat masyarakat tertarik memeluk Islam.
Mengutip makalah Irhash A. Samad dalam "Sejarah Perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat I", tim menulis, Syekh Burhanuddin pertama ini pula yang pertama mengunjungi Pagaruyung dan mengajak keluarga kerajaan dan Basa Ampek Balai untuk masuk Islam. Kelak, pada abad ke-17 (tahun 1600-an), Syekh Burhanuddin Ulakan juga berdakwah ke Pagaruyung.
Syekh Burhanuddin Ulakan lahir pada awal abad ke-17. Berbagai literatur mencatat beragam tahun kelahirannya. Masoed Abidin dkk dalam "Ensiklopedi Minangkabau" (2010) menyebut tahun kelahirannya pada 1021 Hijriah. Sementara, menurut Bustamam dan Duski Samad dalam "Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau" (2003) menyebut tahun 1026 H.
Saat dikonversi ke tahun Masehi, rentang 1021-1026 Hijriah tersebut diperkirakan antara tahun 1612-1617 Masehi, atau sekitar awal abad ke-17.
Meski sudah ada beberapa ulama yang pernah berdakwah sebelumnya, Bustamam mengklasifikasikan Syekh Burhanuddin Ulakan masih masuk ulama generasi pertama di Minangkabau. Beliau juga tercatat sebagai yang paling awal menyiarkan Islam di Minangkabau lewat pendidikan surau.
Buku Ensiklopedi Minangkabau menulis, Burhanuddin lahir di Pariangan, Tanah Datar. Ayahnya bernama Pampak dari Suku Koto. Sementara, ibunya Cukuik dari Suku Guci. "Nama kecil Burhanuddin ialah Kunun. Tetapi teman-teman sebayanya memanggilnya Pono," tulis Bustamam.
Kehidupan Pono bersama keluarganya serba kekurangan. Hal ini yang kemudian membuat keluarga ini hijrah mencari kehidupan baru ke arah pesisir, saat Pono berusia 7 tahun. Keluarga ini sampai di Sintuk, dan kemudian diberi sebidang tanah untuk digarap oleh ninik mamak setempat.
"Pindah ke Sintuk Lubuk Alung dan belajar agama Islam pertama sekali dengan Tuanku Madinah di Tapakih, Kecamatan Nan Sabarih," tulis Duski Samad.
Di Tapakis, bermukim seorang ulama bernama Yahyuddin yang dikenal dengan nama Tuanku Madinah. Kepada guru ini, Pono mulai mendalami agama Islam, lebih kurang 3 tahun. Ia mempelajari ibadah wajib, tauhid, fiqih, tafsir dan sejarah Islam. Sebelum meninggal, Tuanku Madinah meminta Pono melanjukan pelajaran agama kepada Syekh Abdurrauf Singkil di Aceh.
Ketika gurunya meninggal, ia membulatkan tekad berangkat ke Aceh untuk belajar agama kepada Syekh Abdurrauf. Abdurrauf adalah ulama terkemuka Aceh di abad ke-17 tersebut. Ia pernah menetap di Mekkah selama 10 tahun untuk mendalami Islam.
Kepadanyalah Pono belajar, memperdalam tasawuf dan tarekat Syattariyah, sebagai jalan mengembangkan agama Islam kepada masyarakat. Selama di Aceh, ia bukan hanya memperdalam pelajaran agama, tapi juga melewati berbagai ujian berat. Ujian itu, sejak dari tirakat, kesetiaan hingga ujian hawa nafsu. Semua mampu dilewati oleh Pono.
Setelah 9 tahun mempelajari tarekat, Pono lulus dan mendapat ijazah dari Syekh Abdurrdauf Singkil. Sejak itu, ia dipanggil dengan sebutan Syekh. Ada yang menyebut, ia belajar di Aceh selama 21 tahun, ada yang menyebut sampai 30 tahun.
Ia akhirnya pamit kepada Syekh Abdurrauf untuk pulang kembali ke Minangkabau. Sebelum Pono pulang, Syekh mengganti namanya menjadi Burhanuddin. Sehingga, setelah itu kemudian dikenal dengan panggilan Syekh Burhanuddin.
Burhanuddin dilepas dengan upacara khusus oleh Syekh Abdurrauf Sinkel. Selain nasehat, Syekh Burhanuddin dibekali kitab serta perahu dengan sembilan awak, sekaligus pengawal.
Menyusuri pantai barat Sumatra dari Aceh ke Pariaman, Syekh Burhanuddin akhirnya sampai di Ulakan. Atas kebaikan kawan lamanya dan izin Raja Ulakan, Syekh Burhanuddin diberi sebidang tanah. Di atas tanah tersebut, Syekh Burhanuddin mendirikan surau pertama, Surau Gadang Tanjung Medan.
"Dari surau itulah Syekh Burhanuddin dengan dibantu oleh teman lamanya Idris Majolelo, mensyiarkan Islam ke nagari-nagari di sekitarnya, yang sebelumnya sudah mengenal Islam tetapi masih jauh dari pengamalannya," tulis Bustamam.
Surau menjadi tempat mengaji, belajar Islam, belajar tarekat, silat dan kekebalan menurut ajaran tarekat. Murid-murid syekh semakin banyak. Lembaga pendidikan itu juga mengembangkan solidaritas, gotong royong dan persaudaraan.
Berhasil ke masyarakat, Syekh Burhanuddin melanjutkan dakwah ke Raja Ulakan sambil meminta izin untuk berdakwah lebih luas. Mangkuto Alam yang saat itu menjabat raja Ulakan menyambut baik Syekh Burhanuddin. Sejak itu, muridnya makin banyak, tidak saja dari Ulakan, tetapi juga dari Sintuk, Lubuk Alung, Pakandangan dan daerah Pariaman bagian utara.
Murid-murid yang telah menyelesaikan pengajian dan pelajaran di Surau Gadang Tanjung Medan, kemudian diminta Syekh kembali ke kampung halaman masing-masing. Mereka diminta membuka surau dan pengajian di daerah masing-masing. Dengan cara inilah cabang pengajian Syekh Burhanuddin dan tarekat Syattariyah menyebar ke berbagai pelosok Sumatra Barat.
Setelah berdakwah sekitar 21 tahun, Syekh Burhanuddin berpulang ke Rahmatullah pada 10 Safar 1111 Hijriah. Tanggal ini, saat dikonversikan ke tahun masehi bertepatan dengan 7 Agustus 1699. Namun, sumber lain juga ada yang menyebut ia wafat pada 20 Juni 1704.
Terlepas dari itu, selepas kepergian sang ulama generasi pertama, bekas muridnya berziarah ke Ulakan setiap 10 Safar. Ziarah massal ini kemudian dikenal dengan tradisi "basapa" dan terus bertahan hingga lebih dari 3 abad hingga kini. (HM)
Catatan: tulisan ini diolah lagi dari tulisan yang pernah diturunkan sebelumnya: Syekh Burhanuddin Ulakan: Ulama Generasi Pertama, Penyebar Islam di Minangkabau