YouTuber dan Cita-cita Generasi

YouTuber dan Cita-cita Generasi

Ade Faulina (Dok Pribadi)

Istilah YouTuber atau YouTube content creator akhir-akhir ini menjadi kata yang tidak asing di kalangan masyarakat, khususnya millennial dan generasi Z (gen-Z). YouTuber secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai pengguna dan pemilik akun media sosial YouTube yang secara spesifik berperan sebagai penghasil konten video untuk dinikmati oleh pengguna (user) lain ataupun masyarakat secara luas.

Konten bersifat audio-visual yang dihasilkan ini pun biasanya memiliki beragam topik dan tema. Mulai dari konten berupa kegiatan sehari-hari, ilmu pengetahuan, ceramah agama, travel guide (jalan-jalan), tutorial-tutorial singkat, hingga hal-hal remeh temeh yang bersifat hiburan.

Pada dasarnya, millennial dan gen-Z tidak memilih semua topik yang ada tersebut. Melihat tren pengguna YouTube hari ini, mereka lebih dominan untuk menghasilkan konten hiburan yang bersifat menarik perhatian orang banyak.

Hal ini dapat dimaklumi sebab di samping dapat menampilkan konten yang mereka hasilkan, YouTube juga menawarkan penghasilan untuk setiap postingan berdasarkan jumlah subscriber yang mereka miliki. Tidak dipungkiri jika pada akhirnya millennial maupun gen-Z, rela bersusah payah untuk membuat konten menarik dan menjual.

Influencer dan Hasrat untuk Viral

Ramainya generasi muda dalam menggunakan situs berbagi video YouTube tentunya tidak bisa dilepaskan dari pesatnya perkembangan new media (internet). Sebagaimana yang disebutkan dalam hasil riset dan laporan terbaru dari We are Social Hootsuite yang dirilis pada Januari 2020 bahwa terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Data ini mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yaitu sebanyak 17 % atau 25 juta pengguna internet di negeri ini. Jika dihitung dari populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, berarti 64 % atau setengah penduduk tanah air telah mengakses dunia maya.

Kemudian persentase pengguna internet berada dalam rentang usia 16 – 64 tahun. Secara umum terdapat 160 juta di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial. Adapun jenis aplikasi atau fitur internet yang paling banyak digunakan adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit dan Sina Weibo.

Fakta bahwa YouTube menempati posisi pertama sebagai platform media sosial yang digemari tentunya merupakan dampak dari adanya kemudahan akses terhadap new media. Saat ini new media bisa diakses dari berbagai teknologi informasi dan komunikasi seperti laptop, tablet, handphone, android atau smartphone, maupun yang lainnya.

Selanjutnya, data ini secara tidak langsung juga menggambarkan bahwa minat generasi muda juga semakin tinggi dalam memanfaatkan media sosial. Baik yang benar-benar menaruh minat untuk berkreasi sebagai content creator, menambah penghasilan maupun sekadar ikut tren. Apapun yang melatarbelakangi millennial dan gen-Z untuk terjun menjadi seorang YouTuber tetap saja ini merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat dari berbagai sisi.

Meskipun keberadaan YouTube sendiri sudah ada sejak Februari 2005, tapi untuk menjadi tren yang digandrungi oleh anak muda relatif baru, khususnya beberapa tahun terakhir. Biasanya akun YouTube yang mulanya didirikan oleh mantan pekerja Paypal, Steve Chen, Chad Hurley dan Jawed Karim ini cenderung dimanfaatkan oleh artis (musisi) untuk mempromosikan karya musik terbaru mereka (video musik). Serta rumah-rumah produksi (production house) yang menghasilkan film-film yang baru tayang. Namun kecenderungan ini pun kemudian beralih. Tak hanya public figure (selebritis), tetapi YouTube juga dilirik oleh masyarakat luas.

Saluran YouTube tidak hanya memungkinkan siapa saja untuk berkreasi dan berinovasi dengan video yang mereka buat, namun secara bersamaan juga memberikan kesempatan mereka untuk dikenal layaknya artis. YouTuber yang berhasil menarik pelanggan (subscriber) yang menunggu notifikasi video terbaru dan menonton mereka secara rutin akan dilabeli sebagai seorang influencer.

Adapun influencer secara sederhana dimaknai sebagai pemilik akun media sosial berpengaruh dengan jumlah pengikut yang banyak, minimum 50.000 pengikut (follower). Selain itu influencer juga diartikan sebagai akun yang memiliki pengaruh kuat terhadap follower sehingga bisa mendorong mereka untuk berbuat sesuai nalar atau kehendaknya (Arianto, 2020).

Setiap postingan yang dibuat oleh influencer selalu menarik dan unik. Biasanya mereka memposting konten sesuai keahlian yang dimiliki. Sebut saja fotografi, menulis, maupun kelebihan-kelebihan lainnya.

Melihat berbagai definisi tentang influencer di atas tentunya dapat dipahami jika content creator YouTube kemudian berlomba-lomba untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dan diminati oleh khalayak. Di sisi lain yang sukses menjadi YouTuber ini justru orang-orang baru dan belum dikenal oleh khalayak ataupun belum terlalu terkenal. Sebut saja Ria Ricis, Atta Halilintar, Edho Pratam, Gita Savitri Devi, Jerome Polin, Gen Halilintar, dan sebagainya.

Bahkan, peran sebagai YouTuber-lah yang membuka jalan mereka untuk merintis ataupun mendukung karir di bidang yang mereka minati. Dan tidak jarang mereka menjadi artis-artis baru ataupun figur publik yang kehadirannya selalu dinanti.

Namun di samping para YouTuber “serius” tadi, juga ada YouTuber yang melakukan hal sebaliknya. Sebagian dari mereka yang berkeinginan untuk menjadi YouTuber justru asal-asalan dalam membuat konten. Konten yang diproduksi biasanya berisi hal remeh temeh, tidak sopan atau relatif tidak beretika. Hal ini barangkali di samping kurangnya kreativitas, juga disebabkan terjebak dengan kata viral yang berkembang akhir-akhir ini. Istilah viral ini kemudian tanpa disadari membuka peluang adanya keinginan untuk menjadi objek pembicaraan dari setiap video yang mereka buat.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia viral diartikan sebagai menyebar luas dengan cepat. Kata viral biasanya digunakan sebagai istilah di dunia maya untuk menggambarkan cepatnya penyebaran suatu berita atau informasi. Pengertian lain dari viral adalah menyebar luas dengan cepat bagaikan virus. Istilah viral ini mampu membawa seseorang pada popularitas, keahlian dan reputasi yang belum dirasakan sebelumnya. Terlebih bagi generasi muda yang memang dalam masa pencarian jati diri. Viral menjadi suatu tujuan dalam setiap hal yang mereka kerjakan.

Sebagaimana dua kasus yang terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Masyarakat dihebohkan dan dibuat geram dengan kasus penangkapan Ferdian Paleka, dkk yang membuat konten prank bingkisan sembako yang berisi sampah dan batu bagi transpuan dan waria. Kemudian juga ada Edo Putra yang melakukan prank yang hampir serupa. Kali ini si YouTuber memberikan seseorang berupa bungkusan daging kurban yang ternyata berisi sampah. Dua “YouTuber” ini kemudian sama-sama ditangkap oleh pihak berwajib. Dari keterangan yang didapat motif mereka melakukan hal tersebut adalah demi menaikkan subscriber akun mereka.

Ruang kebebasan berekspresi dan berkreasi di new media memang terbuka dengan sangat lebar. Namun tetap saja pengguna (user) harus mengetahui dan mematuhi aturan-aturan (norma-norma) sebagaimana yang ada di dunia nyata.

Begitupula halnya dengan di media YouTube. Apa yang hendak disajikan ke khalayak tetaplah sesuatu yang patut dan layak untuk dinikmati. Setidaknya sebelum kita membuat konten, perlakukanlah diri sendiri sebagai khalayak atau penonton pertama konten itu sendiri. Apakah konten itu menarik, berguna dan menawarkan sesuatu yang khas dan patut disimak? Sebab kita harus menyadari keinginan untuk menjadi influencer, memiliki subscriber dan viral seharusnya tidak menjadi tujuan akhir dalam memanfaatkan new media sebagai bagian sah dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi abad ini.

Dinamika dan Transformasi Cita-cita Generasi

New media seperti kita ketahui memiliki kemampuan untuk mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Baik itu dalam cara berpikir, bersikap ataupun bertindak. Hal ini tidak lain merupakan akibat dari muatan informasi dalam berbagai bentuk yang senantiasa kita konsumsi setiap harinya. Mau tidak mau hal ini akan berdiam di alam bawah sadar dan menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk dilepaskan.

Hal ini salah satunya dapat kita lihat dalam bagaimana generasi muda saat ini dalam melihat sebuah cita-cita. Jika dahulu jamak kita dengar dan temui anak-anak yang bercita-cita menjadi Presiden, pilot, insinyur, dokter, guru, wartawan, dan sebagainya.

Bahkan, frasa “Ingin menjadi Habibie” telah melekat di dalam pikiran dan jiwa generasi muda sebelumnya. Frasa cita-cita ini kerap diidentikkan sebagai sosok yang cerdas, kharismatik, inovatif dan pionir dalam bidangnya. Tetapi akan berbeda halnya ketika hal yang sama ditanyakan kepada generasi sekarang.

Sejumlah tayangan stasiun televisi ataupun wawancara kepada anak-anak ataupun generasi muda ketika ditanyai tentang cita-cita, kebanyakan dari mereka bercita-cita menjadi YouTuber kelak ketika sudah dewasa. YouTuber hari ini dianggap sebagai sebuah profesi yang menjanjikan. Entah itu berupa uang, ketenaran ataupun gelar. Keinginan ataupun cita-cita yang mereka miliki tentunya suatu yang wajar. Apalagi kebebasan memiliki cita-cita merupakan suatu hak asasi yang ada pada diri seseorang. Ia bebas memilih apa yang diinginkan ataupun dilakukan dalam hidup mereka.

Setiap perkembangan zaman barangkali akan membawa sikap dan ciri yang mewarnai individu yang hidup di zaman itu. Ketika di masa lalu (sebelum pesatnya perkembangan teknologi), orang-orang cenderung bercita-cita seperti yang tampak dalam keseharian mereka. Sesuatu yang dekat dan mereka ketahui dan kenali secara terus menerus. Contoh saja, ketika cita-cita sebagai dokter atau guru menjadi cita-cita wajib siapa saja. Maka masuk kampus kedokteran ataupun keguruan menjadi pilihan untuk menggapai cita-cita yang diinginkan. Dua profesi ini telah melintasi zaman dan senantiasa jadi cita-cita idaman.

Namun ketika zaman berubah, tren yang mewarnai kehidupan pun ikut berubah. Bisa dikatakan bahwa perubahan cita-cita generasi muda (millennial dan gen-Z) hari ini merupakan refleksi dari kehidupan yang mereka rasakan. Cita-cita sebagai YouTuber merupakan cerminan dari apa yang mereka ketahui dan kenali sejak usia dini.

Akan tetapi sedikit berbeda dengan cita-cita pada generasi sebelumnya, profesi sebagai YouTuber membutuhkan media (new media) untuk bisa menuangkan setiap ide yang mereka miliki. Sementara itu poin penting yang harus diketahui dan sadari ialah dibutuhkan pengetahuan dan komitmen yang sama besar dengan cita-cita atau profesi lainnya. Keinginan menjadi YouTuber juga harus diikuti dengan ketrampilan menyajikan sesuatu yang unik dan menarik. Bukan hanya sekadar ingin tampil dengan mengorbankan karakter dan identitas diri.

Sebab itu sesuatu yang bernama cita-cita haruslah dilakukan dengan kegigihan, ketekunan, wawasan dan ketrampilan yang sama baiknya. Tak peduli apapun cita-cita yang dimiliki dan pada zaman apapun kita melakukannya. Sekecil atau sebesar apapun cita-cita yang kita punya, tetap saja harus memikirkan manfaat yang diberikan serta dampak dari apa yang kita lakukan. Baik itu kepada diri sendiri maupun orang lain. Hingga pada akhirnya muara dari semua cita-cita itu ialah kebaikan dan kemajuan bagi bangsa dan negara tempat kita bernaung. Semoga! (***)

(Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)

Tag:

Baca Juga

Seorang YouTuber asal Sumatra Barat (Sumbar) bernama Shanty, baru-baru ini mendapatkan apresiasi dari Menparekraf Sandiaga Uno
Perkenalkan Kuliner Indonesia di China, YouTuber Asal Sumbar Ini Dapat Apresiasi dari Menparekraf
Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Hendri ajak agar Youtuber, Influencer dan Blogger promosikan pariwisata Padang.
Hendri Septa Ajak Youtuber, Influencer dan Blogger Promosikan Pariwisata Padang
Youtube dan Sejumlah Layanan Google Lainnya Tidak Bisa Diakses
Youtube dan Sejumlah Layanan Google Lainnya Tidak Bisa Diakses
Dinas Kesehatan Bantah Isu Soal Warga Pasaman Barat Suspect Corona, pendataan keluarga
Tak Bisa Putar Video Pagi Ini, Youtube Sebut Ada Gangguan
Dayu Koto
Mengenal Dayu Koto, YouTuber Minang Berkarya di Perantauan
"Malin Kundang Lirih" Bukan Anak Durhaka, Telaah Dilema Antropologis Sebuah Monolog
"Malin Kundang Lirih" Bukan Anak Durhaka, Telaah Dilema Antropologis Sebuah Monolog