Oleh: Yuwanda Efrianti
Jalan rawan kecelakaan sering kali telah menjadi tempat nyawa manusia dipertaruhkan, selain medan perang. Di Sumatera Barat, dua tempat paling rawan itu adalah Sitinjau Lauik dan Silaiang. Bukan sekadar jalur transportasi, keduanya telah berubah menjadi kuburan sunyi yang terus menelan korban. Tragisnya, setiap tragedi seolah cepat dilupakan, digantikan dengan berita baru yang juga tak kalah memilukan. Bukan sekali dua kali, kawasan seperti Sitinjau Lauik dan Silaiang jadi saksi bisu dari rentetan kecelakaan maut yang terus terulang. Ironisnya, semua itu seperti hanya menjadi angka-angka yang ditelan waktu, tanpa upaya radikal yang benar-benar memotong akar persoalan.
Data dari Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan penyampaian Irjen Pol Suharyono, dalam Press Release Akhir Tahun 2024 bahwa sepanjang tahun 2024, terjadi 3.394 kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah ini. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan sebesar 6,37% dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah korban meninggal justru meningkat menjadi 323 orang, naik dari 309 orang pada tahun 2023 (KiprahKita.com, Hariansinggalang.co.id, Tribratanews, Mediahub.polri.go.id, Sumbardaily.com).
Salah satu contoh nyata dari tragedi ini terjadi pada 23 April 2025 di kawasan Silaiang Bawah, Padang Panjang (Kompas.com, Padek.jawapos.com). Sebuah truk yang mengangkut material berat mengalami rem blong dan menabrak sejumlah kendaraan lainnya. Nyawa melayang satu per satu, sementara jumlah korban luka terus bertambah dan sulit dihitung. Insiden lain yang tak kalah tragis terjadi di Sitinjau Lauik pada 8 Maret 2024, saat sebuah truk tergelincir dan masuk ke jurang, merenggut dua nyawa (Korlantas Polri, Langgam.id, Antarasumbar.com).
Sayangnya, ini bukan kejadian yang langka, namun sudah berulang kali terjadi sebelumnya. Ini hanyalah satu dari sekian banyak kecelakaan serupa yang terjadi di lintasan-lintasan rawan di Sumatera Barat, lintasan yang seharusnya sudah masuk kategori prioritas penanganan.
Data dari Kepolisian Daerah Sumatera Barat menunjukkan bahwa hanya dalam kurun waktu Januari hingga April 2024, telah terjadi lebih dari 470 kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah Sumbar, dengan Sitinjau Lauik dan Silaiang sebagai dua titik paling rawan. Di Sitinjau saja, dalam tiga bulan pertama 2024, tercatat lebih dari 30 kecelakaan melibatkan kendaraan besar seperti truk pengangkut material (Korlantas.Polri) (Antarasumbar).
Data ini bukan cuma deretan angka tapi di baliknya ada manusia, keluarga yang hancur, luka batin, dan kehilangan yang tak bisa dibayar apa pun. Permasalahan tidak berdiri sendiri. Ini bukan sekadar “nasib buruk” atau “faktor manusia”. Ini adalah akumulasi dari pembiaran sistemik. Jalanan curam tidak diimbangi dengan infrastruktur keselamatan yang memadai. Jalur penyelamat (emergency lane) minim, rambu peringatan tak selalu jelas, dan yang paling krusial kelayakan kendaraan nyaris tak tersentuh pengawasan ketat.
Setiap tahun, puluhan truk dimodifikasi tanpa izin resmi. Sistem pengereman diubah, muatan dilebihkan hingga dua kali dari kapasitas standar. Modifikasi seperti ini bukan rahasia umum, tapi praktik yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Motif utamanya jelas mengejar efisiensi dan profit, meski harus mengabaikan keselamatan. Sopir didesak oleh pemilik truk untuk mengangkut lebih banyak, sementara negara seakan tutup mata terhadap kenyataan di lapangan.
Rem blong bukan fenomena gaib. Ia adalah hasil dari sistem yang gagal belajar dari sejarah. Pertanyaannya: apakah pengujian kelayakan kendaraan benar-benar dilaksanakan dengan standar tinggi, atau sekadar formalitas tahunan di atas kertas?
Lalu, bagaimana jika yang menjadi korban berikutnya adalah anak pejabat tinggi? Anak seorang gubernur, misalnya? Akankah tragedi itu baru mendapat perhatian penuh? Atau tetap dibungkus dengan narasi musibah tanpa solusi konkret?
Di balik semua ini, ada jerat tak kasat mata yang menjebak para sopir. Mereka yang dianggap dalang utama dalam kecelakaan, padahal sering kali hanya menjadi korban dari sistem yang menuntut produktivitas tapi menolak perlindungan. Banyak dari mereka dibayar murah, tidak dilengkapi dengan pelatihan keselamatan berkendara, dan bekerja di bawah tekanan. Naiknya muatan kerap menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan upah lebih.
Negara Tahu, Tapi diam.
Maka, kecelakaan-kecelakaan ini bukan hanya bukti kegagalan teknis. Ini adalah kegagalan moral, kegagalan regulasi, dan kegagalan empati. Karena itu, jika bicara soal rem blong, yang blong sesungguhnya bukan hanya rem kendaraan. Tapi juga blongnya nurani para pemangku kebijakan. Blongnya komitmen institusi dalam menjaga keselamatan publik. Blongnya pengawasan yang seharusnya bisa mencegah tragedi. Selama rem-rem itu tak diperbaiki secara menyeluruh baik yang ada di kendaraan maupun yang ada dalam struktur pengambil kebijakan, Sitinjau Lauik dan Silaiang akan terus menyimpan duka, dan setiap berita tentang kecelakaan hanyalah pengulangan dari sistem yang tak pernah selesai dibenahi.
Rem blong hanyalah satu bagian kecil dari tragedi besar yang dibiarkan tumbuh. Selama presepsi publik masih menganggapnya sebagai nasib buruk semata, bukan sebagai hasil dari sistem yang buruk, maka Sitinjau dan Silaiang akan terus jadi ladang kematian, sementara mereka yang punya kuasa masih bisa tidur nyenyak. (*)
Yuwanda Efrianti, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang