Wartawan Amplop: Ketika Uang Mengaburkan Fakta

Wartawan Amplop: Ketika Uang Mengaburkan Fakta

Rahmi Syafia Azzahra. (Foto: Dok. Pribadi)

Dalam dunia jurnalistik nilai utama yang harus dipegang oleh setiap wartawan adalah mempunyai jiwa integrasi dan kejujuran. Dalam dunia jurnalistik, integritas dan kejujuran adalah nilai-nilai utama yang harus dipegang oleh setiap wartawan. Namun, ada satu istilah yang sering mencoreng nama baik profesi seorang jurnalis yang dinamakan dengan “wartawan amplop”.

Wartawan amplop adalah sebuah istilah yang sering digunakan untuk para wartawan karena mengarah pada pemberian amplop yang bertujuan untuk menaklukan para wartawan agar tidak menyebarkan berita yang sesuai dengan fakta. Istilah ini merujuk pada wartawan yang menerima uang atau imbalan tertentu dari pihak-pihak tertentu. Pemberian amplop saat ini masih membudaya dan berlangsung secara terus-menerus. Seakan-akan amplop yang diberikan sudah menjadi bahan incaran bagi mereka para wartawan.

Sebagian mereka merasa bahwa tindakan yang dilakukan sangat menghancurkan martabat serta harga diri dari seorang jurnalis. Tetapi sebagian yang lain merasa bahwa hal ini hanya sebagai bentuk tali silaturahmi biasa dan tidak perlu disangkut pautkan dengan proses pembuatan berita. Praktik ini jelas sudah melanggar kode etik jurnalistik dan menodai kepercayaan publik terhadap media.

Bentuk pelaksanaan pekerjaan ini dilakukan karena adanya beberapa alasan dari wartawan sendiri. Pertama adalah disebabkan karena adanya faktor ekonomi. Gaji yang diterima oleh wartawan di beberapa media mungkin tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup, sehingga mereka mencari cara lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Kedua, adanya pihak-pihak yang berkepentingan, seperti polisi atau pengusaha yang ingin memastikan berita yang keluar sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, lemahnya pengawasan dan kurangnya sanksi tegas untuk para wartawan yang sudah melanggar kode etik.

Namun akan adanya dampak yang akan terjadi terhadap Jurnalisme. Dampak yang terjadi tentu akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap wartawan dan media. Ketika masyarakat merasa bahwa berita yang mereka baca tidak netral atau berpihak maka mereka akan kehilangan kepercayaan pada media. Dan juga praktik ini dapat menyebabkan informasi yang disampaikan menjadi tidak akurat bahkan palsu. Ini dapat memicu kesalahpahaman, memperkeruh suasana atau dapat mengundang terjadinya konflik. Dan juga wartawan amplop akan merusak citra profesi jurnalis itu sendiri.

Mengatasi masalah wartawan amplop bukan hal yang mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini yaitu memperkuat kode etik jurnalistik: Media perlu menegakkan kode etik dengan lebih tegas dan memberikan sanksi yang jelas kepada wartawan yang melanggar.

Selanjutnya, meningkatkan kesejahteraan wartawan dengan memberikan gaji dan tunjangan yang layak dapat mengurangi tekanan ekonomi yang sering menjadi alasan wartawan menerima amplop. Dan Mendorong transparansi dengan cara media perlu mengedepankan transparansi dalam proses pemberitaan dan menyatakan secara terbuka jika ada potensi konflik kepentingan. Terakhir, meningkatkan literasi media publik dengan memberikan edukasi yang mendidik kepada masyarakat agar lebih kritis dalam mengonsumsi informasi, sehingga mereka dapat membedakan berita yang objektif dan berita yang berpihak.

Dapat kita simpulkan bahwa wartawan amplop adalah salah satu tantangan besar bagi jurnalisme di Indonesia. Meski begitu, dengan komitmen bersama antara media, wartawan, dan masyarakat, praktik ini bisa ditekan seminimal mungkin. Pada akhirnya, integritas dan kepercayaan adalah dua hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, dan itulah yang seharusnya selalu dijaga oleh setiap wartawan.

*Penulis: Rahmi Syafia Azzahra (Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual?
Membongkar Stigma dan Kesenjangan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual
Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi
Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan singkatan H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang tokoh yang lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882.
Warisan Intelektual H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Para Tokoh Bangsa
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer