Langgam.id - Walhi Sumatera Barat bekerja sama dengan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Sumatera Barat menggelar diskusi publik yang membahas isu tambang ilegal di Sumatera Barat, pada Rabu (4/12/2024) di Kafe Tede Coffee Padang.
Diskusi bertajuk Mampukah Kapolri Sapu Bersih Tambang Ilegal di Sumatera Barat ini diadakan sebagai respons terhadap tragedi polisi tembak polisi di markas Polres Solok Selatan, pada Jumat (22/11/2024), yang mengungkap adanya praktik pembekingan dalam sektor pertambangan ilegal di Sumatera Barat.
Tragedi penembakan tersebut menjadi titik awal untuk mengungkap praktik pembekingan yang diduga melibatkan institusi kepolisian, pejabat berwenang, serta aktor-aktor berpengaruh lainnya dalam operasional tambang ilegal. Pembekingan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam. Menurut laporan, praktik ini menciptakan lingkaran keuntungan yang merugikan masyarakat dan memperparah kerusakan ekologis di daerah tambang.
Berdasarkan data terbaru dari WALHI Sumbar, terdapat 49 titik tambang ilegal yang tersebar di aliran Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Batang Hari dengan total luas sekitar 1.612,66 hektar. Selain itu, total luas tambang emas ilegal di empat kabupaten—Sijunjung, Dharmasraya, Solok, dan Solok Selatan—mencapai 7.662 hektar. Aktivitas tambang ilegal ini telah menyebabkan berbagai bencana ekologis seperti banjir dan longsor, yang pada gilirannya memperburuk kesejahteraan masyarakat lokal. Masyarakat yang sebelumnya mengandalkan pertanian dan perkebunan kini semakin bergantung pada tambang ilegal, yang akhirnya mengikis sumber daya alam yang mereka miliki.
Penanganan kasus tambang ilegal ini sering kali terhambat oleh lemahnya pengawasan dan keberpihakan hukum, sehingga aktivitas merusak ini dapat terus berlangsung tanpa hambatan berarti. Hal ini semakin diperparah dengan adanya keterlibatan aparat kepolisian dan pejabat berwenang yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum.
Dalam diskusi tersebut, Dewi Anggraini, peneliti dari Universitas Andalas, menyampaikan analisis mendalam mengenai praktik rent seeking dalam aktivitas tambang ilegal di Sumatera Barat. Dewi menjelaskan bahwa praktik tambang ilegal di Sumbar sudah ada sejak awal 1990-an di Sijunjung, namun dampaknya mulai semakin merusak sejak tahun 2005. Penggunaan mesin dompeng secara masif telah meluas hingga merambah lahan perkebunan dan pertanian masyarakat, yang sebelumnya menjadi tumpuan hidup mereka.
"Dari awal 90-an, tambang ilegal di Sijunjung sudah ada, tetapi sejak 2005, dampaknya semakin parah dengan penggunaan mesin dompeng yang meluas ke lahan pertanian dan perkebunan," ujar Dewi.
Ia juga mengungkapkan bahwa harga emas yang fluktuatif menyebabkan masyarakat semakin terdorong untuk terlibat dalam tambang ilegal. "Saat harga emas mencapai puncaknya dulu, banyak orang yang membawa emas dalam jumlah besar, sehingga stok emas di bantaran sungai semakin menipis. Akibatnya, para penambang harus masuk ke hutan dan lokasi yang jauh serta belum terjamah, yang menyebabkan kerusakan lingkungan semakin parah," tambahnya.
Dewi menjelaskan bahwa terdapat pola operasi yang melibatkan berbagai aktor dalam rantai tambang ilegal. "Aktor-aktor tersebut meliputi pemilik modal, pemilik lahan, operator mesin dompeng, suplier bahan bakar minyak (BBM), dan pekerja tambang. Pemilik modal bisa mendapatkan 50% dari pembagian hasil, sementara pemilik lahan biasanya memperoleh sekitar 20%," jelasnya.
Ia menyoroti bahwa pemilik modal bukanlah masyarakat setempat, melainkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial dan koneksi. "Pemilik ekskavator itu bukan masyarakat setempat. Ada yang mendanai dan membekingi. Jika tidak ada razia besar-besaran, aktivitas ini tidak akan berhenti," katanya.
Dewi juga mengungkapkan peran oknum aparat dalam melindungi operasi tambang ilegal. "Biasanya ada pembekingan dari oknum aparat. Informasi tentang razia sering bocor, sehingga pekerja tambang dan peralatan bisa libur sementara. Itu bukan gratis, masyarakat biasanya menyetor," ujarnya.
Dewi menawarkan solusi untuk mengatasi permasalahan ini. "Saya pikir polisi pasti mampu, karena sumber daya ada di mereka semua. Tapi apakah mereka mau? Hentikan saja suplai BBM-nya, mau menambang pakai apa," tegasnya.
Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumbar, memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kerusakan lingkungan dan keterlibatan aktor penegak hukum dalam proses pembekingan tambang ilegal. Menurut Wengki, kejahatan tambang ilegal di Sumatera Barat tidak hanya berdampak pada lingkungan dan masyarakat kecil, tetapi juga kini menjadikan aparat kepolisian sebagai korban.
"Tambang ilegal merupakan kejahatan yang terbuka dan terang benderang, berbeda dengan kejahatan lain seperti narkotika atau terorisme yang memerlukan intelijen khusus," ujar Wengki. Ia menambahkan bahwa kejahatan tambang ilegal di Sumbar semakin massif setiap tahunnya, dengan luas lahan yang terus bertambah dan melibatkan berbagai kabupaten di wilayah tersebut.
Wengki juga mengkritik kurangnya kemauan dari kepolisian, khususnya Kapolri, dalam memberantas tambang ilegal. "Kapolda baru menjabat pada tahun 2022 telah mengirim telegram ke seluruh Kapolres untuk mendata tambang ilegal, namun tindakan nyatanya apa?. Bahkan, beberapa aparat kepolisian yang terlibat dalam pembekingan tambang ilegal kini menjadi target tindakan keras, seperti kasus Dadang yang menembak rekan polisinya sendiri," ujarnya.
Selain itu Wengki mengungkapkan adanya aliran dana ilegal yang diterima oleh kapolres, yaitu sekitar Rp600 juta per bulan, yang berasal dari aktivitas tambang ilegal.
"Ini menunjukkan adanya keterlibatan langsung aparat kepolisian dalam mendukung operasi tambang ilegal, yang seharusnya mereka lawan," tegasnya. Wengki menambahkan bahwa keterlibatan ini memperparah masalah, karena aparat yang seharusnya menjaga hukum justru terlibat dalam pelanggaran tersebut.
Wengki juga menyampaikan bahwa tambang ilegal di Sumbar telah berlangsung sejak lama dan melibatkan berbagai aktor, termasuk pejabat tinggi kepolisian. "Kegiatan tambang ilegal ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat lokal," jelasnya. Ia menyerukan agar Kapolri mengambil langkah tegas dengan membentuk tim khusus yang fokus menangani masalah tambang ilegal di Sumatera Barat, serta melakukan pemeriksaan intensif terhadap Kapolras dan Kapolres yang terlibat.
Ihsan Riswandi, Ketua PBHI Sumbar, turut memberikan pandangannya terkait pelanggaran dan pengabaian hukum atas aktivitas tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian. Ia menyoroti bahwa meskipun peraturan tentang tambang ilegal sudah cukup kompleks dan jelas, penegakannya masih lemah, terutama ketika pelakunya adalah aparat sendiri.
"Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, sudah mengatur ancaman pidana dan denda bagi pelaku tambang ilegal. Namun, penegakan hukum sering kali tidak konsisten, terutama ketika pelaku adalah anggota kepolisian," ujar Ihsan. Ia menegaskan bahwa keberanian aparat kepolisian untuk mengusut rekannya sendiri masih sangat diragukan.
Ihsan juga menyoroti dampak negatif tambang ilegal terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. "Aktivitas tambang ilegal sering kali terjadi di daerah sungai, yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan longsor. Selain itu, aktivitas tambang ilegal mengurangi lahan pertanian dan perkebunan, yang sebelumnya menjadi sumber pendapatan utama masyarakat lokal," jelasnya.
Dampak Sosial dan Ekonomi Tambang Ilegal
Diskusi publik ini juga membahas dampak sosial dan ekonomi dari tambang ilegal di Sumatera Barat. Wengki Purwanto menjelaskan bahwa masyarakat lokal semakin bergantung pada tambang ilegal sebagai sumber pendapatan, karena pertanian dan perkebunan yang dulunya menjadi tumpuan hidup mereka kini semakin menurun. Hal ini menciptakan ketergantungan yang berbahaya, karena aktivitas tambang ilegal sering kali tidak memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat.
"Masyarakat sudah tergantung dengan aktivitas tambang ilegal. Pertanian dan perkebunan sudah berkurang. Jika dihentikan permanen, masyarakat mau kemana lagi?" ungkap Dewi.
Dia menekankan bahwa penghentian tambang ilegal secara mendadak dapat menyebabkan krisis ekonomi bagi masyarakat yang bergantung pada tambang tersebut. Disisi lain Wengki mengusulkan agar pemerintah daerah membangun transisi ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar tambang ilegal, dengan memanfaatkan potensi lahan pertanian dan hutan yang masih ada.
Para narasumber dalam diskusi publik ini sepakat bahwa pemberantasan tambang ilegal membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak. Wengki Purwanto menyerukan agar Kapolri mengambil langkah tegas dengan membentuk tim khusus yang fokus menangani masalah tambang ilegal di Sumatera Barat. Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dalam membangun transisi ekonomi bagi masyarakat sekitar tambang ilegal, agar mereka tidak lagi bergantung pada aktivitas yang merusak lingkungan.
"Penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten dan transparan, tanpa pandang bulu. Aparat kepolisian harus bertindak sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai pelaku kejahatan," tambah Ihsan Riswandi. Ia juga mengusulkan agar pemerintah menyediakan program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak oleh penghentian tambang ilegal, sehingga mereka memiliki alternatif sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan.
Diskusi publik ini juga menyoroti peran penting masyarakat dan media dalam pemberantasan tambang ilegal. Wengki Purwanto mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi dan melaporkan aktivitas tambang ilegal di sekitar mereka. "Masyarakat harus diberikan edukasi mengenai dampak negatif tambang ilegal terhadap lingkungan dan kesehatan mereka. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dan aktif dalam menolak aktivitas tambang ilegal," ujar Wengki.
Diskusi publik yang diadakan oleh Walhi Sumbar dan SIEJ ini bertujuan untuk menakar sejauh mana itikad baik penegak hukum dalam memberantas kejahatan lingkungan di sektor tambang, baik yang legal maupun ilegal, di Sumatera Barat. Para peserta diskusi berharap bahwa hasil dari acara ini dapat menghasilkan solusi konkret untuk mengatasi masalah tambang ilegal yang telah mengancam lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. (*/Yh)