Pernyataan Gubernur Jawa Barat yang menyarankan agar pasangan miskin menjalani vasektomi atau tubektomi sebelum menerima bantuan sosial mengusik nurani publik. Kebijakan semacam ini bukan saja problematik dari segi etika dan hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Sterilisasi, meski diklaim sukarela, tetap menjadi bentuk intervensi negara yang berpotensi memaksa warga yang rentan secara ekonomi untuk menyerahkan hak privatnya atas dasar kebutuhan mendesak. Ini bukan hanya melanggar prinsip kebebasan, tetapi juga menciptakan stigma terhadap orang miskin—seolah-olah mereka adalah beban negara yang harus dikendalikan populasinya.
Dalam The Ultimate Resource, Julian Simon (1981) justru menyatakan bahwa manusia adalah sumber daya utama bagi kemajuan, bukan ancaman. Simon menentang pandangan pesimistis yang melihat pertumbuhan penduduk sebagai beban, dan menegaskan bahwa setiap kelahiran membawa potensi inovasi dan kontribusi bagi masyarakat. Dalam kerangka ini, kebijakan pengendalian kelahiran yang menargetkan orang miskin adalah bentuk kegagalan memahami potensi manusia.
Lebih jauh, ekonom peraih Nobel Gary Becker (1991) menunjukkan bahwa keputusan memiliki anak adalah pilihan rasional dalam kerangka ekonomi rumah tangga. Ketika perempuan memiliki lebih banyak peluang kerja di luar rumah, maka opportunity cost membesarkan anak meningkat. Secara alami, pasangan akan memilih memiliki anak lebih sedikit. Dengan demikian, partisipasi perempuan dalam pasar kerja dan peningkatan pendidikan adalah solusi paling efektif dan beradab untuk menurunkan tingkat fertilitas—bukan sterilisasi.
Masalah yang dihadapi negara bukan pada banyaknya kelahiran, tetapi pada rendahnya kualitas pembangunan manusia. Ketika keluarga miskin tidak mendapat akses pada pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak, beban APBN akan meningkat. Tetapi solusi terhadap itu bukan membatasi kelahiran dengan memotong hak biologis warga negara, melainkan dengan membangun sistem insentif yang adil, seperti bantuan bersyarat yang mendorong investasi pada pendidikan dan kesehatan anak.
Lebih penting dari itu, pendekatan kebijakan publik kita harus berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa. Menjadikan sterilisasi sebagai syarat menerima bantuan sosial bukan saja tidak manusiawi, tetapi juga melanggar prinsip keadilan sosial yang menjadi jantung Pancasila. Yang harus dikendalikan bukan rahim rakyat miskin, melainkan ego penguasa yang lupa bahwa tugas negara adalah memuliakan warganya—bukan menyalahkan mereka karena lahir dalam kemiskinan.
Sudah saatnya pejabat publik membaca ulang Julian Simon dan Gary Becker, agar tidak terjebak pada logika kuno yang menyamakan kemiskinan dengan ancaman. Bangsa ini tidak akan maju dengan menekan jumlah anak miskin, tetapi dengan memerdekakan mereka melalui pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan martabat. Pembangunan tidak boleh berjalan di atas pengabaian terhadap hak asasi manusia.
Referensi
Becker, G. S. (1991). A Treatise on the Family. Harvard University Press.
Simon, J. L. (1981). The Ultimate Resource. Princeton University Press.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas)