Langgam.id - Pesawat-pesawat tempur Sekutu mulai memborbardir Tokyo. Sementara, Iwo Jima baru saja dikuasai marinir Amerika setelah pertempuran panjang yang berdarah. Di daratan Asia, bala tentara Jepang terus terdesak kala itu. Teater Perang Pasifik, telah jauh dari titik balik.
Di seputar kejadian itu, pada 24 Maret 1945, sebuah pengumuman keluar dari Bukittinggi. informasi dari Pusat pemerintah militer di bawah Panglima Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang Letnan Jenderal Moritake Tanabe itu bukan soal perang.
Anthony Reid dalam Buku 'Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia' menulis, pimpinan tertinggi penguasa Jepang di Sumatra tersebut merilis pembentukan sebuah Dewan Penasihat Sumatra (Chu Sangi In). Peristiwa itu, tepat terjadi 74 tahun yang lalu dari hari ini, Ahad (24/3/2019).
Setelah membentuk dewan di Sumatra, Jepang menentukan anggotanya dengan perimbangan dari seluruh keresidenan di Sumatra. "Lima belas orang anggota dipilih oleh sepuluh dewan penasihat daerah dan pada 17 Mei penguasa Jepang di Bukittinggi mengangkat 25 anggota tambahan," tulisnya.
Pembentukan dewan di Sumatra tersebut, menurut Reid, hampir dua tahun setelah pembentukan badan penasihat di Pulau Jawa. Letnan Jenderal Kumakichi Harada yang menggantikan Jendral Immamura sebagai Panglima Pasukan ke-16 Angkatan Darat Jepang, 18 bulan sebelumnya telah membentuk badan serupa untuk Pulau Jawa.
Yudi Latif dalam catatan kaki Buku 'Negara Paripurna' menulis, pada 5 September 1943, Saikiko Shikikan (Kumakichi Harada) mengeluarkan Osamu Seirei No.36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dan Chuo Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Keresidenan).
Pembentukan badan ini menanggapi protes Sukarno dan Hatta tentang janji kemerdekaan Jepang untuk Burma dan Filipina, setelah posisi mereka di sana terdesak. Pada 17 Oktober 1943, Ir. Sukarno dilantik jadi ketua badan tersebut didampngi dua wakil ketua, yakni R.M.A.A Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo.
Anggota badan ini 32 orang, termasuk tokoh-tokoh nasionalis seperti Bung Hatta dan Ki Hadjar Dewantara. Badan ini yang diduplikasi Jenderal Tanabe di wilayah kekuasaannya.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI dalam Buku 'Hari-Hari Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945' (1998) menulis, Jepang membagi Kepulauan Nusantara menjadi tiga wilayah kekuasaan. Sumatra dan Jawa masing-masing dikuasai Tentara ke-25 dan ke-16 Angkatan Darat (Rikugun) dengan kekuasaan yang terpisah. Masing-masing berpusat di Bukittinggi dan Jakarta.
Sementara, Kalimantan dan Indonesia Timur berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang. Selama 1942-1945 itu, wilayah ketiga ini dipimpin bergantian Laksamana Ibo Takahashi, Shiro Takashu, Gunichi Mimura dan Denshichi Ohkochi.
Maulwi Saelan dalam Buku 'Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa' menulis, di Indonesia barat terutama di Jawa, Jepang memberikan kesempatan kepada para pemimpin untuk mengorbarkan semangat kemerdekaan. Sementara, penguasa Angkatan Laut sama sekali tak memberikan kesempatan itu.
Makanya, badan semacam ini hanya ada di Jawa dan kemudian menyusul Sumatra. Meski, secara umum, di seluruh wilayah Tentara Jepang menguras sumber daya alam, menindas dan membunuh rakyat.
Pembentukan badan untuk Sumatra ini, ditujukan sama dengan Jawa: memberi harapan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang yang sedang terdesak di penghujung Perang Dunia II tersebut.
Pada awal pendudukan Jepang, menurut Reid, Jepang merencanakan masa depan yang berbeda antara Jawa dan luar Jawa. "Jawa, yang berada di bawah wewenang Angkatan Darat ke-16, dinilai mampu mencapai kemajuan politik," tulisnya.
Itu artinya, pemberian kemerdekaan tersebut hanya untuk Jawa. "Malaya dan Sumatra, yang disatukan di bawah wewenang Angkatan Darat ke-25, dilukiskan sebagai zona inti dalam rencana Kekaisaran Jepang mengenai wilayah tenggara," sebut Anthony Reid.
Demikian juga untuk Borneo, Sulawesi dan Sunda Kecil yang berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut rencananya akan tetap dikuasai di masa datang untuk manfaat Kekaisaran Jepang. Hal tersebut, karena kedua wilayah itu punya nilai ekonomi tinggi karena sumber minyak, karet dan timah.
Rencana Jepang, menurut Reid, Malaya dan Sumatra nantinya akan jadi bagian dari Jepang. Karena itu, Jepang tidak mengizinkan pembicaraan mengenai kemerdekaan dan kegiatan politik lainnya di Sumatra. "Kecuali propaganda untuk kepentingan Jepang yang mendesak. Semua organisasi politik Indonesia di situ dibekukan beberapa pekan setelah pendudukan Jepang," tulisnya.
G. Moedjanto dalam 'Indonesia Abad ke-20' menulis, terhadap Jawa, Jepang bersikap lebih lunak. Buktinya, Jepang mau mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang serius menuju ke pemberian kemerdekaan. Terhadap daerah pendudukan lainnya, Jepang bersikap keras.
Baru pada April 1943, ketika Sumatra dipisah dari Malaya dari sisi administrasi, menurut Reid, kebijakan tersebut dipertimbangkan kembali. Hal ini mengingat situasi perang yang semakin menyulitkan Jepang.
Awalnya Tentara ke-25 Jepang menentang setiap konsesi yang mengarah ke kemerdekaan Sumatra. Tekanan dari Tokyo dilaksanakan dengan setengah hati oleh Bukittinggi.
Namun, menurut Moedjanto, karena Jepang mulai kalah perang, Jenderal Tanabe dan Jenderal Shimura sebagai Kepala Staf-nya terpaksa juga mengadakan pembaharuan. Seperti di Jawa.
Dalam rangka itulah dewan tersebut dibentuk. Dua bulan setelah dibentuk, Jenderal Shimura yang mengepalai urusan administrasi mengumumkan pimpinan Dewan Penasihat Pusat Sumatra.
Pendiri INS Kayu Tanam Mohammad Sjafei menjadi ketua, didampingi Tengku Nyak Arif dari Aceh dan Mr. Abdul Abbas dari Lampung sebagai wakil ketua. "Sebuah sekretariat tetap dan besar untuk dewan dibentuk dan dikepala oleh wartawan terkemuka dari Sumatra, Djamaluddin Adinegoro," tulis Reid.
Jepang mulai mendengungkan, slogan 'Sumatra Baru' mendorong janji kemerdekaan untuk Sumatra tersebut.
Setelah rapat dari 27 Juni hingga 2 Juli, Dewan menghasilkan enam resolusi. Yakni tentang pembentukan panitia persiapan kemerdekaan, Sumatra Hokkai yang menghubungkan organisasi-organisasi keresidenan dan perguruan tinggi Islam. Selanjutnya, soal kantor penghubung keresidenan, sistem perbankan dan laskar rakyat.
Upaya-upaya menciptakan kemerdekaan yang terpisah dari Pulau Jawa tersebut, menurut Reid, cukup banyak. Antara lain, dengan memunculkan duet Sjafei dan Adinegoro dan kemudian membentuk Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan.
Namun, mengutip Hamka, Reid menulis, justru forum-forum tidak resmi Dewan yang dianggap paling penting dalam pembentukan persatuan kemerdekaan (dengan Indonesia).
"Di situ, semangat persatuan sangat kokoh. Di situ semangat untuk memisahkan Sumatra dari persatuan Indonesia jelas-jelas ditentang," kata Hamka, sebagaimana dikutip Reid.
Apa yang dikatakan Hamka terbukti di kemudian hari. Perkembangan persiapan kemerdekaan di Jakarta yang dilaksanakan oleh Sukarno-Hatta dan kawan-kawan, meski tanpa pelibatan anggota dewan yang dibentuk Jepang di Sumatra, terbukti kemudian diterima di Sumatra. Upaya memisahkan Sumatra dari Jawa dan Indonesia itupun kandas. (HM)