Delvi Yanti* & Muhammad Taufiq Iqbal**
Marosok merupakan bahasa asli Minang berasal dari kata rosok, yang artinya pegang atau raba. Tradisi marosok oleh sebagian besar pedagang di Pasar Ternak Palangki merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan mereka terutama dalam hal jual beli ternak.
Marosok merupakan kegiatan transaksi yang dilakukan antara penjual dan pembeli yang dilakukan secara rahasia dengan cara menutupi tangan mereka menggunakan sarung atau kain sebagai penutupnya.
Dalam konteks ini marosok berarti tawar menawar di balik kain penutup tangan.
Tradisi marosok di Pasar Ternak Regional Palangki sendiri masih menjadi sesuatu hal yang utama dan masih tetap dilakukan sampai sekarang. Pasar Ternak Palangki biasanya beroperasional setiap hari tetapi ada hari tertentu yang menjadi puncaknya pasar yaitu di hari Jumat-Sabtu.
Para pedagang bisa menjual ternaknya di pasar ternak ini tanpa dipungut biaya berapapun, dan hanya membeli surat jalan ketika sudah membeli ternak sebagai tanda bahwa ternak itu sudah sebagai hak milik pembeli.
Tradisi marosok merupakan tradisi asli yang berasal dari Minangkabau yang pada awal mulanya tradisi marosok ini hanya dilakukan oleh pedagang Minang, namun seiring berkembangnya zaman dan semakin banyaknya masuk pedagang dari luar wilayah Sumbar ke Pasar Ternak Regional Palangki ini, seperti dari Jambi, Aceh, Lampung, Bengkulu, bahkan dari Jawa para pedagang dari luar ini mulai belajar dan juga mempraktekkan kegiatan marosok ini sebagai media transaksi jual beli ternak.
Jika para pedagang belum mahir dalam mengartikan kode saat transaksi marosok, maka ada pihak yang akan membantu.
Budaya marosok secara historis, sangat erat kaitannya dengan rasa malu dan sopan santun. Di Minangkabau, hewan ternak seperti sapi dan kerbau, pada zaman dahulunya juga merupakan harta pusaka pada satu keluarga dan menjual harta pusaka dalam pandangan masyarakat Minangkabau merupakan hal yang memalukan.
Jika harta pusaka di Minang terpaksa harus dijual, maka mereka akan menjaga rahasianya. Harga jual harta pusaka orang Minang, akan menggambarkan pribadi orang yang punya harta, jika dijual murah maka akan dianggap mengobral harta pusaka, jika harga jual tinggi maka akan dianggap memanfaatkan harta pusaka untuk mendapatkan keuntungan.
Maka untuk menjaga kerahasian ini, lahirlah tradisi marosok saat jual beli hewan ternak di Minang.
Dalam tradisi marosok yang berlangsung di pasar ternak terdapat sebuah etika yang dijunjung tinggi antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi. Marosok dilakukan dengan tujuan agar harga ternak yang akan diperjual belikan tetap terjaga kerahasiaannya dan dengan demikian keseimbangan harga ternak di pasar tetap terjaga sehingga tidak menimbulkan konflik antara pembeli satu dengan lainnya.
Dalam marosok, yang bermain hanyalah jari tangan sebagai media tawar menawar harga yang akan disepakati oleh kedua belah pihak tanpa ada sepatah kata yang terucap dari mulut antara penjual dan pembeli. Disinilah letak keunikan dari tradisi marosok tersebut, tanpa bicara sepatah katapun mereka para pedagang dan pembeli dapat mengetahui harga yang ditawarkan.
Marosok tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang dan dengan sembarangan cara, karena di dalam merosok terdapat sebuah teknik permainan jari tangan yang menentukan berapa harga yang ditawarkan, harga ternak bisa saja naik, harga ternak bisa turun dan harga ternak sudah tidak bisa ditawar. Dengan demikian kegiatan marosok ini harus dipelajari terlebih dahulu sebelum dipraktekkan langsung di lapangan.
Banyak sekali alasan tradisi marosok masih dipertahankan hingga sampai sekarang dan tidak dapat dipisahkan dalam transaksi di pasar-pasar ternak di Sumbar terutama di Pasar Ternak Palangki. Salah satu alasan tradisi ini harus tetap ada karena pada setiap hewan yang akan di perjual belikan terkadang terdapat beberapa keunikan yang tidak bisa ditimbang, seperti keunikan dari corak warna ternak, bentuk tanduk ternak, dan lain-lain.
Itulah mengapa tradisi marosok harus tetap dilestarikan karena tidak semua ternak dapat ditimbang untuk diambil dagingnya saja tetapi juga dapat dilihat dari keunikan yang ada pada masing-masing ternak tersebut.
Jika tradisi marok kehilangan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat, maka pasar ternak yang ada di Sumbar akan kehilangan pamornya sebagai salah satu pasat ternak terbesar di pulau Sumatera yang masih melestarikan kebudayaan dari nenek moyang secara turun temurun.
Tradisi marosok sendiri sudah mendapatkan penghargaan dari pemerintahan sebagai budaya tak benda yang harus tetap dilestarikan. Oleh karena itu kita sebagai generasi muda harus tetap melanjutkan dan melestarikan tradisi marosok ini.
Tidak hanya itu bagi para orang tua yang ahli dalam marosok ini hendaknya mengajari para generasi muda agar tradisi ini tetap ada dan tidak hilang tergerus oleh zaman.
*Dosen Teknik Pertanian dan Biosistem Universitas Andalas
**Mahasiswa KKN-PPM 2023 Nagari Palangki