Toa, Keber-Islaman dan Toleransi

Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.

Riki Saputra.

Akhir-akhir ini publik Indonesia digemparkan dengan isu keagamaan yang merebak di seluruh penjuru Nusantara. Isu tersebut terkait dengan pengaturan volume pengeras suara masjid dalam mengumandangkan panggilan lima waktu umat Islam. Pengaturan ini setelah dikeluarkannya Surat Edaran atau (SE) Nomor 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama.

Hal ini tentu, memicu keributan mayoritas masyarakat Indonesia yang berada di arus bawah, atas ataupun kelompok masyarakat yang memang mudah di bawa ke sana ke mari oleh isu yang mudah dibolak balikkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Melansir dari Tempo.com (Kamis, 24 Februari 2022) sebagaimana yang disampaikan oleh pihak pelaksana tugas Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Republik Indonesia, Thobin al-Asyar, menyatakan bahwa pemberitaan tentang Menag yang membandingkan toa sebagai pengeras suara azan dan gonggongan anjing sangat tidak tepat.

Mengenai penjelasan Gus Yaqut memberikan contoh sederhana, tidak dalam kontek membandingkan dengan yang lainnya, maka beliau menyebut kata “misal”. Yang dimaksud Gus Yaqut adalah misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memeliharanya”, ujar Gus Yaqut.

Berangkat dari pernyataan Gus Yaqut tersebut muncul polemik yang berkepanjangan, bahkan dalam sisi lain tentu Roy Suryo seorang pakar multimedia sekaligus politik menilai hal tersebut adalah suatu penistaan terhadap agama, khususnya Islam. dengan begitu banyak kelompok Islam yang sepakat dengan apa yang dikatakan Roy Suryo sehingga memunculkan pro dan kontra di masyarakat seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Kalau dilihat dalam perspektif “esoterisme” itu menunjukkan sikap toleransi demi kenyamanan bersama di masyarakat. Apalagi masyarakat urban yang mana hidup di tengah perkotaan yang rumah ibadahnya (masjid) yang relatif berdekatan, sehingga menimbulkan suara kebisingan oleh volume toa yang terlalu kencang, itu secara esoteris.

Tetapi, apakah edaran dari Menag tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia, mungkin di sebagian tempat tidak bisa diterapkan. Contoh, untuk masyarakat di pedesaan suara toa yang kencang menjadi suara yang syahduh dan dinikmati oleh mereka, tapi untuk masyarakat perkotaan yang di kelilingi oleh rumah ibadah (masjid), ketika suara toa mengeluarkan suara bersamaan dengan volume yang kencang akan sulit bagi mereka untuk menikmatinya. Inilah yang disebut “eksoterisme”.  Yang jelas agama itu mengajarkan dan memerintahkan manusia untuk selalu berbuat baik di dunia, saling mencintai dan menyayangi sesama manusia.

Sebenarnya, tujuan dari pengaturan pengeras suara ini adalah untuk menjaga toleransi umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pasalnya di masyarakat perkotaan hal demikian memang diperlukan demi keberlangsungan kehidupan umat beragama dan bernegara. Tentu pengaturan suara ini tidak akan meluruhkan keimanan seorang terhadap agama dan Tuhannya. Sebab, iman itu pada dasarnya ada pada setiap benak setiap muslim bukan seberapa besar volume pengeras suara yang ada di masjid masing-masing.

Maka sudah seyogyanya, masyarakat menyikapi hal demikian secara bijak. Sebab dasar dari kesemuanya adalah menjunjung tinggi tenggang rasa, menjaga toleransi umat beragama terhadap seluruh anak bangsa. Kita harus pahami bersama bahwa pengaturan volume suara azan ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, sebelumnya di negara muslim juga sudah terlebih dahulu memperlakukan aturan demikian, salah satunya di Mesir, India bahkan di Arab Saudi sendiri.

Di Arab Saudi kita lihat hanya boleh pakai speaker dalam masjid, kepentingan itu hanya untuk azan, salat jumat, salat id, dan minta hujan. Mesir, toa tidak boleh digunakan selama bulan Ramadhan agar ibadah lebih tenang. India, pengeras suara masih ilegal yang dipantau oleh pengadilan tinggi. Pemberlakuan aturan ini tentu karena sifat toleransi terhadap umat beragama lainya. Terlebih ketika berbicara masyarakat urban yang tidak hanya umat Islam yang ada di sana.

Tapi yang menjadi masalah adalah ketika aturan tersebut diperlakukan bagi seluruh masjid dan musalla yang ada di Indonesia. Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia bukan hanya masyarakat urban perkotaan. Mereka justru lebih banyak berada di dalam lingkung pedesaan yang ke-Islaman mereka kental dan menguat. Ibadah mereka sudah terbiasa dengan toa dan volume yang keras terlebih sebelum datangnya waktu salat.

Mereka (masyarakat muslim desa) tidak bisa meninggalkan toa sebagai pengeras suara dalam beribadah. Bahkan, kalau kita hidup di kampung-kampung yang notabene religiusnya begitu kental, setiap habis azan mereka akan melantunkan pujian untuk menunggu masyarakat datang ke masjid. Bahkan tidak hanya itu, mereka setelah melakukan salat lima waktu tidak sedikit dan jarang mereka akan melakukan tadarus menggunakan pengeras suara semacam toa. Tentu, seharusnya pengaturan pengeras suara ini harus melihat tempat, adat, dan kebudayaan setempat, tidak menyeluruh.

Muslim pedesaan adalah muslim yang dekat dengan pengeras suara, mereka ketika melaksanakan kegiatan keagamaan sudah bisa dipastikan menggunakan toa,  bahkan tidak hanya di dalam masjid, di kampung-kampung perumahan mereka sewaktu mengadakan kegiatan yang berbau keagamaan dipastikan menggunakan pengeras suara semacam toa. Inilah keber-Islaman mereka, kegiatan keberagamaan mereka tidak bisa dilepaskan dari pengeras suara.

Dengan demikian peraturan pengeras ini secara otomatis akan memunculkan pro dan kontra di dalam kedirian umat muslim sendiri. Sebagai wakil pemerintah sudah seharusnya melihat kemaslahatan umat dalam hal ini umat Islam sendiri, dan sebagai umat, kita semua harus bersikap arif dan bijaksana dalam melihat dan menilai SE yang sudah dikeluarkan.

Bahkan yang membuat gaduhan terkait pernyataan Menag soal azan yang dibandingkan dengan suara hewan seperti yang sudah dipaparkan di atas. Dalam hal ini seharusnya kita terlebih dulu tabayyun dan tidak mengedepankan emosi karena kita paham tidak mungkin seorang Gus Menag dengan sengaja membandingkan suara azan dengan suara gonggongan anjing. Sebab Gus Men adalah seorang muslim, santri dan berasal dari keluarga pesantren.

Maka sudah saatnya kita masyarakat Indonesia berpikir secara arif dan bijaksana. Mari mengedepankan narasi-narasi yang bijak dan positif terkait dengan SE pengaturan suara azan. Sudah saatnya kita menjaga kerukunan umat beragama, berbangsa, dan bernegara, menjaga hidup rukun, damai, dan menjunjung tinggi kebinekaan yang sudah ditorehkan oleh para pendiri bangsa. Itu lebih arif dan bijaksana dibandingkan kita selalu beradu argumen hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.


Dr. Riki Saputra, MA, merupakan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Baca Juga

Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Saiful Mujab mengatakan, bahwa pihaknya terus
Berhaji Tahun Ini Disambut Cuaca Panas Terik di Arab Saudi, Berikut Imbauan Menag
HAB Kemenag: Menteri Agama Minta Jaga Kerukunan Jelang Pemilu 2024
HAB Kemenag: Menteri Agama Minta Jaga Kerukunan Jelang Pemilu 2024
Langgam.id - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas berencana mengundang pepimpin umat Katolik, Paus Fransiskus ke Indonesia.
Menag Yaqut Cholil Qoumas Akan Undang Paus Fransiskus ke Indonesia
Langgam.id - Ustad Derry Sulaiman turut mengomentari pernyataan atau analogi Yaqut Cholil Qoumas soal suara azan dan gonggongan anjing.
Ustaz Derry Sulaiman Minta Yaqut Cholil Qoumas Segera Akui Kekhilafan dan Minta Maaf
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Ketua PW GP Ansor Sumbar Rahmat Tengku Sulaiman menemui Ketua Umum LKAAM Fauzi Bahar.
Klarifikasi Soal Haramkan Menag ke Sumbar, GP Ansor Temui Fauzi Bahar
Berita Gempa Pasaman Barat terbaru dan terkini hari ini: Bantuan dari Menag Yaqut Cholil Qoumas untuk korban gempa di Pasaman Barat.
Menag Yaqut Cholil Qoumas Bantu Masjid dan Musala Terdampak Gempa di Pasaman Barat Rp2,35 Miliar