Nama Buya Hamka tidak pernah pudar di tengah pusaran zaman. Dalam karya tulis, banyak buku dan novel beliau dicetak ulang. Salah satu penerbit yang gencar menerbikan kembali karya-karya beliau adalah Gema Insani. Begitu pula gencarnya adaptasi karya-karya sastra beliau ke layar lebar.
Hari ini masyarakat dan para pecinta film telah meyaksikan film Buya Hamka Vol.1 dan tengah mengunggu Vol 2 dan 3 yang juga akan ditayangkan di pelbagai bioskop di Tanah Air. Jauh sebelum itu, karya Hamka yang lain dan merupakan fiksi beliau paling terkenal, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, juga sudah diadaptasi ke layar lebar pada 2013.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengulas tentang film ini setelah menontonnya lewat layanan streaming Netflix.
Tenggelamnya Kapal van der Wijck, sebuah adaptasi dari novel Indonesia akhir 1930-an dengan judul yang sama, ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal sebagai Hamka. Film ini menayangkan kisah cinta yang kuat tetapi tragis. Film dengan durasi 2 jam 45 menit ini mengambil latar waktu 1930-an di bumi Nusantara.
Zainuddin—seorang anak yatim piatu yang diperankan secara luar biasa Herjunot Ali (5cm, Realita, Cinta dan Rock'n Roll, Di Bawah Lindungan Ka'bah)—memiliki ayah dari Minang dan ibu dari Bugis. Setelah bertahun-tahun tinggal di kota kelahiran ibunya di Makassar, Zainuddin sangat ingin belajar lebih banyak tentang budaya ayahnya. Berkat bantuan pengasuhnya dan berbekal uang yang cukup, ia memulai perjalanannya ke Batipuh di Minangkabau.
Di daerah yang menjunjung tinggi sistem matriarkal yang kuat, kehadiran Zainuddin tidak beroleh sambutan hangat mengingat ibunya berasal dari Bugis. Saat mencoba menyesuaikan diri, Zainuddin bertemu Hayati (Pevita Pearce), gadis tercantik di desa, yang kebetulan adalah wanita asli minang keturunan bangsawan. Tidak seperti penduduk desa lainnya, Hayati menjalin persahabatan yang tulus dengan Zainuddin, yang kemudian berubah menjadi rasa cinta. Hubungan kedua pasangan ini lagi-lagi tidak mendapatkan reaksi positif dan Zainuddin ditolak karena ia dianggap tidak memiliki akar Minang yang tulen dan utuh.
Zainuddin lalu pindah ke daerah dekat Padang Panjang. Sebelum berangkat, ia berjanji kepada Hayati bahwa hatinya selamanya miliknya. Cerita ini berubah getir ketika Hayati didekati oleh teman abangnya, Aziz (Reza Rahadian), seorang pria Minang yang kaya dan modern, yang terpesona oleh kecantikan Hayati. Di rumah, keluarga Hayati menerima pinangan dari Aziz dan Zainuddin. Tetapi lantaran Aziz dianggap akan memberikan jaminan keuangan yang lebih stabil, keluarganya memaksa Hayati melanggar janjinya ke Zainuddin.
Tercabik-cabik oleh penolakan keluarga Hayati, Zainuddin bertekad meninggalkan tragedi dan melakukan perjalanan ke Jawa untuk mengejar karir menulisnya dengan dukungan sahabatnya Muluk (Randy 'Nidji'). Di Batavia, Zainuddin menemukan kesuksesan dengan novelnya, Teroesir. Tetapi sebuah peristiwa tak diduga kembali menghampiri Zainuddin.
Di tengah gelimang harta dan kemasyhurannya, dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Pada akhirnya, kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya; Hayati pulang ke kampung halamannya dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam. Sebelum kapal tenggelam, Zainuddin mengetahui bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya.
Dalam film tersebut, yang membutuhkan pengerjaan waktu selama lima tahun, sutradara Sunil Soraya tetap setia pada cerita aslinya. Penulis naskah Imam Tantowi bekerja sama dengan Donny Dhirgantoro (penulis novel dan skenario untuk 5cm) untuk menghasilkan skenario yang membumi tanpa kehilangan nuansa klasik periode romansa.
Herjunot memberikan penampilan yang menakjubkan, mempertahankan aksen Makassar serta kualitas dramatisnya di sepanjang film. Pevita, bagaimanapun, masih belum menawarkan performa yang konsisten.
Sementara itu, Reza Rahadian yang memenangkan kategori aktor terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2013 untuk penampilannya di Habibie & Ainun, mampu mengimbangi performa Herjunot dengan baik.
Jika kita membaca bab pertama dari Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini dan membaca tragedi cinta dari Zainuddin dan Hayati, kita dapat memahami bahwa semua pengetahuan Hamka tentang nama dan tradisi Makassar diperoleh selama waktunya di sana, meskipun novel ini diterbitkan pada tahun 1938.
Saat berada di Makassar, Hamka juga menerjemahkan dan menerbitkan sebuah novel berjudul Laila dan Majnun, sebuah kisah cinta klasik dari penyair Persia yang hebat, Nizami Ganjavi. Hamka juga mendirikan dua majalah di Makassar; Tentera dan Al-Mahdi. Pada tahun ini Hamka juga menerbitkan sebuah buku berjudul Arkanul Islam.
Selama tinggal di Makassar (1932-1934), Hamka juga terlibat dalam beberapa polemik di media. Masalahnya bahwa Partai Syarikat Islam (PSI) mengeluarkan keputusan untuk menghapus semua anggota Muhammadiyah dari partai tersebut.
Di Sulawesi Selatan, konflik ini dilaporkan di surat kabar Al-Wafd milik surat kabar PSI dan Tentara Islam yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Melalui Al-Wafd, HA Mawangkang, seorang anggota PSI, mengkritik Muhammadiyah terlalu kooperatif dengan Belanda dan menerima subsidi dari pemerintah kolonial.
Hamka menanggapi melalui Tentara Islam dengan mengkritik Yusuf Sammah dan anggota PSI lainnya yang menurutnya hanya bisa membual dan tidak menunjukkan kerja nyata.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas