Kajian ini secara kelasik disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Akidah atau Ilmu Ushuluddin. Yakni ilmu yang berbicara tentang sistem keyakinan Islam. Sayangnya, istilah teologi selama ini dipahami sangat teosentris.
Matanya menggerayangi dengan cermat sebuah artikel Jurnal Ilmiah 18 halaman. Abdul Mustaqim (AM) menulis, “Teologi Bencana Perspektif Al-Qur’an”, Nun, Vol 1, No. 1, 2015.
Sangat penting dan sangat menarik kajian telisik al-Quran tetang teologi bencana ini.
Pertama, bencana banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh (Q.S. al-Mukminun [23]: 27). Kedua, bencana hujan batu seperti yang menimpa umat Nabi Luth. (Q.S. Al-A’râf [7]: 84).
Ketiga, Bencana gempa bumi atau (al-zalzalah) ini pernah terjadi pada umat Nabi Musa (Q.S. (Q.S. al-A’râf [7]:155). Dan, keempat, bencana angin topan yang menimpa orang kafir pada waktu perang Khandaq (Q.S. al- Ahzâb [33]:9).
Pendekatan Tafsir Maudhu’i atau tematik dalam penelitian AM membuat Saga Jantan (SgJ) kembali merekognisi kuliah doctoral-Drs, 45 dan Magister-M.A., Doktor-nya, 33, 30 tahun lalu.
Pada waktu itu kata teologi (Theology) ilmu Ke-Tuhanan tidak biasa di kalangan umum.
SgJ ingat, suatu kali, ada beberapa orang yang datang ke Fakultas Ushuludin Univertas di mana SgJ menjadi dosen sebelum pensiun sebagai ASN.
Mereka mempertanyakan apa itu teologi dan ilmu kalam yang ada dalam mata kuliah di fakultas itu. Bahkan sebenarnya mereka memprotes. Setelah disyarahkan dengan sabar dan rinci, mereka paham.
Oleh karena itu harus ditarik ke kata atau diksi awal. Terma yang sudah ada sejak kajian klasik, pertengahan dan era pra-modern pemikir Muslim menurut bidangnya.
Kajian ini secara kelasik disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Akidah atau Ilmu Ushuluddin. Yakni ilmu yang berbicara tentang sistem keyakinan Islam. Sayangnya, istilah teologi selama ini dipahami sangat teosentris.
Artinya hanya mengkaji dan mendiskusikan sejumlah konsep-konsep untuk “mengurusi” Tuhan. Misalnya apakah kalâmullâh itu qadîm atau hadîts?
Bagaimana sifat-sifat Tuhan, bagaimana keadilan Tuhan, bagaimana menilai orang lain kafir atau mukmin dan sebagainya.
Sementara itu persoalan manusia dan lingkungan kurang dikaitkan. Bahkan kalau pun ada terasa agak kurang.
Padahal al-Quran banyak menayangkan hal-hal itu. SgJ menelisik hasil penelitian AM ini dengan lebih hati-hati.
Sambil membaca pula dengan cermat Laporan Posko Tanggap Darurat Muhammadiyah Disaster Menagement Center (MDMC) di Kajai dan Malampah, ujung jari SgJ terus membalik puluhan lainnya ayat al-Qur’an terkait.
Baik simbolik, konseptual, tekstual, kontektual, filosofis dan historis.
Akan tetapi Kakek 70 tahun ini belum akan membahas apa yang menari dalam benaknya sebagai yang sering pula disebut fikih bencana.
Yaitu cara spontan tangggap-darurat bencana. Begitu pula program lanjutan. Biasanya disebut sebagai trauma healing, rehabilitasi-rekonstruksi (Rehab-Rekon) menurut ajaran Islam dalam pendekatan fisik material- non-fisik immaterial, jasmani-rohani-spiritual.
“Harus satu-satu dulu”, katanya bergumam sendiri.
Kembali ke teologi bencana. AM mengikhtisarkan 4 paradigma atau gugus pikir.
Pertama, teologi bencana adalah suatu konsep tentang bencana dengan berbagai kompleksitasnya yang didasarkan pada pandangan al-Qur’an.
Menurut al-Qur’an terma bencana dapat terwakili dengan beberapa istilah, yaitu bala’ yang secara bahasa dapat berarti jelas, ujian, rusak.
Bencana yang diungkapkan dengan term bala’ mempunyai aksentuasi makna bahwa bencana itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang sengaja diberikan Tuhan untuk menguji manusia, agar tampak jelas keimanan.
Sebagai sering dikutip muballigh potongan hadist, keimanan itu yazid wa yanqush (adakalanya bertambah-adakalanya berkurang).
Bencana yang disebut bala’ dapat berupa hal-hal yang menyenangkan , dapat pula hal-hal yang tidak menyenangkan.
Kedua, bencana dengan terma mushîbah lebih merupakan segala sesuatu yang menimpa manusia yang umumnya berupa hal-hal yang tidak menyenangkan.
Ketika terkait dangan hal-hal yang baik, maka al-Qur’an menisbatkannya kepada Allah, sementara ketika musibah itu terkait dengan hal-hal yang menyengsarakan, al- Qur’an menyatakannya, bahwa hal itu akibat hal-hal lain, dan boleh jadi karena kesalahan manusia itu sendiri.
Maka musibah itu sesungguhya bisa sebagai ujian, bisa pula sebagai teguran, bahkan juga bisa sebagai siksaan.
Ketiga, bencana juga disebut dengan fitnah, maka kecenderungan maknanya adalah untuk menguji manusia. Bencana yang diungkapkan dengan terma fitnah lebih merupakan ujian untuk mengetahui kualitas seseorang.
Maka menurut AM setelah meneliti ayat-ayat al-Quran yang relevan, secara ontologis (hakiki-wujudiah) al-Qur’an memandang bahwa bencana itu merupakan bagian dari sunnah kehidupan, yang memang telah menjadi “desain” Tuhan di al-Lauh Mahfudz.
Bencana tidak mungkin terjadi kecuali atas izin Tuhan dan atas sepengetahuan-Nya.
Akan tetapi hal ini tidak berarti lalu manusia hendak menyalahkan Tuhan, sebab terdapat berbagai penyebab terjadinya bencana alam antara lain;
- Sikap takdzîb (mendustakan) terhadap ayat-ayat Tuhan dan ajaran para rasul,
- Zhalim berbuat aniaya terhadap diri, tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya
- Israf (berlebihan-lebihan) dalam bermaksiat dan mengeksplotasi alam,
- Jahl (berlaku bodoh), yakni tahu kebenaran dan kebaikan tetapi dilanggar, dan
- Takabbur (sombong) dan kufur nikmat.
Untuk itu, diperlukan kearifan dan berfikir menyauk lebih dalam ke lubuk hikmah setiap menghadapi bencana.
Antara lain senantiasa, bersabar, optimis, tidak berputus asa dari rahmat Tuhan dan senantiasa bermuhasabah (introspeksi diri).
Berbagai bencana yang menimpa manusia mengandung pesan moral antara lain sebagai tanda peringatan Tuhan.
Tentu pula sebagai bahan evaluasi diri. Lebih dari itu tanda kekuasaan-Nya dan teguran Tuhan buat manusia supaya kembali ke jalan yang benar.
Selanjutnya, harus selalu waspada. Apalagi kalau menurut penelitian dan teori bahwa semua bencana sudah dapat diasumsi dan diprediksi. Meski mungkin oleh sebagian pihak diangggap bersifat spekulatif tetapi tetap bukan khayalan kosong.
Baca juga: Jangan Mundur, Konversilah ke Bank Syariah Nagari
Dan yang faktual akan diuji terus menerus sesuai gejala alam . Hal itu dalam tinjauan teologis, sebenarnya juga merupakan takdir dan mungkin sunnatullah. Wa Allahu a’lam.
__
Shofwan Karim
Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat