InfoLanggam – Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat menggelar Diskusi Adat Minangkabau “Membaca Cindue Mato; Jati Diri dan Hukum Adat Minangkabau” di Convention Hall Prof Dr Yunahar Ilyas LC MAg, Kampus III UM Sumatera Barat Bukittinggi, Senin (25/11/2024) lalu.
Diskusi ini menghadirkan narasumber utama yakni Tan Sri Dato’Seri Utama Dr.Rais bin Yatim yang merupakan tokoh masyarakat Minangkabau, Presiden Dewan Negara Malaysia Periode 2020-2023 dan dimoderatori Dosen UM Sumatera Barat Isral Naska.
Rektor UM Sumatera Barat, Dr Riki Saputra MA berterimakasih kepada seluruh pihak yang hadir dalam Diskusi Internasional secara langsung. Ia berharap semoga identitas orang Minangkabau yakni melestarikan bahasa, jangan sampai tergerus oleh zaman. Diskusi internasional kali ini jelasnya, membahas persoalan adat Minangkabau, Cindue Mato.
Riki juga menyebutkan, UM Sumatera Barat sebagai lembaga penyelenggara pendidikan jangan hanya berkutat pada persoalan administrasi. Tetapi juga intelektual, kajian dan identitas orang Minangkabau mesti terus dimunculkan, digaungkan dan terus digemakan.
“Ini dilakukan terus secara berkala mungkin dalam bentuk seminar-seminar persoalan menggali identitas Minangkabau. Tentu kita sebagai pusat studi Islam Minangkabau akan melanjutkan kepada riset-riset, penelitian-penelitian serta pengabdian masyarakat. Karena kita sebagai masyarakat ilmiah mesti mendatangkan manfaat bagi sekitarnya walau tampak sederhana,” bebernya.
Sementara itu narasumber diskusi Adat Minangkabau Tan Sri Dato’Seri Utama Dr Rais bin Yatim dalam pemaparannya menyampaikan peran cindue mato dalam penjiwaan dan nilai hidup orang Minangkabau sebagai pembentukan jati diri atau identitas masyarakat. Alam cindue mato paparnya, merupakan legenda pertama Minangkabau.
“Kebesaran legenda Minang cindue mato sama kedudukannya dengan carito lamo seperti rambun pamenan, rancak di labuah, dll. Dalam cerita rakyat, cindue mato lah yang dapat membawa silsilah orang Minang, mencerminkan silaturahmi, diplomasi dan capaian selain daripada bahasa yang indah,” ujarnya.
Dalam pengkajian, ia melihat, cindue mato meskipun termasuk cerita lama tapi mengandung aspek sejarah, yakni aspek keberanian mempertahankan yang benar. Seperti kata adat “adat basandikan bana, nan bana badiri sandirinyo”.
"Kata itu diciptakan sebelum tahun 1844, yakni sebelum perjanjian Bukik Marapalam, dan sesudah perjanjian Bukik Marapalam barulah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. “Rancak jadinyo,” ungkapnya.
Di samping itu beliau juga membahas petatah petitih, kisah cindue mato yang sangat terkenal dalam beberapa versi, pandangan utama bundo kanduang dan lainnya.
Menanggapi pemaparan Tan Sri Dato’Seri Utama Dr Rais bin Yatim, narasumber kedua Dr Wendra Yunaldi yang merupakan Dekan Fakultas Hukum UM Sumatera Barat dan juga penulis Buku Nagari dan Negara mengungkapkan cindue mato dari sisi penerapan hukum adat Minangkabau dan persoalan yang ada di zaman modern saat ini.
Di mana ia menyimpulkan dua hal bahwa yang pertama masyarakat adat Minangkabau memiliki karakter magic religious dan kedua masalah hari ini di mana kolonialisme dan imperialism hukum, tanpa disadari terjadi pada konteks bernegara, berbudaya dan berbahasa. Beliau juga mengaitkan keunikan sistem adat Minang dengan Negara Indonesia.
“Negara Indonesia menganut sistem barat yakni trias politika, eksekutif, legislative dan yudikatif. Sedangkan ketatanegaraan adat Minang yakni tigo tungku sajarangan. Sesuatu yang jauh dari dulu sudah ada dari peradaban barat yang mengenalkan demokasi hari ini,” tuturnya.
Sementara itu Dr Novel yang juga penanggap dalam diskusi Adat Minangkabau menyampaikan falsafah Minangkabau “Alam Takambang Jadi Guru”. Di mana alam memberikan memberikan pengalaman kemudian membentuk fikiran dan kesemuanya itu menggunakan bahasa. Fikiran yang tidak sekali saja tumbuh dan paham yang tidak langsung begitu saja didapat.
“obuak samo itam, pangona balain-lain. Kain dipakai usangk adaik dipakai baru,” tuturnya.
Ia juga mengulas tentang konsep bana badiri sandirinyo yang sebelumnya dipaparkan Tan Sri Dato’Seri Utama Dr. Rais bin Yatim yang mana “Tagak samo tinggi, duduk samo randah. Mupakaik basanda ka nan bana, nan bana basanda ka alam. Aka labih tinggi pado tanggo, nan gadang indak malendo”.
Terakhir ia menyimpulkan bahwa petatah petitih merupakan kumpulan teori, terhubung baik dan alam berkata adat dipakai. (*)