Syekh Muhammad Djamil Djaho, Ulama Karismatik Penengah Polemik

Syekh Muhammad Djamil Djaho, Ulama Karismatik Penengah Polemik

Syekh Muhammad Djamil Djaho (Sumber foto: Repro Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) Terbitan Islamic Centre Sumatra Barat)

Langgam.id - Di tengah polemik ulama Kaum Tua dan Kaum Muda Minangkabau di awal abad ke-20, Syekh Muhammad Djamil Djaho tampil jadi penengah dan pemberi solusi. Ulama berkarisma yang ahli adat ini, berwawasan luas dan pembaharu dalam praktek sistem pernikahan dan dunia pendidikan.

Muhammad Djamil lahir di Nagari Jaho, Tanah Datar, tak jauh dari Kota Padang Panjang pada 1875 M. Ayahnya, seorang tokoh agama bernama Tamam gelar Tuanku Kadhi Tambangan Bandaro. Sementara, ibunya bernama Umbuik.

"Sebagai anak seorang tuanku, sedari kecil, ia sudah diasuh dengan pendidikan agama. Ia belajar cukup tekun, otaknya cerdas. Di mana ulama yang terkenal sewaktu mudanya, Syekh Djamil Djaho belajar ke sana," tulis Adi Bermasa, dalam profil Syekh Djamil Djaho di Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981).

Buku "Ensiklopedi Minangkabau" (2010) yang disusun Masoed Abidin dan tim menyebut, pada 1888, dalam usia 13 tahun Syekh Djamil diantar ayahnya ke surau Gunung Rajo di bawah bimbingan Syekh Al-Jufri, seorang ulama yang ahli dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah lima tahun belajar di surau tersebut, ia pindah halaqah ke surau Tanjung Bungo (Padang Ganting) di bawah asuhan Syekh Ayub. "Di tempat ini buat pertama kalinya Syekh Djaho berkenalan dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, yang kemudian menjadi teman akrab beliau," tulis Adi Bermasa.

Bersama Sulaiman muda, Djamil muda kemudian pindah lagi belajar ke Surau Koto Tuo, Biaro. Tahun berikutnya, pindah lagi ke surau Syekh Abdullah di Halaban, Limapuluh Kota, seorang ahli ilmu hadits dan tafsir. Saat di surau Syekh Abdullah, Muhammad Djamil diangkat jadi guru bantu dan sering diajak Syekh Abdullah berdakwah di daerah Payakumbuh.

Di usia 33 tahun, pada 1908, Djamil berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan. Guru-guru di Mekkah, antara lain Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (bermazhab Syafii), Syekh Ali Maliki (bermazhab Maliki) dan Syekh Mukhtar Afany (bermazhab Hambali).

Saat belajar di Mekkah inilah, Muhammad Djamil Djaho bertemu dengan teman-teman se-Tanah Air. Mereka, antara lain, Abdul Karim Amrullah, Sulaiman Ar-Rasuli, Jamil Jambek, Ibrahim Musa Parabek, Abbas Ladang Laweh, Abdul Wahid Tabek Gadang, Khatib Ali Padang, Mohammad Arifin Batuhampar, Mohammad Yunus Sasak Pasaman dan Ahmad Dahlan.

Pada 1918, setelah 10 tahun belajar di Mekkah, Syekh Djamil Djaho pulang ke kampung halaman. Ia kemudian sempat mengajar di Jaho, Surau Ganting Gunung dan Thawalib Padang Panjang. Selain mengajar dan berdakwah lisan, ia juga menulis untuk majalah Al-Mizan yang sudah terbit sejak 1920.

Dalam berdakwah, Syekh Djaho punya kharisma tersendiri. Bahasa yang lemah lembut, ramah dan mudah masuk ke segala kalangan, membuat dakwahnya cepat diterima.

Pada 1924, Syekh Djamil mendirikan madrasah di Jaho. Madrasah ini, empat tahun kemudian (1928) berubah nama menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Murid-murid Syekh Djaho datang bukan dari Ranah Minang saja, tetapi juga dari Aceh, Jambi, Sumatra Utara, Lampung dan Bengkulu.

Dalam perjalanannya dalam pergerakan organisasi Islam, Syeh Djaho sempat bergabung dengan Muhammadiyah. Abdul Baqir Zein dalam Buku "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" (1999) menulis, Syekh Djaho bersama Syekh Muhammad Zein Simabur, Sutan Mangkuto dan Datuk Sati ikut membidani terbentuknya organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 1926.

Namun, menurut Buku Ensiklopedi Minangkabau, saat hadir dalam Muktamar Muhammadiyah di Pekalongan pada 1927, Syekh Djaho tidak setuju dengan peranan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia kemudian mengundurkan diri dari kepengurusan Muhammadiyah.

Pada 1928, bersama Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan sejumlah ulama Kaum Tua, ia ikut mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Silaturahimnya dengan para ulama kaum muda tidak terputus. Ia ikut membidani lahirnya "Ittihadul Ulama" (Persatuan Ulama) yang jadi tempat berhimpun ulama dari berbagai mazhab.

Sementara, pada 1930, jumlah muridnya yang menempuh pendidikan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah mencapai mencapai 1.500 orang. Hal ini, karena Syekh Djaho melakukan banyak pembaruan. Di antaranya, mengganti sistem halaqah ke kelas, menambah materi pelajaran, membuat kurikulum yang lebih teratur serta mendorong kegiatan ekstra kulikuler dan organisasi siswa.

Menurut Abdul Baqir Zein, pengalaman belajar pada banyak guru, membuat Syekh Djaho berwawasan luas. Ini kemudian amat membantunya menjembatani perbedaan pendapat dan polemik antara ulama kaum tua dan kaum muda di Ranah Minang. Perbedaan pendapat terutama soal praktek furu'iyah, namun kemudian menjurus pada konflik yang membahayakan persatuan umat.

Abdul Bagir menulis, bersama-sama dengan Syekh Daud Rasyidi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Djamil Djaho bekerja keras melalui dakwah-dakwahnya, menyadarkan umat akan bahaya berpecah belah. Apa lagi pada saat umat Islam masih dalam penjajahan.

"Untuk menciptakan suasana saling mengerti itu, Syekh Djamil Djaho menyediakan suraunya menjadi tempat silaturahmi antara tokoh kaum tua dan kaum muda. Selain membahas soal-soal keagamaan, juga soal-soal keumatan," tulisnya.

Usaha itu tidak sia-sia. Di surau Syekh Djamil Djaho yang kemudian menjadi Masjid Nurul Falah inilah, para tokoh dari kedua kubu bertemu dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan baik dan damai.

Melalui karyanya "Suluh Bendang", Syekh Djaho juga dinilai mampu menjadi penengah polemik. Bahkan, ia merupakan tempat bertanya kaum adat.

Di dunia kajian Islam, Syekh Djaho juga menulis buku. Ia sangat ahli dalam Ilmu Syariah Nahu. Buku-bukunya, antara lain, Tadzkiratul Qulub, Nujumul Hidayah Firaddi 'Ala Ahlil Ghiwayah dan Sumusul Lamiyah fi Aqidah ad Diyaanah.

Pembaruan lain yang digagas Syekh Djamil Djaho adalah mengubah sistem perkawinan yang selama ini lebih kental pada adat kepada sistem Islam. Ia juga mengatur pemungutan dan pengumpulan zakat, kursus politik di sekolah-sekolah dan menghapus sistem tingkat kepenghuluan.

Beberapa bulan setelah merdeka, Syekh Muhammad Djamil Djaho berpulang ke Rahmatullah di Jaho, Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar. Ia wafat pada 2 November 1945 bertepatan dengan 27 Zulhijjah 1364. Madrasah, murid-murid, berbagai pembaruan dan keluasan ilmunya dalam dakwah yang simpati, menjadi warisan yang terus dikenang hingga kini. (HM)

Baca Juga

Ahli Faraidh yang Kokoh dan Bersemangat Itu Telah Berpulang
Ahli Faraidh yang Kokoh dan Bersemangat Itu Telah Berpulang
Syekh Muhammad Sa'ad Mungka: Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau
Syekh Muhammad Sa'ad Mungka: Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau
Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih