Langgam.id - Warga Nagari Silantai dan Sumpur Kudus, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung diminta bersiap menerima rombongan tamu besar. Sebuah musyawarah besar Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) akan digelar di nagari yang dikurung bukit-bukit terjal di perbatasan timur Sumatra Barat itu.
Menjadi tuan rumah sebuah 'pertemuan nasional', Silantai dan Sumpur Kudus bersiap. Logistik disiapkan, tim dibentuk dan sebuah surau tua disiapkan jadi 'istana' Ketua PDRI.
Tamu yang akan menggelar pertemuan tersebut mulai datang pada 4 Mei 1949. Kedatangan awal rombongan pimpinan PDRI di Sumpur Kudus dan Silantai, tepat terjadi 70 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (4/5/2019).
"4 Mei 1949, rombongan Gubernur Militer Mr. Rasjid dari Kototinggi dan Mr. Mohammad Nasroen tiba di Sumpur Kudus," tulis Sejarawan Universitas Negeri Padang Mestika Zed dalam Buku 'Somewhere ini The Jungle, Pemerintah Darurat Republik Indonesia' (1997).
Hampir bersamaan dengan itu, rombongan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan juga sampai di sana. Pada 5 Mei 1949, menurut Mestika, rombongan Sjafruddin dari Bidar Alam secara lengkap tiba di Calau, Sumpur Kudus.
Rombongan dari arah utara akhirnya bertemu dengan rombongan dari selatan, setelah sama-sama menempuh perjalanan jalan kaki, keluar masuk hutan dan kampung.
Setelah lebih tiga bulan berbasis di Bidar Alam, Solok Selatan, Sjafruddin dan rombongan meninggalkan nagari itu pada 23 April 1949. (Baca: Dari Bidar Alam ke Sumpur Kudus, Hijrah Jalan Kaki Ketua PDRI)
Itu artinya, seluruh rombongan dari Bidar Alam membutuhkan waktu 12 hari baru untuk sampai seluruhnya di Sumpur Kudus.
Perjalanan dari Bidar Alam diawali dengan perahu menuju Sungai Dareh (Dharmasraya). “Setelah sampai di Sungai Dareh, mereka kemudian meneruskan perjalanan melalui jalan setapak lewat Kiliran Jao, Sungai Bitung, Padang Tarok, Tapus, Durian Gadang, Manganti, hingga akhirnya tiba di Calau, Silantai, Sumpur Kudus.
Berkumpulnya para pimpinan PDRI di Sumpur Kudus untuk menggelar musyawarah besar. Inilah pertama kali mereka bertemu, setelah sebelumnya terpisah di beberapa basis sejak 22 Desember 1949.
Tak gampang untuk mengakses kedua nagari. Hal itu menandakan lokasi ini lebih aman dari Belanda yang memburu-buru para pimpinan PDRI.
Musyawarah besar itu digelar untuk menanggapi inisiatif perundingan PBB melalui United Nastions Commisions for Indonesia (UNCI) yang melibatkan Pemerintah Belanda dan para pimpinan Republik yang ditawan di Pulau Bangka, tanpa melibatkan PDRI. Padahal, PDRI yang saat itu dipercaya menjadi penanggung jawab pemerintahan, saat para pimpinannya ditawan.
Sebagai tuan rumah musyawarah besar, Nagari Sumpur Kudus dan Silantai, Kecamatan Sumpur Kudus harus menyediakan penginapan, logistik, tempat pertemuan, sekaligus membantu pengamanan.
Layaknya zaman darurat, tentu tak ada hotel dan fasilitas terbaik untuk tempat menginap. Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara misalnya, diinapkan di Surau Tabing, Silantai.
Karena jadi tempat menginap pimpinan tertinggi negara, surau panggung yang sudah tua itu dijuluki sebagai 'istana'. Surau itu masih berdiri, saat wartawan Langgam.id mengunjungi Silantai pada November 2012. Di dinding surau kayu tertulis, 'Surau Tabing Istana Ketua PDRI'
"Di surau tersebut, Pak Sjafruddin menginap selama di sini. Ke sana pula, kami antarkan makan untuk beliau," kata Intan Sari Datuak Magek Karajan, saksi sejarah yang diwawancarai pada 28 November 2012.
Selain Surau Tabing, puluhan rumah warga dan bangunan lain disediakan untuk tempat menginap para menteri, tentara dan rombongan PDRI. Sementara, Rumah Wali Perang Silantai menjadi tempat rapat besar digelar.
Datuak Magek Karajan menjadi penanggung jawab perbekalan untuk rapat besar PDRI di Silantai. Selain mengurus penginapan, ia juga menjadi penanggung jawab konsumsi.
“Kami diperintahkan mencukupi kebutuhan logistik para tokoh. Ketika rapat berlangsung, kami mendirikan dapur umum dengan bahan sumbangan masyarakat,” ujar Datuak Magek, yang berumur 87 tahun saat diwawancarai.
Datuak Magek Karajan menunjuk Nursani menjadi ketua dapur umum. Ia dibantu Jamariah, Jamilan, Roslana, Jawadir, dan Martini. Tim ini yang menyediakan makan untuk Ketua PDRI, para menteri dan juga TNI dan semua tim rakyat “Makanan kesukaan Pak Syaf adalah gulai ikan,” kenangnya.
Untuk logistik warga memanfaatkan apa yang ada di kampung. Mereka yang diberi kepercayaan bagian logistik, setiap hari bekerja di bagian dapur umum. Mereka juga bekerja mencari bahan mentah, untuk kemudian dimasak.
Rombongan PDRI yang begitu besar, apalagi disertai tentara, tentu tidak cukup mengandalkan dapur umum. Oleh karena itu, warga juga diimbau menyediakan nasi bungkus pada jam-jam makan. Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) berkeliling kampung memungut nasi bungkus yang dibebankan kepada masing-masing rumah tersebut. Terkadang, pengambilan nasi bungkus langsung dilakukan oleh tentara.
Di samping itu, sebagian warga yang terniat berzakat dengan memberi bantuan hewan ternak seperti kambing. Dan juga membantu beras sehabis panen padi.
Bantuan besar rakyat Silantai, Sumpur Kudus dan sekitarnya, sama dengan berbagai nagari yang menjadi basis PDRI, seperti Bidar Alam dan Koto Tinggi. Saat ketika negara disubsidi oleh rakyatnya.
Karena dukungan rakyat itu, musyawarah besar PDRI di Silantai berlangsung lancar dan aman pada 14-17 Mei 1949. Pertemuan yang menyikapi perjanjian Roem-Roijen itu menjadi salah satu tonggak perjalanan PDRI membawa pemerintahan negara di masa darurat. Dan, surau tua 'Tabing' menjadi salah satu saksinya. (Osh/HM)