Surat Elektronik Sobron Aidit #2

Pada 2000an, surat elektronik menjadi media bagi saya untuk tetap terkoneksi dengan dunia di luar sana.  Sembari menikmati puisi-piusi dari milis Sastra Pembebasan, saya baku balas email dengan Sobron Aidit.

Sobron tak menampik ketika saya mengatakan; kalau demikian membaca sangat penting.  Mungkin dia tersenyum saat membalas email saya untuk kesekian kalinya.  Mungkin pula dia membayangkan seorang anak muda – di saat itu – yang penuh semangat dan berapi-api.

Pertanyaan saya, dengan situasi banjir informasi serta kemajuan teknologi hari ini; Anak muda mana yang masih gemar membaca? Anak muda mana yang masih ingin mengasah keterampilan berlogika?

Sebentar lagi, buku-buku mungkin akan menjadi barang antik.  Semuanya akan diganti dengan video pendek di YouTube, Instagram dan TikTok, atau pesan-pesan sarkas yang beredar di platform X.  Anak muda – tak menutup kemungkinan juga orang tua – sungguh gampang tertipu oleh informasi yang belum tentu kebenarannya.  Apa lagi beberapa platform di internet saat ini sudah menyediakan beragam fitur membuat video dengan mudah.

Bahkan, Artificial Intelligent  akan menggantikan tugas-tugas yang selama ini dikerjakan manusia.  Kita tentu tak bisa membohongi diri akan situasi ini. Situasi dimana teknologi telah menguasai sebagian besar kehidupan manusia.

“Dunia ini terus berkembang,” kata Sobron – semoga saya tidak salah kutip.

Saya mengangguk tanda setuju.  Anggukan yang tak pernah sekalipun disaksikan Sobron.  Sebuah isyarat yang lantas saya sendiri mempertanyakannya; mengapa saya setuju?

Seturut itu, saya kembali pada teks MADILOG.  “Tiada barang yang tinggal tetap. Segala sesuatu berubah, bergerak, berkembang,” tulis Tan Malaka.

Saya membayangkan sebuah meja kerja, lengkap dengan pajangan foto dan seperangkat laptop di atasnya.  Lha, itu tetap, kata saya dalam hati.  Tapi mengapa Tan Malaka mengatakan demikian?

Melanjutkan mambaca MADILOG betul-betul menguras pikiran.  Saya harus mencerna kalimat demi kalimat.  Belakangan saya sadar, bagaimana kita akan terliterasi dengan baik jika maksud kalimat saja sulit dipahami.  Saya beruntung karena Sobron membantu.  Pada akhirnya saya mahfum bahwa meja dan segala perangkatnya itu bukanlah sesuatu yang statis, dia bergerak mengikut pusingan bumi, seturut dengan berkembangnya alam semesta.

Tentu saja ini sejalan dengan perkembangan teknologi.  Misalnya; Saya yang dibesarkan dengan tivi hitam putih, turut pula merasakan tivi dengan penutup layar bewarna pelangi, sebelum akhirnya ada teknologi tivi bewarna, hingga plasma.

Demikian pula mula saya mengenal internet.  Seorang sahabat yang kuliah di Amerika membantu saya membuatkan akun email di platform usa.net kala itu.  Perkembangan teknologi akhirnya mempertemukan saya dengan hotmail.com, yahoo.com dan gmail.com. Lewat email, saya belajar berkenalan daring dengan orang-orang yang entah berasal dari dunia bagian mana.  Kala itu, platform friendster sangat popular sebelum diruntuhkan oleh dominasi facebook.

Generasi saya yang terpojok dalam sutuasi kurang fasilitas ini, telah berjibaku menyesuaikan diri dengan perubahan.  Internet kemudian merajai dunia, tak ada yang dapat menolak perkembangan ini.  Tapi banyak pula orang terpuruk dalam racun internet yang membuat situasi bertambah rumit, karena sebagian mereka terjerat pada kecanduan akut.

Tak sedikit anak muda – bahkan juga para orangtua – hari ini keranjingan judi online (judol).  Mereka sulit terbebas dari jerat spekulasi dan berharap akan menang.  Kendati teori-teori psikologi telah buncah di mana-mana, mengajarkan bagaimana judol membelenggu pikiran manusia, tetap saja mereka tak mampu lepas dari jerat judol.

Dalam konteks inilah, Tan Malaka sudah mengajarkan dialektika; sebuah proses pergerakan dan perubahan yang berkembang lewat kontradiksi.  Teori ini mulai dari tesis yang merangkak menuju puncak parabola yang disebut antitesis, lalu turun menjadi sintesis.  Lantas, sintesis menjadi tesis baru dan begitulah seterusnya.  Itulah ilmu pengetahuan, dia berkembang seturut zaman.

“Alam dan masyarakat selalu bergerak, berubah, berkembang — tiada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri,” tulis Tan Malaka.  Ini mengingatkan saya pada kaos oblong warna putih favorit saya, bertuliskan penggalan kalimat terakhir itu.

Dialektika menurut Tan Malaka, mengajarkan bahwa dunia tidak statis, tetapi selalu bergerak.  Demikian pula halnya dengan ilmu pengetahuan. “Ilmu adalah milik semua, bukan monopoli elit,” katanya.

Ketika saya merefleksikan kata-kata itu, saya lantas teringat pada situasi dunia hari ini.  Ilmu pengetahuan – karena dikuasai elit – tidak lagi menjadi standar umum.  Penguasaan ilmu oleh segelintir orang bahkan mampu mengaburkan fakta sejarah.

Pendidikan menjadi krusial dalam konteks ini.  Namun apa lacur, pendidikan harus tersungkur pada pemikiran ‘gaya bank’, meminjam istilah Paulo Freire.  Menurutnya, Pendidikan gaya bank menganggap murid adalah cawan kosong, tidak tahu apa-apa, kasarnya: goblok.  Sementara guru adalah otoritas pengetahuan.  Gaya ini menghambat kreativitas, kata Freire.

Dalam kasus inilah, pemikiran Tan Malaka menjadi penting.  Menurutnya, bangsa yang mau hidup, mesti berani berpikir.  Lantas, bagaimana mau berpikir kalau otoritas pengetahuan dikuasai oleh elit? Bagaimana mau berpikir kalau rakyat masih lapar? Kalau angka pengangguran masih tinggi?

“Rakyat yang lapar, yang bodoh, tidak bisa dibebaskan (hanya) dengan doa. Ia harus dibebaskan dengan pengetahuan, dengan alat produksi, dengan perjuangan,” tulis Tan Malaka.

Bagaimana pula mau berpengetahuan, kalau internet digunakan untuk judol? Atau hanya untuk berkomentar terhadap berita-berita viral? Lebih cepat jempol daripada otak, atau bahkan untuk memuaskan syahwat sesaat? Bagaimana itu?  

Bagaimana mau berdialektika jika tagar kaburajadulu ditanggapi dengan sangkalan ‘tak nasionalis’? Bagaimana mau membangun bangsa kalau kebohongan pejabat publik yang nyata-nyata dipertontonkan di ruang publik? Bagaimana itu?

Tan Malaka menjelaskan, MADILOG adalah alat berpikir, jalan untuk rakyat Indonesia menyingkirkan kabut mistik dan takhayul.  Dia juga jalan untuk terus berdialektika dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saya membayangkan Sobron duduk bersama tamu-tamu yang datang ke Restoran Indonesia di Paris.  Dia bercakap-cakap dengan tetamu yang datang, sekaligus menyiapkan menu-menu bergizi dan enak.  Para tamu mungkin tak lagi membicarakan abangnya Sobron yang mati ditembak di Jawa Tengah usai tragedi tahun ’65 itu.  Tapi mereka bercerita tentang kerinduan pada tanah air, Indonesia.  “Mana enak berpolitik sambil makan,” katanya seperti dikutip dari Tempo, Maret 2000.

Namun demikian, saya masih saja membolak-balik halaman demi halaman MADILOG.  Bagaimana mungkin ini menjadi buku terlarang di era Orde Baru? Tak ada yang perlu ditakutkan. Anda kurang literasi, itu derita anda, dan jangan dominasi pikiran saya.  Itulah!

Baca Juga

Surat Elektronik Sobron Aidit #1
Surat Elektronik Sobron Aidit #1
Komunitas Masyarakat Peduli Pengetahuan Deklarasikan Tolak Penyitaan Buku
Komunitas Masyarakat Peduli Pengetahuan Deklarasikan Tolak Penyitaan Buku
Enam Buku yang Dianggap Berbau Komunisme Disita
Enam Buku yang Dianggap Berbau Komunisme Disita
Sensor dengan Dalih Moderasi: Ketika Negara Takut dengan Warganya Sendiri
Sensor dengan Dalih Moderasi: Ketika Negara Takut dengan Warganya Sendiri
Manifesto Kebangsaan untuk Indonesia Bangkit dari Kerapuhan
Manifesto Kebangsaan untuk Indonesia Bangkit dari Kerapuhan
Dinamika Polar Kepemimpinan dan Politik Indonesia Kini
Dinamika Polar Kepemimpinan dan Politik Indonesia Kini