KOTA-KOTA di Sumbar kembali menempati posisi rendah dalam Indeks Kota Toleran (IKT) versi SETARA Insitute yang dirilis April 2023 lalu. Organisasi ini, sejak 2015 rutin menggelar indeks toleransi beragama pada semua kota di tanah air. Pada laporan terbaru tahun 2022 itu, SETARA menempatkan semua kota di Sumbar pada posisi di bawah garis tengah. Dari 94 kota yang diukur, disusun 9 kelompok rangking. Solok berada pada kelompok rangking 6, Padang Panjang dan Sawahlunto kelompok rangking 7, Bukittinggi dan Payakumbuh kelompok rangking 8, bahkan dua kota lainnya berada di kelompok terakhir atau sepuluh besar terendah, yakni Pariaman dan Padang. Ibu Kota Sumbar ini berada di posisi ketiga dari bawah.
Membaca Hasil Indeks
Terlepas dari pro-kontra, hasil survei perangkingan tersebut bisa dilihat dari sejumlah atribut dan variabel yang digunakan oleh SETARA. Indikator utamanya diadopsi dari kerangka teoretis Grim dan Finke tentang kebebasan beragama dan derajat toleransi sebuah negara. Yakni, favoritisme atau pengistimewaan pemerintah terhadap kelompok agama tertentu, peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama, dan regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama. Ini lebih lanjut dikembangkan menjadi delapan indikator meliputi; (1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah /RPJMD (2) kebijakan diskriminatif, (3) peristiwa intoleransi, (4) dinamika masyarakat sipil, (5) pernyataan publik pemerintah kota, (6) tindakan nyata pemerintah kota, (7) heterogenitas agama, dan (8) inklusi sosial keagamaan.
Kedelapan aspek itulah dijadikan alat ukur dengan skema skoring skala hipotesis positif rentang nilai 1-7 yang menggambarkan gradasi dari kualitas rendah ke tinggi. Seperti disebutkan di atas, akumulasi nilai menempatkan kota-kota di Sumbar pada posisi yang belum menggembirakan, tepatnya berada di bawah angka rata-rata. Meski demikian, dibutuhkan pemahaman cerdas dalam membaca hasil indeks, agar tidak terburu-buru memberi label negatif maupun stereotype yang bisa menyesatkan. Karena itu ada sejumlah catatan penting yang perlu dipahami dalam membaca riset, yakni antara lain:
Pertama, indeks maupun riset secara umum didasarkan pada sejumlah indikator yang diturunkan dari landasan teoretis tertentu. Lantaran itu, hasil riset sebuah lembaga tidak bisa serta merta menjadi argumentasi tunggal untuk melakukan judgment. Karena, dengan kerangka teori dan indikator berbeda serta oleh lembaga lain, maka hasilnya pun sangat potensial akan berbeda pula. Apalagi dalam konteks fenomena sosial seperti isu toleransi beragama, terdapat beragam landasan teoretis konseptual yang bisa dirujuk. Tentu saja, indikator yang dijadikan alat ukur tidak saja beririsan pada aspek persamaan, tetapi juga memiliki kecenderungan perbedaan yang terkadang cukup signifikan.
Kedua, seperangkat instrumen riset yang digunakan secara general pada populasi dengan karakteristik yang heterogen, seringkali sulit menghasilkan temuan yang benar-benar valid sesuai fakta yang terjadi pada seluruh populasi. Terlebih pengukuran dalam konteks religiusitas atau keyakinan seperti toleransi beragama, populasi dengan latar belakang agama dan kepercayaan berbeda, sangat potensial memiliki cara pandang, world view, perspektif, ataupun paradigma berbeda pula. Selain itu, juga seringkali instrumen tidak bisa benar-benar mewakili atau mampu mengungkap secara persis apa yang ada pada alam pikiran apalagi keyakinan responden. Kuantifikasi entitas kualitatif, yakni mengangkakan data non angka, juga menjadi persoalan tersendiri dalam riset. Karena itu pula maka keterbatasan kemampuan instrumen masih tetap ada, meski sudah melewati uji validitas, reliabilitas, dan indeks kesukaran serta daya beda melalui uji coba instrumen.
Ketiga, dalam survei seperti halnya indexing, pemeringkatan ditetapkan berdasar akumulasi skoring keseluruhan indikator. Padahal, terdapat sejumlah item indikator yang masing-masing memiliki nilai bahkan bobot yang berbeda. Karena itu, membaca indeks seyogyanya tidak terfokus pada hasil akhir semata dan apalagi mengabaikan pencermatan terhadap nilai parsial masing-masing item indikator. Ini sangat penting karena selain untuk mengetahui aspek apa saja yang sangat signifikan mempengaruhi tinggi rendahnya hasil indeks, juga akan bisa memahami rasionalitasnya. Dalam Indeks Kota Toleran versi SETARA di atas misalnya, heterogenitas agama menjadi salah satu indikator. Meski bobotnya rendah (5%) tetapi harus dipahami bahwa komposisi penduduk berdasar agama ini tentu merupakan fakta empiris sebagai realitas sosial yang sulit diubah.
Menyikapi Hasil Indeks
Dengan membaca hasil indeks secara benar, idealnya pihak-pihak berkepentingan akan bisa memahami rasionalitas dan argumentasi mengapa skor dan peringkat seperti demikian bisa terjadi. Karena itu sebaiknya hasil riset direspon secara wajar, sambil mencermati dan memanfaatkannya sebagai “salah satu” alat analisis untuk mengevaluasi aspek-aspek tertentu dalam rangka perbaikan ke depan. Seperti tergambar di atas, laporan indeks SETARA dilengkapi penjelasan rinci sejak deskripsi tentang IKT, definsi operasional, kerangka metodologis, hingga hasil dan temuan. Dengan demikian secara mudah bisa ditelusuri indikator apa yang harus dan bisa ditingkatkan, berikut langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan. Begitu pula aspek-aspek yang disikapi lebih sebagai realitas dibanding problem, karena aspek tersebut menjadi fakta sosio-kultural, meski secara skoring tetap dinilai rendah, seperti homogenitas pemeluk agama tertentu di sejumlah kota seperti disebutkan di atas. Untuk hal seperti ini diperlukan aksi-aksi positif atau best practice toleransi yang lebih banyak untuk menunjukkan bahwa meskipun populasi homogen tetapi tetap toleran terhadap umat lain yang jumlahnya terbilang sedikit. Perlu diketahui, bahwa di tingkat kota maupun kabupaten secara umum sudah heterogen dari sisi agama, meskipun sebagian persentasenya kecil.
‘Ala kulli hal, nilai ilmiah hasil survei patut diapresiasi secara objektif dengan tetap memahami keterbatasannya. Sebuah riset dengan kerangka metodologis yang ketat dan dilakukan bertanggungjawab, tentu nilainya berbeda dengan opini pribadi yang bersifat subjektif. Karena itu, idelanya produk ilmiah mesti dijawab dengan produk ilmiah pula. Paling tidak, dengan adanya riset berbeda tentang isu yang sama, maka akan diperoleh data ilmiah pembanding, sehingga bisa menjadi argumen lain untuk melihat fenomena tersebut dari perpsektif yang berbeda. Inilah barangkali yang justru perlu dan mendesak untuk dilakukan. (*)
Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang