Desember 2021, Indonesia memulai presidensi G-20. Sebuah grup negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Kelompok ini terdiri dari 19 negara dan satu organisasi Uni Eropa. Hampir 90% PDB dunia berasal dari kelompok ini. Pun 80% perdagangan dunia dilakukan oleh negara-negara yang berada di kelompok ini. Dua pertiga penduduk dunia terhimpun dalam kelompok ini. Sebuah kelompok yang penting. Tentunya sebuah kebanggaan juga Indonesia menjadi ketua untuk setahun ke depan.
Banyak manfaat yang bisa didapat Indonesia selama menjadi Presidensi G-20 ini. Pada level atas, kita bisa mengarahkan kebijakan global selaras dengan kepentingan nasional kita. Sementara di level teknis, kita akan menjadi tuan rumah untuk banyak konferensi G-20 yang nanti puncaknya di Bali pada November 2022.
Sebanyak 150 konferensi dan pertemuan G-20 diagendakan selama tahun 2022 di Indonesia. Rangkaian perhelatan tersebut akan digelar di 19 kota. Tidak kurang 18.000 lebih delegasi dari setidaknya 20 negara ekonomi terbesar di dunia yang akan hadir.
Apa manfaat ekonominya? Belasan ribu anggota delegasi tersebut akan membelanjakan uangnya di Indonesia. Tak kurang produk jasa Indonesia hotel, restoran, cendramata, jasa penerjemah, dan produk ekonomi kreatif, serta usaha mikro akan bergerak seiring kebutuhan semua delegasi. Efek ekonomi yang menggerakkan pendapatan atau pitih masuk.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam peresmian dimulainya Presidensi Indonesia di G-20, di Taman Lapangan Banteng, Jakarta Pusat pada Rabu (1/12/2021) menyebutkan, “Akan tercipta 33 ribu lapangan kerja, peningkatan konsumsi Rp 1,7 triliun, dan PDB Rp 7,4 triliun, serta manfaat total dua kali lebih besar daripada gelaran IMF dan World Bank di tahun 2019 yang lalu."
Presiden Jokowi mengundang para delegasi dari negara ekonomi terkuat di dunia ini untuk turut menggerakan ekonomi nasional dan daerah yang melambat sejak awal pandemi. Secara langsung dia mengajak para delegasi untuk datang ke Indonesia, melihat keindahan alam Indonesia, menyaksikan keunikan, keragaman budaya Indonesia, dan merasakan keramahtamahan masyarakat Indonesia. Lebih lanjut Presiden mengatakan, “Kami akan menyambut Bapak, Ibu, semua dengan penuh kegembiraan dan tangan terbuka.” Hal ini disampaikan saat berpidato pada pembukaan Presidensi G-20 Indonesia. sebagaimana ditayangkan pada YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (01/12/2021).
Lepas Peluang, Hilanglah Laba
Momentum peran Indonesia sebagai Presidensi G-20 kali ini merupakan peluang besar yang bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mempromosikan negara kita. Baik itu promosi pariwisata atau promosi investasi. Karena perhatian dunia, sedikit sebanyak akan tertuju ke Indonesia tahun depan. Setidaknya dalam jangka pendek diharapkan uang berputar di Indonesia nantinya akan meningkat seiring dengan kedatangan para peserta konferensi-konferensi G-20.
Sebagai orang Sijunjung yang kebetulan tinggal di Jakarta, sempat terpikir apakah bisa kampung saya mengambil bagian di perhelatan ini. Atau dibawa ke level yang lebih tinggi yakni provinsi. Sumatra Barat menjadi salah satu tuan rumah penyelenggara rangkaian konferensi dan pertemuan ini.
Memenuhi rasa penasaran, saya sempatkan memeriksa kalender Keketuaan Indonesia di G-20, mencari tahu kota-kota apa saja yang jadi tuan rumah dalam kegiatan-kegiatan G-20 tahun depan. Sayangnya tidak ditemukan satu pun daerah di Sumbar tercantum dalam kalender kegiatan tersebut. Jangankan Sijunjung, bahkan Kota Padang atau Bukittinggi sekalipun tak tertera di dalamnya. Mudah-mudahan karena belum masuk saja. Walaupun untuk ini saya agak pesimis. Sepertinya hal seperti ini tidak jadi prioritas pemimpin-pemimpin daerah di Sumbar. Mereka sama sekali tidak melihat agenda Keketuaan G-20 ini sebagai peluang besar mengakselerasi kemajuan daerah yang sudah hampir dua tahun terimbas pandemi Covid-19.
Seandainya semua pihak mau jujur, Sumbar sudah terjebak dalam dua kelumpuhan yang saling berimpitan. Pertama, lumpuh mengejar pembangunan infrastruktur. Kedua, lumpuh mental berbisnis jasa layanan. Mari bandingkan dengan daerah lain seperti Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang laju pembangunannya sangat pesat. Kepala daerah di NTT dan NTB fokus memaksimalkan potensi daerahnya, terutama di sektor pariwisata dan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition). Lihat saja bagaimana NTB berhasil mendapatkan Sirkuit Mandalika yang potensi ekonominya diperkirakan mencapai angka Rp20 triliun pertahun dari ajang MotoGP. Sedangkan NTT terlihat sangat serius menyelesaikan Geopark Komodo dengan potensi ekonomi yang tak kalah besarnya.
Sumbar sebenarnya juga memiliki potensi serupa di sektor pariwisata dan MICE ini. Bukittinggi dan Padang memiliki hotel yang cukup representatif untuk menampung delegasi konferensi pendukung. Mungkin kita memang belum bisa menjadi tuan rumah untuk Konferensi Tingkat Tinggi. Tapi untuk level menteri dan pejabat senior, kita bisa. Hanya saja kelumpuhan Infrastruktur, mulai dari penyediaan balai konfrensi (confrence centre), Rumah Sakit Internasional, hingga akses transportasi tidak pernah digarap secara serius. Belum lagi kalau bicara keterjangkauan antar-daerah. Saat ini dari Bandara Minangkabau menuju tujuan wisata Bukittinggi perlu ditempuh paling beruntung dalam 3 jam. Proyek nasional Tol Sumbar-Riau yang diharapkan mampu mengatasi kendala keterjangkauan ini malah dibiarkan berlarut-larut tanpa terobosan berarti dari pemerintah daerah.
Selain infrastruktur, perbaikan mental berbisnis jasa pariwisata harus terus dilakukan terus menerus. Dari perbincangan penulis dengan pelaku pariwisata di Sumbar, sebenarnya perbaikan ini telah terjadi. Pelaku pariwisata sudah mulai menerapkan apa yang disebut CHSE. Faktor CHSE yang terdiri dari Cleanliness (kebersihan), Health (Kesehatan) Safety (Keamanan) dan Environment Sustainability (kelestarian lingkungan) menjadi prasyarat yang harus dipenuhi sebelum mencapai dari tujuan utama yang telah disebutkan sebelumnya.
Walaupun telah ada perbaikan, tapi kita masih jauh dari kata sempurna. Tak seperti di Bali, wisatawan yang berlibur ke sana bisa datang berulang kali karena memiliki pengalaman yang mengesankan. Sumbar pun hendaknya begitu. Jangan sampai wisatawan cukup datang sekali saja, dan tak ingin lagi kembali karena ada banyak ketidaknyamanan yang dijumpai. Beberapa contohnya, walaupun sudah berkurang, tapi masih saja kita dapat cerita tentang tukang pakuak di lokasi-lokasi wisata, disasak mambali dagangan, sampai diintai urang bagak.
Sejak beberapa tahun lalu pemerintah pusat mulai fokus mengembangkan tujuan wisata baru. Ada 10 tujuan wisata yang akan dilimpahkan dana pembangunan pusat untuk didorong menjadi setara Bali. Danau Toba di Sumut, Pantai Tanjung Kelayang di Pulau Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur, Bromo Tengger, Mandalika di NTB, Labuan Bajo di NTT, Wakatobi di Sulawesi Utara, dan Morotai di Maluku Utara. Tidak ada satupun dari Sumbar. Puluhan triliun dana proyek strategis nasional yang harusnya jadi peluang bagi Sumbar untuk meningkatkan aset daerah justru dinikmati daerah-daerah lain. Kenyataaan ini harusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk segera berbenah.
Di saat daerah-daerah lain akan mendapatkan keuntungan karena menjadi salah satu tempat perhelatan G-20. Sumbar gagal memanfaatkan peluang tersebut. Paradigma pemerintah daerah belum menambah potensi, meningkatkan aset daerah dan pelayanan serta mendorong iklim usaha yang mendatangkan investasi untuk membuka lapangan pekerjaan. Bahkan kemunduran berpikir pernah dipertontonkan seorang mantan kepala daerah dengan “mengagungkan” sektor informal sebagai penyerap tenaga kerja. Padahal daerah lain berpikir dan bertindak bagaimana angkatan kerjanya terserap di sektor formal. Karena hal itu pasti akan mendorong efek ekonomi yang pada gilirannya akan mendorong pendapatan daerah dan kemandirian daerah.
Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan para kepala daerah akan mengelola Sumbar dengan cara medioker atau ala kadarnya. Mereka memimpin daerahnya hanya sekadar “palapeh tanyo” belaka. Minim inovasi dan inisiatif dan pada akhirnya cuma menanti transfer daerah tiap tahun yang sebagiannya dipakai untuk membayar gaji pegawai. Sementara Pendapatan Asli Daerah pun lebih banyak bergantung dari pajak kendaraan bermotor.
Kalau tak segera berubah, ini hanya persoalan waktu saja, Sumbar semakin jauh tertinggal, tak cuma dari tetangganya Riau, Jambi, atau Sumatera Selatan, bahkan Bengkulu dan Bangka Belitung yang mulai menggeliat ibarat raksasa bangkit dari tidurnya. Ibaratnya, ketika orang berlari, kita hanya bisa berjalan sementara kijang sudah lari ke rimba. (**)
Yoss Fitrayadi adalah Praktisi Marketing Digital, Aktif di Jilatang Insitute