Langgam.id - Penolakan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terus disuarakan. Kali ini, Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat (Paga) Fakultas Hukum Universitas Andalas angkat bicara, khusus menyoalkannya dalam aspek lingkungan.
Isu itu dibahas dalam Focus Group Discussian (FGD) yang diselenggarakan Paga Fakultas Hukum Unand, Rabu (4/3/2020). Tema yang diangkat adalah "Tantangan Omnibus Law Terhadap Lingkungan".
Direktur Paga Fakultas Hukum Unand Kurnia Warman menilai RUU Omnibus Law cenderung mengabaikan serta menganggap remeh masalah izin lingkungan. Jika RUU yang kemudian dijadikan undang-undang itu dipakai, sangat berisiko akan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
"Karena kelihatan RUU itu seperti mengaggap UU lingkungan hidup sebagai penghambat investasi," ujar Kurnia dihubungi langgam.id, Rabu (4/3/2020).
Menurutnya, apabila undang-undang itu diterapkan dengan merevisi undang-undang lingkungan hidup yang berlaku saat ini diperkirakan laju penurunan kualitas lingkungan semakin tinggi. Begitupun kebakaran hutan semakin rawan.
"Ancaman-ancaman bagi lingkungan semakin tinggi resikonya dalam RUU Omnibus Law yang diterapkan. Tapi ini masih lama. Kesimpulan bahwa RUU Omnibus Law menganggap bahwa lapangan kerja hanya bisa diciptakan oleh investasi-investasi fisik yang bersifat modal," katanya.
"Orang yang berusaha di sektor jasa lingkungan, orang yang hidup dari lingkungan baik dan bersih itu tidak dianggap penting oleh RUU itu. Jadi dianggap tidak berkontribusi di jasa lingkungan," sambungnya.
PAgA Fakultas Hukum Unand merekomendasikan khusus dari aspek lingkungan, seharusnya mengembalika ketentuan perizinan lingkungan kepada UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jangan menganggap remeh izin lingkungan dalam pelaksanaan usaha yang ada investasi.
"Kerusakan lingkungan, kerugiannya lebih besar dibandingkan dengan investasi sesaat," tegasnya.
Kurnia meminta kepada anggota DPR RI yang sedang membahas persoalan ini, harus berhati-hati. Terkhusus dalam membaca pasal-pasal terkait dengan persyaratan lingkungan dalam pelaksanaan usaha.
"Jadi kerusakan-kerusakan itu sudah semua sektor. Kalau kerusakan diabaikan dalam pelaksanaan usaha demi investasi, itu justru kerugian jangka panjang jauh lebih besar dengan hanya mendatangkan investasi sesaat secara instan," tuturnya.
Ia menyarankan seharusnya anggota dewan khusus di aspek lingkungan harus ada semacam dengar pendapat dengan para ahli lingkungan. Karena banyak aspek keilmuan yang disinggung dalam RUU tersebut.
"Agar paham, karena banyak aspek keilmuan yang disinggung dalam RUU itu. Tidak mungkin orang ahli semua bidang, khusus bidang lingkungan ini," ujarnya.
"Saya menyarankan anggota DPR membahas itu untuk membuka ruang konsultasi publik dalam pembahasan dalam bentuk seperti dengar pendapat atau apalah dengan para ahli hukum lingkungan dan ilmu lingkungan agar tidak ada penyesalan," sambung Kurnia.
PAgA Fakultas Hukum Unand menilai RUU Omnibus Law muncul secara tiba-tiba. Siapa membuat dan bertanggungjawab, tidak ada identitas, begitupun naskah akademiknya.
"Kementeriannya apa? Yang kita tahu diantar DPR oleh Menteri Ketenagakerjaan, kan. Tapi siapa yang membuat? Siapa ahlinya? Di mana kampusnya? Apa bidang keahliannya? Itu betul-betul yang tidak kami ketahui di kampus," tegasnya.
Kurnia mengungkapkan sangat butuh banyak bidang keahlian dalam RUU Omnibus Law. Karena terdapat 76 undang-undang yang berbeda dengan keahlian tidak sama.
"Tidak mungkin satu dan dua orang, karena ada 76 undang-undang yang diubahnya dan setiap undang-undang beda-beda keahlian. Tidak transparan penyusunannya. Belum ada ahli yang bertanggungjawab muncul dalam menyusun naskah akademik. Kalau ada kita bisa diskusi," tuturnya. (Irwanda/ICA)