Langgam.id - Tingkat Inflasi di Sumatra Barat masih mencatatkan angka yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatra Barat per Desember 2022, Inflasi di Sumbar berada diangka 7,43 persen. Hal ini lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi nasional yang hanya 5,5 persen. Ekonom Universitas Andalas, Endrizal Ridwan mengatakan hal ini sudah diprediksi sebelumnya.
"Ini adalah dampak dari base year juga. Base year ini artinya indeks harga konsumen kita dulu di awal tahun, itu rendah. Termasuk yang terendah di Indonesia," kata Endrizal saat dihubungi Langgam.id via telpon, Rabu (03/01/2023).
Hal ini, lanjutnya, menyebabkan lonjakan di akhir tahun. Di awal tahun karena Covid-19, pemerintah dan Bank Indonesia memberikan stimulus kepada masyarakat.
"Waktu itu pemerintah memberikan stimulus sangat besar agar ekonomi bergerak. Bank sentral menggelontorkan dana yang sangat besar supaya ekonomi tidak stagnan pada waktu covid," ujarnya.
Sekarang setelah covid berakhir, aktivitas ekonomi sudah mulai normal. Tentu kata pengajar di Fakultas Ekonomi Unand itu, uang yang dulu sudah banyak digelontorkan sekarang dibelanjakan. Masyarakat mulai berbelanja. Hal ini menyebabkan inflasi tinggi, bahkan di level nasional.
Bank sentral juga menggelontorkan dana yang sangat besar supaya ekonomi tidak stagnan pada waktu covid. Tetapi saat ini, untuk mengurangi jumlah uang beredar, BI sudah melakukan peningkatan suku bunga berkali-kali.
"Ini gunanya untuk menyedot kembali uang yang dulu sudah diedarkan ke masyarakat, sekarang di sedot lagi agar belanjanya itu dikurangi. Kalau diteruskan belanja, itu Inflasi bisa tidak terkendali," tutur Endrizal.
Tapi diluar itu ia menilai tingginya inflasi Sumbar dibandingkan daerah lain, juga terjadi karena disparitas (perbedaan antar wilayah) juga. Di Sumbar disparitas ini dilihat Endrizal belum merata antar wilayah dan Kab/Kota. "Misal antara Bukittinggi dan daerah lain itu kan beda-beda," ucapnya.
Ada daerah di Sumbar yang sangat tersambung konektivitasnya dengan daerah lain. Ada daerah yang terisolir atau kurang bagus infrastrukturnya. Seperti jalan dan fasilitas pendukung lainnya yang menyebabkan meningkatnya beban logistik.
"Di daerah-daerah ini ketika lonjakan permintaan terjadi, itu tidak bisa cepat terpenuhi oleh supply comodity," kata lulusan Doktoral dari Amerika Serikat tersebut.
Karena inilah lonjakan harga di Kab/Kota yang lain menjadi lebih tinggi, dibanding daerah lainnya. "Ini yang menyebabkan disparitas tinggi," ucap Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unand itu.
Menurutnya, dengan tingginya Inflasi di Sumbar merugikan orang yang berpendapatan tetap. Seperti pegawai yang gaji atau penghasilannya tetap. Tetapi inflasi ini menguntungkan bagi produsen.
"Seperti petani-petani atau siapa pun yang berada di sektor produksi, dengan tingginya harga, itu mereka lebih untung," ujarnya.
Produsen lebih bisa menyesuaikan harga dan bisa menggenjot produksi untuk mengambil momentum profit dengan tingginya harga.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar, Medi Iswandi, melihat tingkat inflasi yang ada saat ini masih moderat. Ia mengatakan saat ditemui di kantornya Selasa (03/01/2023), indikator-indikator yang ada saat ini masih positif.
"Saat ini pendapatan petani naik, lalu tingkat kemiskinan turun, kemudian terjadi inflasi. Apakah karena memang beras harganya naik, berarti petani kita yang menikmatikan," ujar Medi.
Berkaitan dengan daya beli masyarakat, ia menjelasakn Pemerintah Provinsi telah menaikkan Upah Minimum Regional (UMR) sebanyak 9,5 persen. Hal ini ujarnya untuk mengatasi inflasi tersebut. Selain itu Pemprov menyediakan penyangga-penyangga seperti bansos untuk menjaga daya beli masyarakat. (Dharma Harisa/FS)