Siapa yang Layak Memimpin? Ketika Popularitas Menutupi Kompetensi

Siapa yang Layak Memimpin? Ketika Popularitas Menutupi Kompetensi

Adelia Triani Manihuruk. (Foto: Dok. Pribadi)

Memilih seorang pemimpin yang tepat adalah hak sekaligus tanggung jawab dari setiap warga negara. Karena keputusan ini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan negara maupun sistem pemerintahan iru sendiri. Oleh karena itu, memilih pemimpin yang tepat merupakan hal yang sangat krusial di zaman sekarang ini.

Namun, seringkali masyarakat itu dihadapkan pada dilema: Apakah memilih pemimpin yang populer atau yang kompeten? Melihat begitu banyaknya saat sekarang ini para pemimpin yang populer ingin berkecimpung dalam dunia politik,namun mereka hanya mengandalkan kepopularitas yang dimilikinya,sehingga akan menciptakan seorang pemimpin yang populer tapi tidak berkualitas. Karena sejatinya seorang pemimpin sangat penting dalam menentukan arah, kebijakan, dan masa depan bangsa. Apalagi di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks ini, seorang calon pemimpin tidak hanya dituntut memiliki popularitas atau elektabilitas, tetapi juga harus memiliki etikabilitas dan intelektualitas yang tinggi.

Karena Seorang pemimpin dengan etikabilitas yang tinggi adalah mereka yang jujur dan memiliki integritas. Yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang benar, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan atau risiko. Etikabilitas ini mencakup transparansi dalam pengambilan keputusan, keberanian untuk bertindak adil, dan tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi.sedangkan Pemimpin dengan intelektualitas yang kuat akan lebih mampu mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik karena keputusan yang diambil didasarkan pada pemikiran yang matang dan pertimbangan yang komprehensif.

Sebab pemimpin yang intelektualitas memiliki kemampuan berpikir kritis untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan merumuskan solusi yang tepat. Tanpa etikabilitas dan intelektualitas, seorang pemimpin bisa saja terjebak dalam praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau kebijakan yang tidak adil. Oleh karena itu, etikabilitas dan intelektualitas adalah fondasi utama bagi setiap pemimpin yang ingin mendapatkan kepercayaan dari rakyatnya bukan pada kepopularitasnya.

Bahkan pada saat pemilu yang terjadi,pada februari silam telah banyak artis atau figur publik yang populer terjun untuk masuk ke dunia politik. Karena kepopularitas mereka yang tinggi seringkali menjadi magnet bagi para pemilih untuk memilihnya,meskipun latar belakang pendidikan bahkan pengalaman politik mereka yang minim.tidak menutup kemungkinan untuk masyarakat agar memilihnya.

Selain itu, juga ada beberapa calon pemimpin yang menggunakan nama besar keluarganya untuk menarik para pemilih.yang dimana popularitas nama keluarga itu seringkali menjadi faktor penentu kemenangannya dibandingkan dengan calon pemimpin yang merintis sendiri.dimana semua kasus ini menunjukkan bahwa kepopularitasan calon memimpin menutupi kompetensi calon lain dalam bersaing untuk menang.

Pertanyannya, mengapa popularitas itu seringkali menjadi faktor penentu kemenangan dalam pemilihan? Kenapa masyarakat masih tetap memilih pemimpin yang populer tapi tidak berkualitas. Tidak bisakah membuka mata dan melihat pemimpin mana yang lebih pantas untuk di jadikan pedoman dalam menetukan arah,kebijakan, dan pembangunan negara menuju yang lebih baik.memang masyarakat seringkali dilema pada pilihan yang sulit untuk menentukan antara pemimpin yang populer atau pemimpin yang kompeten.karena keduanya memiliki daya tarik masing-masing yang membuat masyarakat sulit unutk memilih,namun keduanya juga memiliki kekurangannya. Bisa jadi jawabannya,karena banyak pemilih yang lebih memilih pemimpin yang mereka kenal dan sukai, daripada memilih calon pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik dalam bidang pemerintahan.

Serta peran Media massa, terutama media sosial, sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik. Di mana calon pemimpin pandai memanfaatkan media sosial untuk lebih mudah meraih popularitas. Karena ditengah zaman yang seraba canggih ini memudahkan siapapun untuk meyebarluaskan sesuatu infotainment atau hiburan yang membuat pemilih terbawa pendekatan psikologis, di mana seringkali mengorbankan akurasi demi menarik perhatian pemilih termasuk melalui manipulasi media sosial, kampanye hitam terhadap lawan, atau bahkan hanya karena penampilan fisik yang menarik agar menjadi daya tarik.

Oleh karena itu,peran Partai politik sangat krusial dalam proses rekrutmen calon pemimpin. Dimana Partai politik bertindak sebagai jembatan antara masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan serta menyediakan wadah dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.

Nah fungsi dari partai politik itu sendiri dalam rekrutmen calon pemimpin ialah berperan aktif dalam mencari dan mengidentifikasi individu yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin.yang mana nantinya akan melakukan penjaringan melalui berbagai cara, seperti pendaftaran terbuka, rekomendasi dari anggota partai,ikatan promodial atau melalui program kaderisasi yang dilaksanakan oleh partai politik itu sendiri.

Dimana pola rekrutmen politik juga menjadi indkator penting untuk melihat pembangunan dan perubahan dalam masyarakat politik. Seperti kriteria dari calon pemimpin yang nantinya akan dilihat oleh partai politik,mulai dari setia pada ideologi partai,loyalitas, kemampuan berkomunikasi pada masyarakat,integritas moralitas, kesehatan serta pengalaman dan keahlihan yang nantinya bisa ditentukan potensi untuk menang. Tidak hanya itu partai politik melihat kriteria calon pemimpin juga dari daya tarik elektoral calon,koneksi dengan para elite partai yang menjadi peluang bagi calon pemimpin untuk lolos kriteria,serta keputusan dari internal partai yang nantinya akan dilakukan survei atau voting untuk melihat calon yang memenuhi kriteria.

Namun,seringkali partai politik juga menghadapi tantangan dalam menemukan calon pemimpin yang kompeten dan populer, dikarenakan kurangnya kaderisasi yang berkualitas, mulai pengalamanya,cara berkomunikasi, adanya ambisi pribadi untuk bisa menang yang seringkali memicu persaingan yang tidak sehat,keterbatasan sumber daya baik itu finansial dan manusia,efek media sosial, serta adanya isu-isu KKN yang menjadikan partai politik harus lebih melek lagi dalam mencari calon pemimpin yang menjunjung tinggi integritas.

Pilihan yang salah dapat berdampak signifikan pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi jika memilih pemimpin yang tidak kompeten atau hanya mengandalkan popularitas, yaitu kegagalan dalam mengambil keputusan yang strategis dan tepat, sehingga menyebabkan kebijakan itu tidak efektif dan merugikan masyarakat, ketidakmampuan pemimpin dalam mengatasi permasalahan yang nantinya akan memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi, sehingga akan memunculkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela, yang berujung pada demonstrasi, kerusuhan, bahkan pergantian kepemimpinan yang tidak konstitusional. Seperti kerusuhan besar-besaran pada tahun 1998.

Pertanyan keduanya,jadi siapa yang patut untuk disalahkan dan harus dipertangungjawabkan terhadap hal ini ? Apakah partai politiknya yang tidak bisa menyeleksi dan mengkaderisasi calonnya, atau pada masyarakatnya sendiri yang tidak melek dalam memilih calon pemimpin yang kompoten.

Maka tidak ada yang satu pihakpun yang harus disalahkan,karena pihak partai politik juga telah berusaha untuk menjalankan fungsi partainya dalam merekrut calon pemimpin,begitupun dengan masyrakat. Hal ini terjadi ketika masyarakat serta lembaga partai politik tidak berada pada kondisi yang sama. Dibuktikan pada partisipasi masyarakat yang kurang terhadap proses rekutmen politik ini,ketika masyarakat kurang literasi,sehingga mudah terpengruhi oleh citra dan popularitas semata,tanpa memperhatikan rekam jejak dan program kerjanya. Begitupun dengan partai politik yang seringkali mengutamakan kemenangan dalam pemilu dari pada membangun kader yang berkualitas,serta proses seleksi calon yang seringkali tidak transparan jadi mesyarakat sulit untuk berpartisipasi mengetahui kriteria calon pemimpinnya.

Kesimpulannya,salah satu penyebab kekacauan dalam perekrutan calon pemimpin di indonesia saat ini yang dipenuhi oleh kepopularitasan adalah karena proses perekrutannya yang tidak transparan serta tidak memenuhi tiga fondasi utama dalam perekrutan calon, seperti elektabilitas yang memperhatikan moral dan integritas,intelektualitas yang memperhatikan cara mengambil keputusan serta kematangan dalam berpikir,dan yang terakhir elektabilitas atau poplaritas.

Yang membuat masyarakat dilema,apakah memilih pemimpin yang popularitas atau kompoten? Oleh sebab itulah peran partai politik sangat krusial, karena menjadi jembatan bagi masyarakat dengan lembaga pemerintah serta menyediakan wadah dan kesempatan pada masyarakat untuk berpartispasi.dengan melihat kriteria dan pola calon pemimpin demi pembagunan politik negara indonesia.

Jadi, masyarakat maupun partai politik memiliki peran yang sama penting dalam menciptakan sistem politik yang sehat. Masyarakat perlu lebih kritis dalam memilih pemimpin, sementara partai politik harus lebih bertanggung jawab dalam merekrut dan membina kader.

Sehingga salah satu solusi yang diberikan untuk mengatasi masalah siapa yang layak memimpin adalah proses perekrutan politik yang ebih transparansi dan memberikan masyarakat untuk berpastisipasi agar tercipta demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.

*Penulis: Adelia Triani Manihuruk (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Politik memainkan peran krusial dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Peran Generasi Muda dalam Politik: Harapan dan Realita
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena buzzer telah menjadi sorotan, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan media sosial sebagai.
Disinformasi Berbayar: Ancaman Buzzer terhadap Demokrasi
Budaya Pop dan Realitas Sosial? Simak Hubungan Keduanya!
Budaya Pop dan Realitas Sosial? Simak Hubungan Keduanya!
Islam dan Barat dalam Perspektif Orientalisme Kontemporer
Islam dan Barat dalam Perspektif Orientalisme Kontemporer
Filsafat sudah menjadi bahan pembicaraan dan konteks diskusi yang digandrungi oleh berbagai kalangan di Indonesia saat ini. Bahkan dari
Filsafat Timur: Kearifan Pergumulan Pemikiran dari Dunia Timur
Ungkapan "suara rakyat, suara Tuhan" sering kita dengar untuk menggambarkan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi.
Vox Populi, Vox Dei: Harapan Luhur di Tengah Manipulasi Realitas