Zulprianto*
Carlos Alcaraz Garfia, petenis muda Spanyol, berhasil mengalahkan Novak Jokovic, petenis terbaik dunia dengan koleksi piala Grand Slam terbanyak dari Serbia, dalam final Grand Slam Wimbledon di Inggris pada 16 Juli 2023 lalu. Begitu Alcaraz yakin ia sudah menang dan bersalaman dengan lawannya, ia langsung menuju kotak pemain di mana pelatih dan anggota keluarganya duduk dan menyaksikan pertandingan sejak awal.
Demi melihat sang pemenang memeluk mereka satu per satu, komentator pertandingan final tenis tersebut mengucapkan hal yang menarik. Ia bilang: It takes a village to raise a boy (Kita butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak).
Ungkapan ini merupakan pengakuan perlunya keterlibatan banyak orang dalam keberhasilan seseorang (anak) di samping motivasi dan militansi anak tersebut. Ini bukan ungkapan baru, tetapi senantiasa berhasil menggugah emosi karena mengingatkan kita atas proses pendidikan dalam berbagai bentuknya.
Ungkapan itu kurang lebih menegaskan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab kolektif dan berproses secara bebas-konteks baik di dalam maupun di luar sekolah.
Pendidikan merupakan bagian penting dari upaya mempertahankan dan meningkatkan adab dan budaya. Ekspektasi tinggi demikian mengingatkan kita bahwa pendidikan merupakan investasi bermodal besar, material atau tidak material, dan sejatinya ditempuh sepanjang waktu.
Dalam konteks yang lebih praktis, pendidikan diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan bagi orang miskin atau mempertahankan/menyambung rantai kekayaan bagi orang kaya dalam hal pengetahuan dan materi. Setiap orang, terlepas dari latarbelakangnya, membutuhkan pendidikan jika ingin berubah positif.
Oleh karena itu, adalah penting untuk memastikan proses pendidikan berjalan konstruktif. Tulisan ini bermaksud berbagi pandangan terkait beberapa aspek pelaksaan pendidikan khususnya di kota Padang.
Pertama terkait dengan jam belajar (studying hours) di sekolah. Jam sekolah tampaknya mulai pukul tujuh setiap hari sekolah. Penetapan waktu sekolah ini tergolong awal dan bukan tanpa alasan. Salah satunya terkait dengan iklim tropis daerah kita: sinar matahari tak butuh waktu lama untuk membuat sekeliling kita terasa panas.
Sebagai upaya antisipasi, sekolah dimulai lebih awal. Salah satu tujuannya untuk menghindari cuaca panas apalagi di tengah hari. Tampaknya ini juga yang menjadi alasan kenapa murid-murid sekolah dulu pulang di tengah hari (sekitar pukul satu atau dua).
Namun, waktu dan tempat berubah. Saat ini, setidaknya ada dua alasan kenapa kita perlu lebih khawatir terkait cuaca panas ini. Dalam satu hal, pemanasan global akan menjadikan belahan dunia mana pun menjadi lebih panas. Jika kita merasa tempat kita sudah panas saat ini, derajat panasnya akan semakin meninggi di masa depan seiring dengan pemanasan global kecuali dunia sepakat untuk menurunkannya.
Hal lain adalah jam belajar di sekolah, khususnya sekolah menengah pertama dan menengah atas, juga bertambah sehingga mereka masih tetap tinggal dan belajar di sekolah hingga sore. Hal ini tampaknya tidak akan menjadi persoalan apabila ruang kelasnya dilengkapi dengan pengatur suhu atau paling tidak kipas angin.
Ruangan kelas yang tidak memiliki salah satunya mesti mendapat perhatian pemerintah atau pihak terkait demi pemerataan infrastruktur pendidikan. Kenyamanan belajar murid mempengaruhi pencapaiannya. Anthony Burgess, seorang pengarang Inggris, melalui salah satu tokoh dalam novelnya yang berjudul ‘The Malayan Trilogy [Trilogi Melayu]’, menulis perihal iklim tropis ini.
Saking panasnya daerah Melayu ini (setting dalam novelnya) dan akibatnya tidak bisa bekerja secara normal, ia misalnya menyimpulkan bahwa peradaban hanya mungkin terjadi di daerah bersuhu sedang (temperate zone).
Lebih esktrim lagi, tokoh fiksinya sampai-sampai mengatakan: Where sweat starts, nothing starts [Di mana keringat mulai, di sana tak ada yang mulai]. Tentu saja, fragmen dramatis tersebut bersumber dari karya fiksi semata. Namun, karya fiksi memang tidak benar secara faktual, tetapi ia dapat mengandung kebenaran potensial.
Jika suhu di ruang kelas dapat dikendalikan penuh atau sebagian, jam masuk sekolah pun bisa direkayasa. Hal ini terkait dengan poin kedua yang ingin saya sampaikan.
Saat ini, karena jam sekolah tampaknya dimulai secara bersamaan (jam tujuh-mudah-mudahan saya tidak salah), jalanan menjadi ramai (rush hours) menjelang jam tersebut. Tidak jarang terjadi kemacetan atau jalanan terlihat semrawut karena murid hendak sampai di sekolah sebelum jam tersebut baik yang berangkat sendiri atau diantar. Demikian pula pengguna jalan lain. Hal yang sama terjadi ketika pulang sekolah.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pada jam sibuk tersebut adalah dengan membeda-bedakan jam masuk (dan jam pulang) sekolah dengan, misalnya, selisish tiga puluh menit. Murid SMA bisa mulai pukul 7 pagi, murid SMP masuk pukul 7.30 pagi, dan murid SD masuk pukul 8 pagi. Selisih 30 menit ini akan berguna untuk mengurangi keramaian lalu lintas, apalagi dengan sistem zonasi mayoritas murid sebuah sekolah berdomisili tidak jauh dari sekolahnya atau tidak butuh 30 menit untuk mencapai sekolahnya.
Terakhir, saya ingin berbagi pandangan terkait penggunaan kendaraan bermotor oleh murid. Sudah lazim kita menyaksikan murid-murid yang berkendara sendiri ke sekolah. Melihat warna seragam sekolah mereka, mereka pasti belum memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM).
Pengendara ini sering tak menghiraukan keamanan diri dan pengguna jalan lain seperti tidak memakai helm dan menyalib dari sebelah kiri. Realitas ini perlu ditertibkan karena sangat terkait dengan efektivitas pendidikan yang sedang mereka tempuh secara khusus atau efektivitas pendididikan secara umum. Jika tidak, pendidikan kita menjadi bersifat paradoks.
Bagaimana tidak? Murid-murid dididik untuk menjadi warga negara yang sadar, taat dan patuh hukum berlalu lintas di dalam tembok sekolah; di luar tembok sekolah mereka seperti diperbolehkan melanggar hukum tersebut. Mereka seperti belajar dan melanggar hukum setiap hari. Tentu ini tidak efektif, bahkan, memprihatinkan.
‘Belajar’ pada dasarnya bersifat mentalistik, sedangkan ‘melanggar’ aturan lalu lintas bersifat material (karena berupa ‘perbuatan’ melanggar hukum). Aksi material tentu dapat membentuk karakter lebih konkret atau melekat daripada sekedar aksi mental.
Mengingat para murid ini merupakan generasi masa depan, membiarkan mereka melanggar peraturan dapat menjadi preseden buruk di fase lanjut kehidupan mereka.
Para guru kita di sekolah tak bisa sendirian menuntaskan persoalan murid yang melanggar hukum lalu lintas demikian. Orangtua memiliki peranan yang paling penting untuk menghentikan pelanggaran demikian.
Kepolisian, pemerintah, dan siapa pun mesti mendukung upaya ini. Seperti kata komentator pertandingan tenis di awal tulisan ini, kita butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak: membesarkannya secara material dan immaterial.
*Dosen Sastra Inggris Universitas Andalas