Sebelum Kita Memperingati Kemerdekaan

Sebelum Kita Memperingati Kemerdekaan

Andrezal. (Foto: Dok. Pribadi)

Sepanjang jalan dari Pasar Baru menuju Pasar Raya telah bermunculan para pedagang bendera. Gedung-gedung pemerintah dan jalan-jalan mulai dihiasi atribut merah putih. Pertanda 17 Agustus sudah dekat, tanggal yang selalu diperingati sebagai hari kemerdekan Indonesia.  

Tapi ada yang ganjil di Padang dari hari Senin sampai Selasa (31/07-01/08), jalan Jendral Sudirman tidak bisa diakses kendaran. Sudah dua hari, sedari pagi orang-orang bergerak dan berkumpul di depan kantor Gubernur Sumatera Barat. Mereka adalah masyarakat Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat. Kedatangan mereka hendak bertemu dengan Gubenur Sumatera Barat yaitu Mahyeldi Ansharullah, untuk menyampaikan aspirasi.

Mereka bertekad sebelum bertemu Gubernur mereka tidak akan pulang. Tekad itu mereka buktikan dengan sangat serius. Saat demo pertama pada hari Senin walau matahari begitu terik, suhu yang tercatat 26oC mereka tidak bubar. Kemudian hari selasa saat hujan begitu lebat mereka tetap bertahan, walau dua orang anggota mereka pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Namun sayang mereka masih belum dipertemukan dengan Gubernur. Ternyata pada Selasa pagi pemimpin dengan tagline “Memimpin adalah Melayani” tersebut sempat hadir dalam acara partainya di sebuah hotel yang dekat dengan kantor Gubernur. Tempat masyarakat berdemo.  

Di dalam kerumunan itu, komposisinya sangat beragam. Anak-anak berseragam sekolah dan balita yang ikut orang tua mereka, bapak-bapak yang terus berorasi bersama mahasiswa, ibu-ibu yang menggurusi anaknya, juga tidak sulit menemukan lansia yang ikut berdiri memperjuangkan ruang hidup mereka. Wajah letih dari mereka terlihat begitu jelas. Bersama itu juga ada jurnalis media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan tentunya aparat keamanan yang berjaga.

Pengakuan seorang anggota demonstran yang tidak ingin disebutkan namanya, masyarakat Air Bangis telah datang sejak malam Minggu (30/07), mereka beristirahat dan membangun dapur umum di Mesjid Raya Sumatera Barat. Kurang lebih ada 1000 orang masyarakat yang datang. Bahkan ada dari mereka yang meminjam uang agar bisa ikut menyuarakan aspirasi.

Proyek Strategis Nasional yang diusulkan PT. Abaco Pasifik Indonesia pada 9 Juli 2021, telah ditindak lanjuti pemerintah Sumatera Barat serta diteruskan pada Kementrian Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia pada 30 Juli 2021. Lahan yang akan digunakan untuk proyek strategis ini ternyata juga mencakup wilayah pemukiman, perkebunan penduduk serta tanah ulayat masyarakat adat Air Bangis.

Pendudukan atas tanah ini memunculkan konflik agraria yang berujung dengan aksi demo. Masyarakat Air Bangis datang langsung ke pemerintah pusat Sumatera Barat menyatakan keresahannya. Ini tentu perlu ditinjau ulang dengan serius dan penuh keadilan. Karena telah menyangkut hajat dan ruang hidup orang banyak.  

Melihat kasus Pasaman Barat dengan perspektif Gramscian  

Dalam melihat kasus ini, menarik menggunakan perspektif seorang intelektual asal Itali bernama Antonio Gramsci. Dia menilai ada dua alat bagi kekuasaan untuk mempertahankan kedudukannya, pertama adalah dominasi dan yang kedua ialah hegemoni.

Dalam sebuah kekuasaan ada nilai-nilai atau kepentingan, akan tetapi nilai tersebut tidak selalu diterima oleh masyarakat banyak. Kekuasaan yang tidak mampu menyebarkan nilai-nilai tersebut tidak bisa bertahan lama. Oleh karena itu digunakanlah dominasi dan hegemoni tersebut. Dominasi adalah penggunaan kekuatan yang sifatnya memaksa muncul dari ketidaksetaraan antara penguasa dan yang dikuasai, lewat ancaman atau kerugian jika tidak mengikutinya. Misalnya pengerahan alat negara seperti polisi dan tentara yang bersifat represif sebagai instrumen kekuasaan.

Sedangkan hegemoni adalah upaya penyebaran nilai penguasa lewat cara-cara yang halus. Upaya  institusi pendidikan dan media berperan penting dalam hal ini. Proses-proses hegemoni sangat sulit dideteksi, karena nilai penguasa menjadi kesadaran umum, menjadi sesuatu yang wajar, menjadi sesuatu yang diterima dengan taat. Jika dominasi dan hegemoni berhasil dijalankan maka kekuasaan akan kuat karena kepentingan ruling class dianggap sebagai kepentingan umum.

Saat modal internasional (neoliberal) terus bergerak dan menyasar negara-negara berkembang terjadi kesepakatan antara penguasa dan pemodal. Kekuasaan kemudian menyebarkan nilai-nilai ekonomi liberal yang ditanamkan lewat dominasi atau hegemoni. Mohammad Hatta dalam bukunya berjudul Demokrasi Kita telah sejak lama menentang praktik liberal di bidang ekonomi. Baginya ekonomi semacam itu adalah ekonomi yang sifatnya baku hantam. Hatta dalam bahasanya lebih setuju dengan demokrasi ekonomi bentuknya adalah koperasi. Tapi bukan koperasi gaib atau korporasi berkedok koperasi.

Neoliberal melihat masyarakat dan alam sebagai sumber daya dan sumber daya bisa dieksploitasi. Hal tersebut telah menyebabkan perusakan alam dan penindasan manusia atas manusia. Kasus-kasus seperti konflik agraria adalah bagian dari pertarungan kepentingan tersebut. Karena itu tidak heran kasus di Pasaman Barat juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Lebih luas lagi, konflik agraria juga terjadi di berbagai belahan dunia yang umumnya menyasar petani dan masyarakat adat, khususnya di negara-negara berkembang.

Untuk itu perlu adanya kontra hegemoni yaitu membangun kesadaran bersama lewat upaya-upaya penyadaran kembali dan penguatan masyarakat sipil. Arus investasi dan kekuasaan pemerintah hanya bisa dikontrol oleh kekuatan masyarakat sipil lewat demokrasi partisipatif . Saat kekuatan masyarakat sipil setara dengan kolaborasi penguasa dan pemodal maka akan muncul kompromi. Kompromi adalah jalan tengah dengan penyelesaian yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak. Ini lebih baik dari pada penindasan.  

Membedah Kampus

Ada sesuatu yang menarik untuk diperhatikan dengan seksama, kenapa demo ini hanya dihadiri oleh massa dari Air Bangis dan sedikit mahasiswa atau intelektual?

Antonio Gramsci meyakini bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Karena kemungkinan besar intelektual juga telah terhegemoni oleh struktur dan suprastruktur milik kelas penguasa. Mereka yang memiliki fungsi intelektual di dalam masyarakat dia namai sebagai intelektual organik.

Doug Lorimer seorang pemikir progresif dalam bukunya Pokok-pokok Materialisme Historis juga mengingatkan pentingnya kesadaran. Bagi Doug ilmu sosial yang diajarkan di kampus-kampus adalah ilmu sosial burjois. Karakter intelektual yang tercipta adalah intelektual tradisional yaitu masyarakat akademis yang terpisah dari masyarakat luas yang lebih kompleks.

Di Indonesia corak berpikir sosial burjois ini dibarengi dengan represi oleh rezim otoriter masa lalu. Para intelektual organik menjadi terancam, mereka yang hidup di tengah masyarakat dianggap sebagai orang-orang komunis, walaupun tidak semua intelektual organik demikian. Akibatnya para intelektual menarik diri ke dalam kampus itu diwariskan secara turun temurun pada generasi selanjutnya.   

Ciri berpikir ilmu sosial burjois adalah sifatnya yang atomistis dan reduksionis. Memisahkan ilmu menjadi bagian-bagian kecil dan memposisikan mereka saling berbeda, melupakan bahwa bagian-bagian itu memiliki hubungan. Dampaknya adalah kerja sama multi disiplin sulit untuk dilakukan dan intelekual gagal melihat kehidupan sosial secara luas dan menyeluruh. Kita semua telah gagal melihat konflik di Air Bangis sebagai masalah kita bersama. Itulah kenapa hanya sedikit dari kita yang membersamai perjuangan masyarakat Air Bangis sebagai manusia yang ingin merdeka. Bukankah persoalan kemanusiaan adalah persoalan bersama melampaui batas-batas identitas yang semu?

Jika universitas sebagi benteng terakhir moral dan pengetahuan telah demikian, maka tidak heran masyarakat juga tidak mampu membangun solidaritas gerakan bersama. Di dalam masyarakat juga muncul kelompok-kelompok atomistis yang mengganggap masalah di Air Bangis bukan menjadi masalah mereka. Bukan tidak mungkin, jika masalah ini tidak ditangani dengan baik daerah-daerah yang sekarang damai bisa juga merasakan konflik.  

Mungkin kita perlu inok manuangi perkataan Tan Malaka:

“Bila kaum muda telah belajar di sekolah dan mengganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”

Kita semua berhutang

Sejatinya intelektual adalah orang-orang yang berhutang pada para pekerja. Ada sebuah rumus sederhana dalam masyarakat yaitu “sebagian besar orang bekerja untuk membebaskan sebagian kecil orang berpikir”, mereka yang bekerja adalah masyarakat rentan yang berada di lantai paling bawah piramida sosial kita. Mereka adalah petani, nelayan dan buruh serta orang-orang yang menjalani kehidupan yang keras, mereka adalah masyarakat Air Bangis yang sedang berdemo.  

Bukankan para pemimpin kita dari daerah-daerah sampai pusat juga para intelektual yang berhutang pada masyarakatnya? Jika mereka tidak sadar, kita, orang-orang diluar pemerintah yang menjadi masyarakat sipil tentu perlu mengingatkannya.

Karena itu, sebagai intelektual sudah sepatutnya kita kembali ke basis-basis massa. Mencicil hutang kita pada orang-orang yang telah berkorban tersebut. Seperti kata orang bijak “seratus langkah dimulai dari satu langkah pertama”. Keluar dari kampus dengan kesadaran sebagai bagian dari masyarakat adalah langkah pertama. Berjuang bersama mereka adalah seratus langkah selajutnya yang akan memperkuat masyarakat sipil.

Kontra hegemoni membutuhkan solidaritas antar masyarakat dan intelektual organik. Tanpa keseimbangan antara kekuatan sipil dan penguasa, penindasan akan semakin banyak terjadi. Tujuan dari berdirinya negara ini akan semakin kehilangan arah. Bendera-bendera yang berkibar dan atribut merah putih sepanjang jalan Pasar Baru sampai Pasar Raya, begitu juga baju merah putih yang dipakai anak-anak para demonstan, serta upacara yang kita lakukan pada 17 Agustus nanti tidak akan bermakna apa-apa.

*Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas Andalas

Baca Juga

Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Wakil Ketua DPRD Sumbar Irsyad Syafar mewanti-wanti agar kejadian di Pulau Rempang, Kota Batam, tidak menimpa warga Air Bangis.
Wakil Ketua DPRD Sumbar: Jangan Sampai Air Bangis Seperti Rempang
Patgulipat Koperasi Sawit di Air Bangis
Patgulipat Koperasi Sawit di Air Bangis
Koperasi, PSN, Konflik Agraria Air Bangis: Mereka yang Terhempas
Koperasi, PSN, Konflik Agraria Air Bangis: Mereka yang Terhempas
Jaringan Pembela Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Sipil Sumatra Barat gelar konferensi pers terkait masalah tanah di Air Bangis pada Rabu
Jaringan Masyarakat Sipil Sumbar Ungkap Sisi Lain Kasus Air Bangis
Elite Politik vs Masyarakat Air Bangis
Elite Politik vs Masyarakat Air Bangis