Beberapa minggu lalu Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menutup TPA Piyungan mulai 23 Juli hingga 5 September 2023 akibat overload atau kelebihan muatan sampah. Keputusan itu menuai polemik hingga sempat terjadi penumpukan sampah di sejumlah titik, dan pro kontra pembangunan TPS Cangkringan yang belakangan batal. Akhirnya, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, kembali dibuka secara terbatas. Pemda DIY juga sudah menunjuk Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Tamanmartani, Sleman, sebagai alternatif.
Informasi ini mengingatkan saya kepada suasana yang sama di Sumatera Barat. Siap atau tidak, boleh jadi sejumlah kota di ranah Minang bakal menghadapi hal yang sama. Hanya soal waktu saja. Kota Bukittinggi menempati peringkat dua penyumbang sampah terbesar di Indonesia pada tahun 2020. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, produksi sampah di Bukittinggi pada 2020 mencapai 374,9 kilogram per kapita per tahun (Kompas, 20/5/2022).
Saya ingin berbagi pengalaman bagaimana Australia mengatasi persoalan sampah, dalam hal ini adalah negara bagian Victoria dengan ibukota Melbourne. Yang bisa kita terapkan dengan cepat adalah penggunaan teknologi, bukan lagi bersandarkan cara-cara manual. Permasalahan intinya adalah bagaimana mengatasi kedaruratan tumpukan sampah dengan teknologi pemusnah sampah.
Ada banyak teknologi pemusnah sampah yang bisa diterapkan, bahkan sudah banyak diterapkan di negara lain. Dari beberapa teknologi tersebut, ada yang menggunakan proses biologi seperti fermentasi dan anaerobic digestion (khusus sampah organik). Ada juga yang menggunakan teknologi termal seperti insinerasi/pembakaran, gasifikasi, dan pirolisis. Tentunya semua teknologi bagus. Tetapi kita harus melihat kebutuhan yang sesuai, misalnya dengan TPA Air Dingin di kota Padang. Seperti prosesnya cepat dan bisa menangani semua jenis sampah secara bersamaan, karena tipikal sampah yang ada di TPA Air Dingin adalah sampah campuran.
Dari sekian teknologi yang ada, teknologi termal adalah solusi cepat dan tepat untuk mengatasi persoalan ini dilihat dari sisi kecepatan prosesnya yang hanya membutuhkan waktu hitungan jam saja. Berbeda dengan proses biologi yang membutuhkan waktu hingga mingguan bahkan lebih dari sebulan. Kemudian teknologi termal bisa menangani sampah campuan, tidak hanya sampah organik saja. Teknologi ini, khususnya gasifikasi juga telah diterapkan di kota Surabaya yang sudah beroperasi dan di Solo sebentar lagi akan beroperasi. Menariknya, teknologi ini sekaligus bisa menghasilkan listrik sebagai nilai tambah dalam pengolahan sampah.
Di Australia warga pada umumnya paham bahwa sampah harus dipisah-pisah antara sampah organik dan non-orgamik sebelum dibuang ke pusat daur ulang. Sekitar lebih 50% sampah diproses menjadi enerji panas untuk memanasi ruangan di musim dingin.
Di Australia manajemen sampah merupakan sebuah industri yang bernilai miliaran dolar. Secara keseluruhan 52% sampah diubah menjadi tenaga listrik 47% didaur ulang dan sisanya sekitar 1% ditimbun dalam tanah. Australia bahkan mendidik anak-anak tentang budaya mengelola sampah. Hari nasional sampah digunakan anak-anak untuk membersihkan sampah dan lingkungan. Anak-anak juga dilatih menulis makalah tentang pengelolaan sampah. Sementara warga yang membuang sampah di pusat daur ulang mendapat kupon potongan harga.
Kita bisa memulai ini di Sumatera Barat lewat kebiasaan. Pertama-tama warga harus membersihkan terlebih dahulu sampah tersebut sebelum diantar sendiri ke pusat daur ulang. Sampai di pusat daur ulang warga harus memasukkan masing-masing jenis sampah tersebut kedalam kotak-kota yang sudah diberi tulisan sesuai dengan sampah yang akan diproses. Untuk sampah organik warga harus mengubahnya menjadi kompos. Untuk keperluan itu pemerintah (pusat/daerah) memberikan subsidi pembelian alat pemroses kompos bertenaga listrik. Sedangkan sampah nonorganik yang tak dapat digunakan kembali dibungkus dalam kantong khusus untuk dibakar.
Persoalan dasar yang dihadapi kota Padang, misalnya, adalah bagaimana mengubah persepsi warga tentang sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Untuk itu perlu sosialiasi yang memakan waktu dan tenaga menjelaskan tentang konsep 3R (reduce, reuse, recycle). Reduce adalah pengurangan sampah seperti mengurangi penggunaan sampah sekali pakai seperti kantong plastik. Reuse atau penggunaan kembali seperti kaleng biskuit yang bisa digunakan kembali sebagai tempat penyimpan barang kecil. Recycle atau daur ulang kain berwarna menjadi boneka atau sepatu. Proses ini memerlukan kesabaran dan ketelatenan.
Kita di Padang sebetulnya memiliki sejumlah bank sampah di sejumlah RT. Ini sangat membantu menyalurkan sampah nonorganik berupa kertas ke pengepul. Namun pemerintah kota perlu bekerja sama dengan perusahaan yang bersedia membeli sampah-sampah non-organik lainnya.
Mengatasi sampah bukan saja menyangkut menggerakan kebiasaan dan penyadaran warga, tapi juga menyangkut investasi. Pemda selalu berdalih tingginya biaya investasi. Kalau kita hanya menghitung terkait sampah saja mungkin iya. Tetapi tentunya kita harus memperhitungkan dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kemudian waktu, biaya dan tenaga yang harus dikeluarkan selama bertahun-tahun tanpa solusi yang jelas juga harus diperhitungkan. Harapannya semoga pemerintah daerah segera sadar akan kondisi dan situasi ini dan harus bagaimana menanganinya.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas