Langgam.id - Musik modern Minang makin diminati oleh pengguna internet lewat berbagai aplikasi dan media sosial. Berakar dari musik tradisi, komposisi lagu Minang bertransformasi jadi musik modern, dimulai dari berkembangnya gamad pada 1920-an.
Komposer Senior Lagu Minang Agusli Taher menilai, musik modern Minang pada mulanya tidak terlepas dari pengaruh gamad. Dalam buku "Perjalanan Panjang Musik Minang Modern", Agusli Taher mengelompokkan gamad sebagai musik minang pra modern.
Baca Juga: Kala Musik Minang Memikat Warganet Indonesia
Kepada Langgam.id dalam wawancara pada Oktober 2022 lalu, Agusli Taher mengatakan, meski sudah dirintis sejak 1920an, musik gamad dan musik modern Minang kemudian makin berkembang setelah kemerdekaan.
Ia tidak mengelompokkan gamad ke dalam jenis musik minang tradisi. Alasannya karena ciri musik gamad sangat berbeda dengan musik tradisi etnik di Minangkabau.
Gamad sudah menggunakan peralatan musik dari luar daerah Minangkabau. Seperti biola, armonium, akordion, atau gitar. Gamad juga tidak mengenal alat musik minang seperti bansi, saluang, pupuik batang padi, rabab, dan talempong.
Musik modern sendiri menurut Agus dalam buku tersebut adalah musik yang sudah mendapatkan sentuhan kebaruan dan teknologi. Baik dalam penggunaan alat musik, maupun penyajian musik.
Sifatnya lebih universal. Tidak dilahirkan dari tradisi dari suatu masyarakat tertentu. Notasi, tangga nada, serta motif musiknya juga jelas. Sehingga dapat dikenal dan dinikmati secara luas.
Dibandingkan musik tradisi yang punya corak lokalitas kedaerahan yang lebih luas. Yang lahir dan berkembang secara turun temurun di daerah setempat. Beberapa yang kita kenal seperti dendang darek, dendang pauh, indang, sirompak, musik palayaran, dan rabab.
Antara satu daerah dan daerah lainnya di Minangkabau mengembangkan musiknya sendiri. Hal ini menyebabkan musik tradisi memiliki ciri khasnya sendiri. Yang terletak pada isi, alat musik, dan syair lagu.
Dalam dendang Pauh ada saluang Pauah, sedangkan di darek ada saluang darek. Atau yang sama-sama di daerah pesisir. Antara indang Piaman dan rabab Pesisir. Hal ini kadangkala menyebabkan musik tradisi membawa sifat eksklusif. Sehingga orang dari luar daerah asalnya akan sulit mencerna dan menikmati musik tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, Agus berpandangan bahwa musik modern Minang generasi pertama adalah gamad. Sedangkan format musik setelahnya, khususnya yang diusung oleh orkes Gumarang adalah musik minang modern generasi kedua.
Adapun anggapan musik gamad berasal dari luar Minangkabau, memang benar adanya. Dalam buku Agus yang terbit tahun 2016 itu, ia menyebutkan, gamad adalah sebuah kesenian yang amat unik. Terdiri dari berbagai unsur musik etnik, yakni Portugis, Keling, Nias, Melayu, dan Minang.
Namun, menurut Agus, gamad pertama kali dianggap berasal dari Portugis. Hal ini berdasarkan indikasi adanya tarian balanse madam, dan lagu pembuka pesta gamad "Kaparinyo".
Sedangkan pengaruh etnik Minang dianggap tidak terlalu besar pengaruhnya dalam perkembangan musik ini. "Karena jejaknya hanya ada pada lirik lagu gamad yang berbahasa Minang dan lirik yang berbentuk pantun," tulis Agus.
Akan tetapi, penyederhanaan indikasi bahwa musik gamad dipengaruhi dan dikembangkan oleh bangsa Portugis untuk pertama kali belum memuaskan Agus.
"Yan Juneid ketika mengusung lagu gamad dalam kemasan band Lime Stone's, tanpa menggunakan biola, akordion, bahkan tanpa gendang ketipung, sebagai alat musik asal India."
Akan tetapi, lagu Sarunai Aceh yang dinyanyikan Yan Juneid di album box office itu tetap saja disebut lagu gamad," kata Agus kepada Langgam.id, Oktober 2022 lalu.
Kesimpulan bahwa pengaruh etnik Minang hanya sebatas lirik dan pola berpantun juga belum memadai. Hal itu terlihat dari iro/cengkok beberapa lagu gamad yang menggunakan teknik khas lagu Minang etnik katanya.
"Motif dan iro lagu gamad "Ratok Dagang", terutama pada bagian ral, yaitu bagian awal lagu yang dinyanyikan secara "bailau" tanpa alat musik. Maka sangat jelas sekali bahwa asal lagu tersebut adalah Dendang Pauah Kota Padang," kata Agus.
Menurutnya, ini menjadikan pengaruh lagu Minang sangat kentara terasa dalam lagu gamad. Melihat lagu gamad sendiri dicirikan oleh patahan-patahan syair ketika didendangkan.
Serta teknik pengulangan pada frasa -- setengah kalimat yang tak selesai. Atau yang disebut Agus sebagai teknik menggantung kata. "Teknik ini sering kali dan sudah menjadi ciri dari lagu dendang atau tradisi saluang darek," ucapnya.
Cerita Gamad Tempo Dulu
Dalam bukunya, "Perjalanan Panjang Musik Minang Modern", Agusli Taher mengisahkan dirinya ketika berdiskusi dengan Burhan dan Yunus, dua pelaku sejarah musik gamad yang masih hidup.
Peristiwa itu ia rekam pada Senin, 6 Desember 2014. Kala itu Agus mengajak Pak Burhan yang telah berumur 89 tahun pada saat itu, makan di Rumah Makan Palanta yang terletak di dekat Danau Cimpago Purus.
Mengutip buku tersebut, menurut Burhan, kesenian gamad sudah ada di Padang sejak tahun 1920. "Dulu, apabila ada orang pesta kenduri, pihak tuan rumah hanya mengundang pemain biola, armonium, dan gendang. Peralatan lain tidak ada," tulis Agus.
Pecandu-pecandu Gamad saat itu berposko di Los Lambuang, di Lapau Anjang, yang terletak di Pasar Miskin atau disebut juga Los Baro. "Di Lapau Anjang inilah order main gamad dilakukan," tuturnya.
Saat itu, ada seorang penyanyi top terkenal yang disebut Ami Ente. Nama aslinya Ahmad Ente, penjual ikan keturunan India-Nias yang tinggal dibilangan Kampung Jawa Dalam. Penyanyi top lainnya tulis Agus, ada Sulaiman Pono. Anak Olo Ladang yang biasa disapa Pono.
Menurut keterangan Yunus dalam buku yang cetak pada tahun 2016 ini, Ami Ente adalah pencipta lagu gamad paling produktif. Bahkan kata Burhan dalam keterangan yang sama, Ami Ente merupakan satu-satunya pencipta lagu gamad saat itu.
Yunus menambahkan, beberapa karya Ami Ente yang terkenal sampai saat ini adalah Siti Padang, Ratok Dagang, Sinar Bulan. Burhan menambahkan, bahwa lagu Sarunai Aceh dan Dayuang Piaman juga ciptaan Ami Ente.
Ada perbedaan pandangan antara Yunus dan Burhan yang dituliskan Agus dalam bukunya itu. Utamanya dalam cara mereka menilai dendang siapa yang paling menarik diantara Ami Ente dan Pono.
Yunus menilai Ami Ente adalah penyanyi gamad yang luar biasa bagus suaranya.
"Nafasnya amat panjang, galitiak suaranya prima," tulis Agus mengutip diskusinya dengan Yunus. Lirik sampiran lagu Dayuang Piaman yang terkenal panjang, bahkan bisa dinyanyikan Ami Ente dalam satu tarikan nafas.
Namun menurut Burhan papar Agus dalam sub-bab "Musik Gamad Seabad Yang Lalu", Pono adalah penyanyi yang amat luar biasa. Khususnya ketika menyanyikan lagu Sarunai Aceh, Dayuang Piaman, dan Ratok Dagang.
"Penjiwaan Pono terbilang memukau, dan improvisasinya lebih hebat dari Ami Ente," ucap Burhan mengutip tulisan tersebut. Bedanya sambung Burhan, Ami Ente lebih terasa kekhasan Gamadnya.
Gamad Dalam Era Modern
Dalam wawancara bersama Langgam.id, Agusli Taher memaparkan kesenian gamad dan musik minang setelah kemerdakaan makin berkembang.
Alat musik pun bertambah. Gitar, rumba, accordion, dan string bas mulai menjadi bagian alat musik gamad. Sehingga orkes gamad makin populer. Klub-klub gamad pun kata Agus mulai terbentuk.
Tahun 1953 dalam bukunya "Perjalanan Panjang Musik Minang Modern" Agus menjelaskan, saat itu terbentuk klub gamad Buruang Bayan pimpinan Kader, bermarkas di bilangan Pasar Raya.
Seangkatan dengan Buruang Bayan adalah orkes gamad Sampai Hati, pimpinan Judin, kakak kandung Yan Juneid di Purus. Serta orkes gamad Sinar Bulan, berposko di Jati, beranggotakan Tina Syamsudin sekeluarga.
Dalam tahun 1950-an tersebut juga dikenal orkes gamad yang lain, yaitu Kuno Sejati, pimpinan Abdul St Pamuncak, kemudian Mawar Sejati, pimpinan Nasrul Nasution, yang sebelumnya pernah dipimpin Zainal Syarif.
Selanjutnya, ada grup Senadung Malam pimpinan Zainal Syarif, dengan vokalis utama, adiknya Marlena, dan Sinar Kelana, pimpinan M. Yunus Said.
Selanjutnya pada tahun 1960-an berdiri pula beberapa klub gamad baru, seperti Budi Saiyo, pimpinan Udin Pono, di Jakarta serta Cahaya Budi, di Purus, pimpinan Tindik Zega, dengan penyanyi topnya Dahlia, Emy Alwi, dan Syahrudin Syarif;
Selanjutnya, Ikatan Budi, di Jembatan Babuai Koto Baru, pimpinan Nurman St. Mansyur, pemain biolanya Rusyid, beranggotakan Syukur, Buyu, Tambran, dan Agus Taher dengan penyanyi andalannya Zubir Ys. Lalu, Putri Minang, di Tarandam, pimpinan Andun Syamsinar, dengan pemain biolanya Bujang, beranggotakan Taswir Zubir (accordion), Pakih (melodi gitar), Agus Taher (gitar rhytim), dan Asmad sebagai pemain drum. Penyanyi utamanya adalah Tini dan Mardiana.
Selanjutnya, di awal 1970-an, di Seberang Palinggam juga terbentuk orkes gamad Dayuang Palinggam, pimpinan Abdul Rahmad Said, dengan pemain biolanya Asinu. (Dharma Harisa/HM)