Langgam.id - Perang Padri telah usai sejak 1837. Pemerintah Kolonial Belanda bisa disebut telah mutlak menguasai Sumatra Barat hingga ke pedalaman. Maka, langkah penerapan admininstrasi pemerintahan dan hukum mulai mereka terapkan.
Pemerintahan sentralistis ala Hindia Belanda mulai merasuki sendi-sendi hukum adat yang sejak ratusan tahun meletakkan otoritas di salingka nagari. Tata hukum materil dan formil ala Eropa mulai leluasa mereka lakukan.
Rapat yang digelar di Bukittinggi pada 1865 termasuk dalam rencana besar tersebut. Gubernur Sumatra's Westkust (Pesisir Barat Sumatra) JFRS van den Bossche menyempatkan diri untuk hadir dalam rapat itu. Ia didampingi Residen Dataran Tinggi Padang HA Steijn Parve dan 11 kontroleur alias asisten residen Belanda.
Dari pimpinan masyarakat Minangkabau hadir 76 tuanku laras dan tak terhitung banyaknya kepala suku dan penghulu. Rapat itu dipimpin oleh Timon Henricus der Kinderen, ahli hukum yang datang dari Batavia.
Sejarawan Jeffrey Hadler dalam Buku 'Sengketa Tiada Putus, Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau' (2010) menyebut, rapat tersebut digelar pada 6 April 1865 atau tepat 154 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (6/4/2019).
"Pada rapat 1865, Kinderen menyarankan penciptaan suatu birokrasi regional, dengan pegawai-pegawai Belanda lokal mengawasi pegawai-pegawai Minangkabau yang akan bertanggungjawab menjalankan peraturan-peraturan," tulis Jeffrey.
Kinderen adalah ahli hukum Belanda yang datang ke Hindia Belanda sejak 1848. Claudine Salmon dalam catatan kaki Buku 'Sastra Indonesia Awal' menyebut, Kideren menyelesaikan doktor hukum di Leiden pada 1847. Di Hindia Belanda ia seorang yang terkemuka dalam sistem peradilan, sampai mencapai posisi puncak sebagai Presiden Mahkamah Agung Hindia Belanda pada 1871.
Tuanku Laras yang hadir dalam rapat Kinderen, merupakan jabatan baru yang ada di Minangkabau sejak 1823, saat Belanda menyusun pemerintahan di Padang. Jabatan ini dikenal dengan sebutan Tuanku Lareh atau Angku Lareh dalam perbincangan sehari-hari di Minangkabau.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam sebuah wawancara sebelumnya dengan Langgam.id menyebut, di bawah gubernur, pemerintah Kolonial di Sumbar menerapkan pemerintahan ganda.
Untuk pemerintahan orang Belanda, ada residen yang memimpin keresidenan, dan di bawahnya ada afdeeling yang dipimpin kontroleur atau asisten residen. Di samping itu juga pemerintahan yang dipimpin oleh orang Minang. Ada regen yang memimpin keregenan, di bawahnya ada tuanku Laras yang memimpin kelarasan. Tiap tuanku laras, memimpin beberapa nagari.
Wilayah Keresidenan, keregenan dan kelarasan ini berulangkali berubah-ubah, sesuai dengan kepentingan ekonomi dan pertahanan Belanda. Belakangan, keregenan mereka bubarkan sama sekali. (Baca: Bubarnya Keregenan Padang, Akhir Cerita Urang Awak dalam Pemerintahan Kolonial)
Sistem pemerintahan sentralistis ini kemudian diselaraskan dengan sistem hukum yang juga terpusat dan di bawah kontrol pemerintahan kolonial.
Usai pertemuan dengan para tuanku lareh dan penghulu, menjelang akhir abad ke-19 di Padang didirikan Landraad pertama yang mengadili perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama. Landraad kedua mereka dirikan di Sawahlunto pada 1912 dan kemudian beberapa Landraad lainnya.
Untuk hukum materiil, menurut Jeffrey, pada 1872, van Harencarspel, yang menyebut diri sendiri secretaris basar pemerintah kolonial, membuat draf peraturan-peraturan yang mengontrol pergerakan dan perilaku domestik untuk semua penduduk non-Eropa koloni.
Kemudian, pada 1894, direktur Sekolah Radja menerjemahkan dan mengadaptasi Undang-Undang Polisi untuk dicocokkan dengan keadaan Minangkabau.
"Undang-Undang polisi ini, mencakup peraturan secara luas untuk mengontrol masyarakat, khususnya untuk menjaga ketertiban umum, keamanan, moral dan kesehatan," tulisnya di catatan kaki.
Undang-undang tersebut, menetapkan hukuman denda bukan hanya untuk pergerakan dan residensi yang tidak berizin tapi juga untuk apa yang dianggap perilaku tidak pantas di dalam rumah gadang.
"Denda-denda dijenjang menurut pelanggaran dan mengungkapkan apa saja yang menjadi prioritas Belanda."
Sebagian besar pelarangan ini mudah diawasi, diselidiki dan dibuktikan. Seperti salah diam, salah bermalam dan pembuatan senjata. "Tindakan-tindakan kriminal lain sehubungan hawa nafsu jauh lebih sulit dibuktikan dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan atas kesaksian dan tuduhan."
Selain undang-undang tersebut, juga ada beberapa upaya kodifikasi hukum adat menjadi hukum tertulis gaya sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Belanda.
Menurutnya, orang Minangkabau berusaha membereskan perselisihan tanpa bergantung pada Belanda. Namun, perbedaan-perbedaan yang tidak bisa diselesaikan membuat sistem peradilan kolonial menjadi arbitrator pilihan terakhir.
"Sistem legal baru itu, tentu saja, menghasilkan juga ahli-ahli hukum pribumi, jaksa dan jurusita," tulisnya.
Sepuluh tahun setelah rapat pertama, pada 14 Desember 1875 Kinderen mengadakan lagi rapat sejenis. Ia mengevaluasi sejauh mana keberhasilan penerapan birokrasi legal di Sumatra Barat.
Menurut Jeffrey, upaya Belanda mempengaruhi Minangkabau ke dalam budaya gugat-menggugat secara hukum sebagian besar berhasil. "Walaupun upaya-upaya untuk meregulasi perkawinan diblok."
Selama bergenerasi-generasi di bawah Belanda, tulis Jeffrey, Minangkabau hidup di bawah hukum kolonial dan diawasi oleh polisi pribumi. Denda diterapkan, dan kegagalan membayar berarti masuk penjara selama beberapa waktu.
Sistem legal kolonial, menurut Jeffrey Hadler, adalah satu lagi intrusi (penerobosan) ke dalam rumah gadang. Hal ini sudah dimulai selama Perang Padri dan tapi bertambah cepat dan dibuat prosedural setelah rapat-rapat yang digelar oleh Kinderen. (HM)