Langgam.id - Utusan tiga komunitas adat di Pulau Sipora memenuhi uma Saurenue beberapa waktu lalu, untuk bertemu dengan utusan Kantor Staf Presiden (KSP). Pertemuan tersebut merupakan agenda mendadak untuk menyampaikan penolakan masyarakat atas izin PT SPS seluas 20.706 ha di Hutan Sipora.
Tiga komunitas adat yaitu Uma Saureinu dari Desa Saureinu yang memiliki luas wilayah adat 7.846 ha. Lalu Uma Usut Ngaik dan Uma Rokot dari Desa Matobek, masing-masing memiliki luas wilayah adat luas 1.016 ha dan 941 ha.
"Awalnya kami diundang untuk pertemuan di dinas tapi waktunya sudah mepet baru dikabarkan. Ternyata KSP ini ada agenda kunjungan ke desa, saat itu kami langsung agendakan pertemuan di uma," ujar anggota Uma Saurenue Nulker Sababalat, tempo hari.
Dalam pertemuan itu, KSP menjaring aspirasi dari masyarakat terkait penolakan izin PT SPS. Utusan pemerintah pusat itu juga menerima langsung surat penolakan yang telah ditandatangani oleh lembaga adat serta masyarakat yang memiliki lahan.
Pemerintah, kata Nulker juga harus menghormati hutan adat Mentawai baik yang telah memiliki sertifikat oleh kementerian atau belum. Sebab, tidak ada tanah yang tidak bertuan di hutan Mentawai.
"Dari leluhur dulu sampai sekarang kehidupan orang Mentawai tidak bisa dipisahkan dari hutan. Jadi biarkan kami yang mengelola hutan kami," katanya.
Di samping itu, Nulker menyebutkan jika hutan dikuasai oleh perusahaan akan menimbulkan kerusakan yang bisa menyebabkan bencana. Seperti banjir yang melanda sejumlah desa pada Juni lalu yang berujung dengan penetapan masa tanggap darurat selama 14 hari oleh pemerintah daerah.
Dalam pertemuan tersebut KSP berjanji akan memastikan tidak ada hutan adat yang telah bersertifikat masuk area konsesi PT SPS. KSP juga akan mengagendakan rapat lintas kementerian untuk mengevaluasi PBPH PT SPS.
Selain dengan masyarakat, KSP juga bertemu dengan Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana. Kepada Langgam.id, Rinto menyatakan penolakannya terkait izin PT SPS saat bertemu dengan KSP.
Ia juga menyayangkan tidak adanya kewenangan dari pemerintah daerah dalam proses izin PT SPS ini. "Akibatnya sekarang di tengah masyarakat muncul pro kontra, sedangkan kita pemerintah daerah yang harus menghadapinya. Semetara kita tidak ada kewenangan, semuanya terpusat di pusat," ujarnya.
Salah satu utusan KSP, Sukriansyah Latif Tenaga Ahli UTama Kedeputian II belum merespons upaya wawancara yang telah disampaikan terkait kunjungan mereka ke Sipora, Mentawai. (*/Yh)