Ruang Dialog yang Hilang: Menyoal Relasi Kuasa Dosen dan Mahasiswa

Ruang Dialog yang Hilang: Menyoal Relasi Kuasa Dosen dan Mahasiswa

Ilustrasi suasana kuliah. (Gambar: Chatgpt) Box: penulis (dok. pribadi)

Oleh: Muhammad Genta

Di balik megahnya gedung-gedung perguruan tinggi, tersimpan realitas yang kerap terabaikan: relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa yang tidak seimbang. Ketimpangan ini bukan semata-mata karena perbedaan usia atau gelar akademik, melainkan karena struktur budaya akademik yang masih menyisakan jejak feodal. Suara mahasiswa, alih-alih didengarkan sebagai bagian dari proses pembelajaran, sering kali diposisikan sebagai gangguan, bahkan ancaman terhadap otoritas.

Dalam ruang kelas, komunikasi kerap berjalan satu arah. Dosen menyampaikan, mahasiswa menerima. Dosen menetapkan, mahasiswa melaksanakan. Tidak semua dosen berlaku demikian, tentu saja, tetapi sistem pendidikan tinggi kita masih menjadikan dosen sebagai pusat otoritas tunggal. Inilah yang menciptakan batasan tidak kasat mata dan menyulitkan dialog yang sehat tumbuh dan berkembang.

Tak jarang mahasiswa merasa ragu untuk bertanya, apalagi menyampaikan kritik. Bukan karena tidak memiliki gagasan, tetapi karena takut dianggap lancang atau tidak sopan. Pertanyaan yang seharusnya menjadi jembatan menuju pemahaman sering kali justru diterima dengan dingin, bahkan diabaikan begitu saja. Di titik inilah kita harus bertanya ulang: untuk siapa sebenarnya ruang kelas itu dibentuk?

Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brazil, pernah mengkritik keras model ”banking education” pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh guru (Ibrahim, 2023). Dalam pandangan Freire, pendidikan sejati haruslah bersifat dialogis; pengajar dan pelajar saling belajar, saling mendengarkan, dan bersama-sama membentuk pemahaman yang perlahan menjelma menjadi cahaya pemikiran yang hidup dan menerangi. Ketika ruang kelas kehilangan semangat dialog, maka ruang kelas kehilangan esensinya sebagai ruang pembebasan.

Sayangnya, semangat dialogis ini belum menjadi budaya dalam banyak ruang kelas di Indonesia. Mahasiswa yang aktif sering kali dicurigai; yang kritis dianggap melawan; yang diam, diuntungkan secara administratif. Padahal, pendidikan bukan hanya tentang menyerap pengetahuan, melainkan tentang membangun keberanian berpikir dan bertanya.

Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, kita justru menemukan nilai-nilai egaliter yang menginspirasi. Sistem halaqah dan liqa' menempatkan murid bukan sebagai objek pasif, melainkan subjek aktif yang berhak menyampaikan pendapat, mengkritisi, bahkan mengembangkan pemikiran gurunya. Imam Syafi’i dikenal karena keterbukaannya terhadap perdebatan ilmiah, termasuk dari murid-muridnya. Dalam banyak kitab klasik, perbedaan pendapat antar ulama bahkan dicatat dan dihargai sebagai bagian dari dinamika keilmuan.

Model halaqah tidak hanya mengandalkan otoritas guru, tetapi juga mengakui bahwa kebenaran tidak bersifat absolut kecuali berasal dari wahyu. Dalam lanskap pendidikan seperti ini, penghormatan pada guru tidak berarti membungkam kritik, melainkan membangun adab dalam berpikir dan berdialog. Ini adalah warisan keilmuan Islam yang hari ini patut kita hidupkan kembali.

Berbeda dengan suasana kampus saat ini, di mana mahasiswa sering kali harus menunggu giliran untuk mengajukan pertanyaan dan menjaga nada suara agar tidak menyinggung pihak manapun. Kritik terhadap sistem kerap dipandang sebagai tindakan pembangkangan. Simbol-simbol akademik lebih sering digunakan sebagai alat kekuasaan daripada sebagai sarana untuk mendorong dialog.

Michel Foucault mengingatkan bahwa pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan (Foucault, 1979). Dalam konteks pendidikan, ini berarti siapa yang menguasai akses terhadap pengetahuan, berpotensi mengendalikan narasi dan membungkam suara lain. Menyadari hal ini menjadi krusial agar otoritas akademik tidak berubah menjadi kekuasaan yang mengekang ruang belajar dan mematikan potensi dialog.

Sudah saatnya kita menata ulang wajah pendidikan tinggi. Ini bukan hanya soal kurikulum, akreditasi, atau teknologi pembelajaran, melainkan tentang bagaimana relasi manusia di dalamnya dibangun. Dosen tidak akan kehilangan wibawa dengan membuka ruang diskusi yang setara. Justru dari sanalah muncul teladan sejati seorang intelektual yang rendah hati dan bijak.

Mahasiswa pun bukan pemberontak ketika bertanya. Mereka adalah manusia-manusia belajar yang sedang bertumbuh. Jika mereka tak diberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan mengembangkan nalar kritis, maka kampus hanya akan menjadi tempat pengulangan, bukan pertumbuhan.

Sebagai langkah konkret, institusi pendidikan perlu menciptakan sistem evaluasi partisipatif yang memberi ruang bagi mahasiswa menyampaikan suara mereka bukan hanya dalam survei kepuasan, tetapi dalam perumusan kurikulum, pengelolaan kelas, dan pengembangan budaya akademik. Dosen pun didorong untuk mengikuti pelatihan pedagogi kritis agar lebih sadar akan urgensi untuk menciptakan ruang kelas yang dialogis dan inklusif.

Tradisi Islam dan teori pendidikan modern sama-sama menunjukkan bahwa relasi kuasa tidak boleh menutup ruang dialog. Justru melalui dialog yang jujur dan setara, pendidikan bisa menjadi jalan pembebasan; bagi mahasiswa, dosen, dan institusi itu sendiri.

Kita hanya perlu keberanian untuk membuka ruang itu kembali. Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang siapa yang lebih tahu, tetapi siapa yang mau terus belajar bersama. (*)

Penulis: Muhammad Genta (Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis, UIN Sunan Ampel Surabaya)

Baca Juga

Gaya Hidup New Normal
Keterbukaan Informasi di Sektor Pendidikan Harus Dibenahi
Alarm Integritas: Menyontek dan Plagiarisme Masih Membayangi Sekolah dan Kampus di Indonesia
Alarm Integritas: Menyontek dan Plagiarisme Masih Membayangi Sekolah dan Kampus di Indonesia
UBH Jalin Kerjasama dengan Universiti Malaya Malaysia
UBH Jalin Kerjasama dengan Universiti Malaya Malaysia
Opini “Bersyukur Masih Nomor Dua” oleh Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat Periode 2005-2009), mengangkat isu tentang capaian pendidikan
Refleksi Kritis Pendidikan di Minangkabau
SMAN 3 Padang Panjang Jalin Kolaborasi dengan Lithuania dan Jepang
SMAN 3 Padang Panjang Jalin Kolaborasi dengan Lithuania dan Jepang
Dua PTN di Sumatra Barat masuk 30 kampus terbaik di Indonesia versi EduRank 2024. PTN tersebut yaitu Universitas Andalas (UNAND) dan UNP.
30 Kampus Terbaik di Indonesia Versi EduRank, 2 dari Sumbar