Langgam.id - Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menyempurnakan susunan kabinet pada 31 Maret 1949. Keanggotaan kabinet diperlengkap dengan para menteri yang masih aktif di Pulau Jawa.
"Termasuk Mr. Maramis, menteri keuangan dalam Kabinet Hatta, yang diangkat sebagai menteri luar negeri PDRI berkedudukan di New Delhi, India," tulis Sejarawan Universitas Negeri Padang Mestika Zed, dalam Buku 'Somewhere in The Jungle: Pemerintahan Darurat Republik Indonesia' (1997).
Reshuffle kabinet darurat PDRI itu terjadi tepat 70 tahun yang lalu dari hari ini, Ahad (31/3/2019). Berikut susunan kabinet PDRI yang diumumkan Sjafruddn tersebut:
Dalam kabinet baru ini, terjadi perubahan wakil ketua PDRI, dari Mr. Teuku Muhammad Hasan kepada Mr. Susanto Tirtoprodjo. Agaknya, hal ini untuk mengkoordinasikan para menteri baru yang berada di Pulau Jawa.
Menurut Mestika, perubahan kabinet ini bermula dari telegram Ketua PDRI kepada para menteri di Pulau Jawa pada 14 Maret 1949.
Sjafruddin meminta usul untuk menyempurnakan kabinet PDRI dengan memasukkan sejumlah nama menteri yang masih aktif dan tidak ikut ditawan bersama Presiden Sukarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri pada Kabinet Hatta II.
Para pemimpin tersebut memang ditawan Belanda di Prapat dan Bangka, tatkala Tentara berhasil menguasai Yogyakarta dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.
Sjafruddin beserta sejumlah tokoh yang berada di Bukttinggi kemudian mendirikan PDRI untuk menjaga eksistensi pemerintahan Republik. Karena komunikasi terputus, maka menteri dan anggota kabinet PDRI yang dibentuk pada 22 Desember 1948 baru para tokoh yang ada di Sumbar bersama Sjafruddin, ketika itu.
Satu-satunya tokoh di Pulau Jawa yang masuk kabinet sejak awal adalah Panglima APRI Letjen Sudirman Agaknya, Sudirman sudah diketahui sejak awal tidak ikut ditangkap, tapi bergerilya di hutan-hutan Pulau Jawa.
Berikut komposisi kabinet PDRI saat pertama kali diumumkan:
Dari komposisi ini, dapat dilihat, mereka yang baru masuk ke dalam kabinet setelah reshuffle adalah Mr. Susanto Tirtoprodjo, dr Sukirman, IJ Kasimo dan KH. Masjkur yang berada di Pulau Jawa serta Mr. AA Maramis yang berad di India.
Mr. Susanto Tirtoprodjo, wakil ketua PDRI adalah menteri kehakiman dalam lima kabinet sebelum Agresi Militer II. Ia sudah jadi menteri sejak Kabinet Sjahrir III, Amir Sjarifuddin I dan II serta Hatta I dan II. Susanto yang lahir di Solo adalah lulusan Rechtsschool (Sekolah Hakim) Jakarta.
Dokter Sukirman yang menjabat menteri dalam negeri (Mendagri) dan menteri kesehatan di Kabinet Darurat, sebelumnya adalah menteri kesehatan dalam Kabinet Hatta I.
Sementara, IJ Kasimo yang dipercaya jadi menteri kemakmuran merupakan mantan menteri muda kemakmuran pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II serta menteri persediaan makanan rakyat pada Kabinet Hatta II. KH. Masjkur yang jadi menteri agama, sebelumnya sudah menduduki jabatan yang sama sejak Kabinet Amir Sjarifuffin II dan Hatta I.
Empat menteri di Pulau Jawa ini tidak ditawan Belanda, karena tidak di Jogja saat Belanda menyerbu.
Menurut Mestika, Susanto, Sukirman dan Kasimo berserta Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno sedang berada di Solo. Ketika tahu tentara menyerang, mereka mengungsi ke lereng Gunung Lawu.
Empat menteri ini tidak tahu ada mandat dalam rapat kabinet kepada Sjafruddin di Sumatra. Keempatnya berinisiatif berbagi tugas menjalankan tugas pemerintah pusat. Keputusan tersebut kemudian diumumkan melalui Pengumuman Pemerintah Pusat No.1 tanggal 20 Desember 1948.
"Di situ tidak ada penegasan berdirinya pemerintahan darurat, meskipun prakarsa mereka itu kemudian dikenal sebagai Pemerintahan Darurat Yogya," tulis Mestika.
Empat menteri ini ditambah dengan Menteri Agama KH Masjkur kemudian berpencar sambil bergerilya. Sementara, Panglima Jawa Kolonel AH Nasution mengkonsolidasikan pemerintahan militer di setiap provinsi di Pulau Jawa.
"Menjelang pertengahan Januari, formasi pemerintahan militer di Pulau Jawa sudah mulai kelihatan sosoknya," tulis Mestika.
Demikian pula militer. Panglima Besar Sudirman memimpin dari basisnya di Desa Sobo. Wakil Staf Umum APRi Kolonel Simatupang membangun basis di Banaran, sementara Panglima Jawa Kolonel Nasution bermarkas di Prambanan.
Mestika menyebut, sekitar pertengahan Januari 1949, koordinasi pusat-pusat pemerintahan darurat yang berpencar-pencar di Pulau Jawa sudah mendekati sempurna.
Setelah itulah, kontak dengan Kabinet Darurat yang sudah mulai bermarkas di Bidar Alam mulai terjalin. Dimulai dari Simatupang pada 29 Januari 1949, Nasution pada 12 Februari 1949, kemudian baru Panglima Sudirman dan para menteri.
Pada 7 Maret 1949, Kasimo mengumumkan terbentuknya Komisaris Pemerintah Pusat di Pulau Jawa dan bertanggung jawab kepada PDRI di Pulau Sumatra.
Komunikasi semakin intens setelah itu. Kemudian, bermuara Pada 30 Maret 1949 saat semua masukan diberikan oleh Susanto Tirtoprodjo kepada Ketua PDRI melalui radiogram. (Baca: Antara Bangka dan Bidar Alam, Awal Soal Internal Saat PDRI)
Koordinasi para pemimpin di Sumatra dan Pulau Jawa zaman PDRI, menurut Mestika, telah menempatkan kesejajaran pandangan tentang masa depan bangsa. Usaha tersebut, makin mudah setelah usaha Hatta mengintegrasikan Sumatra dan Jawa sejak sebelum Agresi Milter I pada 1947.
"Meskipun agresi Belanda telah membinasakan hubungan antar kedua pulau, selama Maret dan April 1949, beberapa bentuk penyesuaian dalam kepemimpinan di Jawa dan Sumatra sudah berlangsung sedemikian rupa. Hingga, menempatkan PDRI sebagai wujud nyata perjuangan nasional di zaman gerilya." (HM)