Tarikh 21 Mei 1998 menghimpun banyak hal. Mulai dari doktrin Ibuisme di bawah kangkang negara patriarki (Suryakusuma, 2004 & 2010), ingatan buruk kejahatan kemanusiaan, syahwat kekuasaan yang khianat di atas dalih stabilitas keamanan nasional, gairah pembangunan yang sentralistik, hingga ingatan kolektivisme, ledakan perlawanan, tumbangnya tiga dekade kediktatoran dan dikunci dengan kemenangan demokrasi atas despotisme. Secara kolektif seluruhnya dijahit dalam ingatan: Reformasi.
Sejauh ingatan menjemput ke belakang, secara proporsional, Reformasi bukanlah sebuah peristiwa tunggal. Reformasi hanyalah seutas ujung dari sebuah akhir dan secara paradoks juga menjadi pangkal dari sebuah awal. Reformasi adalah ujung dari perjalanan panjang rezim yang dibangun di atas mayat jutaan korban pembantaian terorganisir (Melvin, 2018), ia adalah akhir dari petualangan panjang kroni bisnis, militer dan mata rantai oligarki. Pada saat yang sama, Reformasi juga adalah sebuah langkah pertama menuju kehidupan demokrasi yang kemudian dijalankan setengah hati, gerbang dimulainya babak baru dalam drama pembantaian berikutnya oleh negara yang haus darah. Reformasi bersama Agendanya, adalah epitaf bagi Indonesia: negara yang lahir setelah sebuah penculikan, dilahirkan kembali dalam kudeta dan dibaptis dengan darah pembantaian (May, 1978).
Demokrasi Terpimpin dan “Orde Baru” sebagai Terma
Orde Baru bukan sekadar istilah yang mengidentifikasi rezim. “Orde Baru” adalah terma yang menggambarkan adanya dikotomi antara masa lalu yang hendak diruntuhkan sekaligus gerakan kontemporer pada masanya. Penolakan atas tatanan lama itulah yang kemudian menghasilkan sebuah garis pembatas yang begitu keras sehingga Orde Baru berusaha mengganti istilah Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dengan Orde Lama, terma politik lain yang menggambarkan nilai-nilai tak terpakai dan harus ditinggalkan.
Berbicara tentang bagaimana Orde Baru berdiri tidak akan dapat dipisahkan dari syahwat kekuasaan Sukarno yang berhaluan pada politik penggalangan massa dan campur tangan militer di panggung politik nasional. Secara anomali keduanya justru menjadi alat yang dimanfaatkan secara tangkas oleh Suharto sekaligus senjata makan tuan yang menjungkalkan Sukarno dari tampuk kekuasaannya.
Bersama Tan Malaka, Hatta, Syahrir dan lainnya, Sukarno adalah produk intelektual generasi pertama Indonesia yang menerima insentif atas politik balas budi kolonial, Trias van Deventer. Bila tiga nama sebelumnya memperoleh pendidikan Eropa yang kosmopolitan-liberalis, Sukarno justru memperoleh pendidikan ketika gairah nasionalisme menjangkiti pemuda-pemuda Hindia Belanda yang kecanduan pergerakan. Berjarak ribuan kilometer dari kampung halaman, Tan Malaka, Hatta dan Syahrir karib dengan gerakan kebangkitan negara-negara terjajah di tengah situasi intelektual global yang anti-imperalisme. Sementara lokus intelektual Sukarno dipupuk oleh kultur Jawasentris (manunggaling kawula gusti) yang mengikatkan diri pada politik patronisme antara pemimpin dan rakyat. Tradisi inilah yang sangat mempengaruhi pola perilaku politik Sukarno yang kental dengan konsep negara organis di mana kekuasaan menunggal kepada pemimpin sekaligus menunggalkan trilogi politik: kekuasaan, pemimpin dan negara.
Dari sinilah Sukarno menemukan haluan politiknya yang berbasis massa dengan memperoleh legitimasi kultural di mana bangsa direduksi dalam satu kategori abstrak. Maka muncullah Sukarno sebagai solidarity maker. Sukarno beranggapan bahwa negara mesti ditata sebagai sebuah kesatuan yang menubuh dan seragam, di mana Presiden adalah satu dengan individu yang mengemban jabatannya. Maka terciptalah kekuasaan Bapakisme yang patriarkis dengan mengkonstruksi negara-bangsa sebagai keluarga besar. Dan di bawah kuasanya berjalanlah politik kekuasaan yang manipulatif untuk menyederhanakan sekaligus menyeragamkan corak kultural menjadi entitas kolektif tunggal.
Kecenderungan ini dapat dilacak dari berbagai karya intelektual Sukarno sejak dekade 1920-an yang hendak menyatukan segala potensi politik dalam satu komando. Dua jilid antologi Di Bawah Bendera Revolusi adalah cermin yang dapat merefleksikan benih watak politiknya. Itulah mengapa sepanjang kekuasaannya Sukarno menggemari terma-terma komando-sentris yang dilekatkan kepadanya. Kecenderungan itu pula yang diakui Sukarno kepada Cindy Adams, bahwa ia sangat mencintai dirinya sendiri (Adams, 2014). Konflik dan dinamika politik negara muda Indonesia kemudian menciptakan pola kekuasaan yang bersalin rupa antara dua diktator.
Setelah negara federal gulung tikar, Indonesia menghadapi episode sejarah baru ketika konflik internal kian menebal. Di tengah upaya politik menjegal Dewan Konstituante merumuskan undang-undang dasar baru (Adnan Buyung, 2009), serta meruncingnya konflik antara AD dan PKI, Nasution, yang kala itu menjabat Panglima ABRI, melalui pidato 13 November 1958 di Akademi Militer Negara menggagas agar militer mendapat tempat dalam politik negara. Gayung bersambut, gagasan Nasution dan konflik berkepanjangan antara AD dan PKI yang berebut pengaruh politik Sukarno sejalan dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Logika politik Sukarno dapat ditebak, dua potensi politik yang saling adu hantam itu seharusnya dirangkul melalui trilogi Nasakom.
Malang bagi Indonesia dan sial bagi Sukarno, langkah politiknya ternyata menjadi bom waktu. Konflik internal AD dan baku hantam berkepanjangan dengan PKI melahirkan gosip berdirinya Dewan Jenderal (Anderson dan McVey, 1971). Gosip ini kemudian ditutup dengan G30S yang berdarah itu dan tahun-tahun panjang atraksi pembantaian (Hadi, dkk, 2017 & Melvin, 2018). Atraksi militer yang lebih seperti amuk dendam Sarwo Edhie Wibowo atas kematian patronnya, Ahmad Yani (Wanandi, 2014 & Pour, 1993)
Syahdan, Soeharto tangkas memainkan peran. Di hari-hari awal G30S, AD berhasil mengkambinghitamkan musuh lamanya yang terjepit di tengah keterpurukan. Pada Seminar AD II di Bandung (25-31 Agustus 1966), AD mengajukan 3 pokok pikiran yang salah satunya menghendaki pemikiran lama ditinggalkan dan dibentuknya tatanan baru (Orde Baru) untuk menciptakan kehidupan politik, ekonomi, sosial, kultural berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dilaksanakan secara murni dan konsekuen (Panggabean, 1993). Sejauh catatan sejarah, momen itulah kali pertama istilah Orde Baru diperkenalkan dan kemudian digunakan untuk menyebut koalisi tentara, mahasiswa, intelektual dan muslim yang menentang Sukarno beserta ajarannya dan PKI (Cribb dan Kahin, 2004). Dengan kata lain, genealogi Orde Baru berasal dari berpilinnya kepentingan infra dan suprastruktur politik di mana militer, terutama AD, memainkan peran politik pada jarak yang belum terjangkau sebelumnya.
Gayung bersambut datang timpa-bertimpa bagi Soeharto yang oportunis. Jajaran Perwira Tinggi AD yang meregang nyawa di malam jahanam itu meninggalkan kekosongan kursi komando. Selain Soeharto, para jenderal yang tersisa terdegradasi dari kepercayaan sesama perwira tinggi akibat sekelumit pertalian politik dengan PKI (Reksosamodra, 2002 & Abdullah, Abdurrachman, Gunawan, 2013). Sejarah selanjutnya melukiskan bagaimana Suharto melenggang dari Panglima Kostrad menjadi acting Presiden dalam kronik ’65.
Sukarno dan huru-hara politik ‘65 bukan hanya mewariskan pembantaian besar-besaran dan inflasi hingga 600% yang kemudian mampu dipulihkan oleh tim ekonomi Soeharto, ia juga mewariskan cetak biru pola perilaku politik kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan dengan cerdik oleh Suharto. Pemupukan konsep negara organis pada periode Demokrasi Terpimpin, Bapakisme negara-keluarga (Shiraishi, 1997), pelibatan militer di panggung politik (Crouch, 2007) dan purwarupa partai tunggal (staatspartij) (Reeve, 2013) adalah warisan kediktatoran yang tinggal dipoles Soeharto. Narsisisme Sukarno bersalin rupa menjadi penghambaan kepada Bapak Soeharto dan keluarganya yang dikonstruksikan sebagai role model keluarga Indonesia yang ideal. Dan kekuasaan Bapak kepala keluarga melegitimasi kedigdayaan Orde Baru.
Pola perilaku kekuasaan Demokrasi Terpimpin menjadi fondasi bagi Orde Baru. Meski zaman berubah, sejarah tetap lahir dari pola interaksi sosio-politik yang berjalan pada poros perubahan dan perkembangan masyarakat. Kecenderungan itu mengakibatkan sejarah akan terus berulang meski dalam bentuk berbeda namun selalu berangkat dari pola yang relatif sama.
Konstruksi Ingatan Kolektif
Bagi mereka yang menjadi saksi mata, atau pelaku sejarah, pun terlahir pada awal dekade 1990-an, peristiwa reformasi adalah kronik bertajuk “Krisis Moneter”. Setelah mencapai pertumbuhan ekonomi gemilang yang rata-rata mencapai 7,3% per tahun sepanjang 1965-1990 (World Bank, 1993), Indonesia terjebak dalam krisis ekonomi dunia yang mengakibatkan kerentanan laju inflasi yang begitu tinggi. Pada 1993, misalnya, inflasi pernah di angka 9,8% yang baru mereda pada tahun 1996 di angka 6,5% (Winarno & Sumarlin, 2012). Persoalan kian pelik ketika Thailand mengalami krisis pada Juli 1997 yang berimbas pada Indonesia yang mengeluarkan arus modal dalam jumlah besar ke negeri Gajah Putih. Untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Bank of Thailand mengambil sikap untuk mengembangkan nilai mata uang, sebuah langkah yang harus diikuti oleh Bank Indonesia untuk mengimbangi nilai pasar modal sehingga nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika harus mengikuti mekanisme pasar. Kebijakan inilah yang mengakibatkan inflasi kian parah di Indonesia. Semula, Rupiah berada di kisaran Rp. 2.500,00 per Dollar Amerika, setelahnya mengalami penurunan menjadi Rp. 4.000,00 per Dollar Amerika, menurun 9%.
1998 masih berbilang hari, hari di mana mimpi buruk yang tak terbayangkan oleh Orde Baru menjadi kenyataan. Kala itu inflasi mencapai puncaknya ketika Rupiah merosot hingga Rp. 17.000,00 per Dollar Amerika (Ricklefs, 2009). Kemorosotan itu mengakibatkan Bursa Saham hancur di titik yang belum pernah dialami Orde Baru. Melemahnya nilai tukar Rupiah memaksa Suharto memintas jalan melalui pinjaman kepada IMF pada tanggal 15 Januari 1998, dan mengucurlah dana segar 43 Miliar Dollar Amerika. Namun paket kebijakan ekonomi yang diwajibkan IMF bersama dana segarnya justru gagal total. Dari sinilah kerusuhan massal berskala nasional itu dimulai. Kerusuhan massal yang membawa Indonesia pada Reformasi.
Jamak diketahui bahwa nilai tukar mata uang dan stabilitas ekonomi sangat ditentukan oleh stabilitas politik dan keamanan. Gagalnya paket kebijakan ekonomi secara beruntun mengakibatkan Rupiah terus anjlok dan harga sembako kian melejit. Hal itu diperparah dengan watak kekuasaan Orde Baru yang sentralistik, militeris dan korup yang mengakibatkan keresahan di kalangan intelektual dan tokoh politik setidaknya sejak pertengahan dekade 1970-an. Berkelindannya persoalan skala raksasa ini bertemu di satu titik, ketakpercayaan pada pemerintahan Suharto.
Reaksi intelektual, akademisi, politisi dan mahasiswa, kerap disebut Kelompok Reformis, yang menghendaki Suharto mundur dipertemukan dengan adanya perpecahan dalam tubuh ABRI dan mulai renggangnya hubungan Suharto dengan para punakawannya. Kala itu dalam tubuh ABRI setidaknya terdapat dua faksi besar, ABRI Merah-Putih dan ABRI Hijau, yang tumbuh setelah peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Dikotomi ini semula disebabkan oleh sentimen agama di antara Perwira Tinggi militer. ABRI Merah-Putih merupakan tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama, sementara ABRI Hijau adalah tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam serta pemimpin ormas Islam (Zein, 2004. Zon, 2004. Subroto, 2009). Sejarah berulang, faksi inilah yang di tengah keadaan sulit justru berebut pengaruh pada pengambilan kebijakan politik Suharto yang mengakibatkan kian tebalnya pembelahan atas dikotomi di kalangan petinggi militer.
Semua persoalan itu bertumpuk di tengah laju inflasi yang riskan, dan Kelompok Reformis berhasil memainkan peran vital untuk mencuri perhatian beberapa kalangan di antara dua faksi tersebut. Dengan kata lain, semangat Reformasi yang menghendaki Suharto mundur telah menjalar di antara para Jenderal TNI, terutama AD. Nilai tawar Suharto kian menurun ketika 14 Menteri di bidang ekonomi mengundurkan diri berjamaah dari Kabinet Pembangunan VII pada tanggal 20 Mei 1998 (Kartasasmita, 2013 & Habibie, 2006), sisanya adalah sejarah. (*)
Ilhamdi Putra, S.H., M.H. merupakan dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas