Refleksi Hari Bumi 2022: Sumbar Darurat Deforestasi

Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Di Sumbar banyak pembukaan perkebunan dengan membakar hutan dan deforestasi.

Ilustrasi. [foto: canva.com]

Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Kepala Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar Tommy Adam mengatakan, di Sumbar banyak pembukaan perkebunan dengan membakar hutan dan deforestasi.

Langgam.id - Berdasarkan data analisis di laman globalforestwatch.org, pada tahun 2001, Sumbar punya 2,26 juta hektare hutan primer (54 persen luas daratan).

Namun saat ini, luas hutan primer di provinsi ini tersisa 1.744.549 hektare, atau 41 persen luas wilayah adminsitrasi Sumbar.

Apabila berkaca dari data di atas, artinya dalam 21 tahun terakhir, Sumatra Barat kehilangan lebih kurang 515 ribu hektar hutan primer atau setara luas Kabupaten Pesisir Selatan.

Bila dirinci lebih jauh, setiap tahun sekitar 24 hektare hutan primer di Sumbar lenyap. Angka itu sebanding dengan luas Kota Padang Panjang.

Menurut Kepala Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar Tommy Adam, sejak dekade 1990-an hingga 2017, terjadi penurunan drastis kawasan hutan primer di Sumbar.

Penurunan kawasan hutan itu didorong karena massifnya ekspansi perkebunan dan alih fungsi hutan.

"Betapa massifnya alih fungsi hutan, pengurangan cadangan karbon terjadi pada hutan primer mencapai 10 juta hektar," kata Tommy dalam webinar yang diselenggarakan AJI Padang bertajuk Dampak Perubahan Iklim terhadap Bencana Alam di Sumbar, Rabu pekan lalu.

Kata Tommy, dengan luas kawasan hutan yang tersisa di Sumbar saat ini, akan menjadi ancaman serius apabila salah kelola.

Di lain sisi, laju penurunan luas kawasan hutan di Sumbar turut mendorong pelepasan emisi karbon ke atmosfer. Hal ini akan berimbas pada naiknya suhu bumi, dan mencairnya es di kutub.

"Dalam 30 tahun terakhir, kita bisa melihat hutan yang berada di sepanjang Bukit Barisan sudah mengalami perubahan fungsi," katanya.

Tommy mengatakan, kesadaran akan krisis iklim di tingkat lokal menjadi penting. Sebab, dia melihat bahwa hari ini dampak dari krisis iklim sudah mulai dirasakan oleh masyarakat secara langsung.

Menurut Tommy, emisi disebabkan karena lepasnya karbon yang ada di kawasan hutan. Ini dapat terjadi ketika terjadi deforestasi (aktivitas penebangan hutan) secara terencana dengan izin-izin pengelolaan hutan.

"Kalau di Sumbar ini banyak pembukaan perkebunan dengan membakar hutan dan deforestasi," katanya.

Tommy mengatakan, dampak krisis iklim sudah dirasakan di kawasan pesisir. Masyarakat pesisir kesulitan mendapat air karena adanya instrusi air laut ke daratan.

"Masyarakat pesisir mendapat air bersih lebih jauh ke daratan karena naiknya permukaan air laut." katanya.

Imbas perubahan iklim lainnya, kata Tommy, terlihat dari maraknya bencana ekologis seperti abrasi, longsor dan banjir di Sumbar setiap tahunnya.

Kata Tommy, risiko bencana di Sumbar sangat kompleks karena kondisi geografis yang beragam, mulai dari kawasan pesisir hingga pegunungan.

Sepanjang 2020, misalnya ungkap Tommy, Walhi Sumbar dalam catatan akhir tahunnya mencatat 780 bencana ekologis.

Namun, analisis Walhi Sumbar berdasarkan data Dinas ESDM Sumbar, saat ini terdapat sebanyak 72 Izin Perusahaan Pertamabangan (IUP) Minerba terdiri dari batubara, emas, pasir besi, galena, mangan dan timah hitam.

Pemanfaatan kawasan hutan oleh korporasi, catat Walhi, juga kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitaran kawasan hutan.

"Konflik masyarakat terkait dengan perkebunan kelapa sawit misalnya telah berjalan lebih dari 20 tahun di beberapa wilayah di Sumbar," tulis laporan tersebut.

Ancaman krisis iklim akibat deforestasi di semakin bertambah-tambah ketika hutan Mentawai dilepas melalui konsesi dan izin pengelolaan hutan oleh korporasi.

Selain mengancam lingkungan, langkah itu kerap membikin konflik dan terancamnya ruang hidup masyarakat adat.

Lantas?

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitrah mengatakan, bahwa kondisi perubahan iklim dan pemanasan global hari ini sudah mencapai titik krisis.

"Dampak dari perubahan iklim ini sudah mencapai titik krisis dan sudah kita rasakan di berbagai aspek," kata Syahrul dalam Webinar AJI Padang bertajuk Dampak Perubahan Iklim terhadap Bencana Alam di Sumbar, Rabu pekan lalu.

Krisis iklim itu, sebut Syahrul, tampak dari tingginya kenaikan suhu panel IPCC yang berada pada 1,09 derajat dari tahun 1900 hingga saat ini.

Sementara ambang batas kenaikan suhu yang disepakati dalam COP Paris Agreetment adalah 1,5 derajat celcius.

Mengacu pada kondisi kenaikan suhu tersebut, apabila pengambil kebijakan tidak serius merespon kondisi ini. Syahrul memprediksi kenaikan suhu bumi akan mencapai ambang batas.

Lebih lanjut, kata Syahrul, apabila pemerintah tidak serius merespons kenaikan suhu bumi, target dalam mewujudkan net zero emission (NZE) tidak akan tercapai.

"Bisa jadi sebelum itu itu kenaikan suhu bumi akan melewati 1,5 derajat celcius," katanya.

Prediksi itu, kata Syahrul, bukan tanpa alasan. Ia menilai sejauh ini pemerintah masih terlihat tidak serius dalam menanggapi isu krisis iklim. Padahal kondisi di lapangan sudah begitu krisis.

Dia menyebut, setiap tahunnya selalu terjadi kenaikan suhu bumi, dengan perubahan yang begitu ekstrem.

"Dampaknya banjir ada dimana-mana, hampir jadi konsumsi setiap hari yang disebabkan perubahan iklim," kata Syahrul.

Syahrul menambahkan bahwa kondisi itu disebabkan karena peran serta manusia yang mempengaruhi perubahan lingkungan. "Ini terjadi semakin massif setelah revolusi industri," ujarnya.

Terlebih lagi, sejak 1997 hingga saat ini, Syahrul menyebut bahwa kebakaran hutan terus terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Kebakaran hutan begitu massif terjadi pada 2015 yang menghanguskan 2,6 juta hektar hutan di Indonesia. Sementara pada 2019 berdasarkan riset, lebih dari 3 juta hektare.

"Kebakaran hutan ini mempengaruhi iklim kita," beber Syahrul.

Setengah Hati Komitmen Pemerintah

Bicara skala nasional, Syahrul menilai pemerintah tidak terlalu responsif merespons kenaikan suhu bumi. Padahal, IPCC telah merekomendasikan langkah-langkah yang mesti diambil.

"Perubahan gaya hidup adalah satu hal tapi tidak akan bertampak banyak. Bagi pemerintah harus mengubah kebijakannya, dan mengurangi bahan bakar fosil dan memunculkan energi terbarukan. Ini yang perlu," jelasnya.

"Ini tergantung pada pemerintah. Tapi sampai saat ini pemerintah tidak serius dalam mitigasi perubahan iklim," katanya.

Syahrul mengkritisi komitmen yang disampaikan pemerintah bahwa deforestasi turun secara statistik, padahal di balik itu upaya penurunan emisi mengalami pelemahan.

Hal itu tampak dari keberadaan regulasi yang tak berpihak pada keberlangsungan lingkungan

Syahrul berpendapat bahwa pernyataan pemerintah Indonesia di COP Glasgow tak sesuai dengan fakta di lapangan.

"Indonesia berkomitmen untuk melakukan 29% penurunan gas rumah kaca pada tahun 2030, tapi regulasi yang ada tidak memungkinkan hal itu, apalagi dengan keberadaan UU Cipta Kerja," katanya.

Di lain sisi, produksi energi kotor batu bara setiap tahunnya terus mengalami peningkatan.

Analisis Sayhrul, apabila ada mitigasi yang progresif, setelah 2030 emisi dapat berkurang dengan laju sekitar 30,7 Mton CO2/ tahun.

"Jika laju penurunan emisi itu dapat dipertahankan setelah tahun 2050, kita optimis menuju net zero emisi pada 2060," kata dia.

Baca juga: Perusakan Karang di Mentawai, Walhi Sumbar Ingin Polisi Gunakan Pasal Pidana

"Tapi pemerintah masih merencanakan penggunaan batu bara hingga 2050, ini sangat lama dan mengkhawatirkan," jelasnya.

Dapatkan update berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini dari Langgam.id. Mari bergabung di Grup Telegram Langgam.id News Update, caranya klik https://t.me/langgamid, kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga

Pemprov Janji Dukung BNN dalam Penanggulangan Narkoba di Sumbar
Pemprov Janji Dukung BNN dalam Penanggulangan Narkoba di Sumbar
Semen Padang FC akan menghadapi PSPS Riau di laga kedua Liga 2 2022/2023 pada Senin. Laga tandang perdana Semen Padang FC pada musim
Manajemen Semen Padang FC Kantongi 3 Calon Pelatih, Ada dari Sumbar
Mayoritas penduduk Sumatra Barat (Sumbar) adalah beragama Islam. Oleh karena itu, hampir di semua kabupaten/kota di Sumbar ditemukan banyak
Berikut 10 Kabupaten/Kota dengan Jumlah Masjid Terbanyak di Sumbar
Raih Cumlaude, Bupati Dharmasraya Resmi Menyandang Gelar Magister Administrasi Publik dari Unand
Raih Cumlaude, Bupati Dharmasraya Resmi Menyandang Gelar Magister Administrasi Publik dari Unand
Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Harga cabai di Pasar Raya Padang mengalami kenaikan jelang Ramadan. 
Siapkan Kebijakan Strategis, Gubernur Yakin Harga Pangan Sumbar Terkendali Saat Ramadan
Nasdem
DPR RI Dapil Sumbar I: Sengit Perebutan Kursi Kedua Nasdem