Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) akan menggelar rapat kerja nasional (Rakernas) ke XV, bersamaan dengan gelaran Indonesia City Expo (ICE) ke 18. Digelar dari tanggal 7 sampai 10 Agustus 2022.
Padang beruntung benar. Diulang tahunnya ke 353, kota yang dipimpin Hendri Septa itu ditunjuk sebagai tuan rumah. Sekitar 4.000 orang dari 98 kota seluruh Indonesia akan hadir.
Hotel tentu akan penuh sesak. Restoran bakal ramai. Objek-objek wisata akan dipenuhi pengunjung. Toko-toko sovenir akan kebanjiran pembeli. Pokoknya akan ada durian runtuh ekonomi di bulan depan. Insyaallah.
Dalam masa singkat ini, panitia Rakernas harus kerja keras. Juga kerja cerdas. Mereka tidak boleh fokus menyiapkan materi-materi sidang saja. Lebih dari itu. Fasilitas luar ruang sidang harus disiapkan. Ini penting. Bahkan mungkin lebih penting.
Di sela-sela dan seusai rapat, peserta butuh penyegaran. Objek-objek wisata masyhur pasti jadi incaran. Sebelum berangkat dari kota masing-masing, peserta sudah punya catatan destinasi yang hendak dikunjungi. Baik destinasi yang berbasis alam maupun non-alam serupa kuliner. Biasanya begitu.
Menurut saya, Batang Arau mesti jadi perhatian khusus. Disiapkan untuk menunggu ribuan tamu-tamu kita itu. Di atas Batang Arau membentang jembatan yang memakai nama tokoh utama novel Siti Nurbaya: Kasih tak Sampai. Saya yakin, kemasyhuran novel sedih Siti Nurbaya karya Marah Roesli itu menggoda banyak tamu ingin melintasi dan mengunjungi jembatan itu.
Jembatan Siti Nurbaya juga perlintasan bagi tamu-tamu yang hendak ke Batu Malin Kundang yang legendaris. Perlintasan pula bagi mereka yang hendak menikmati indahnya mata hari terbenam di Marawa Beach Club yang baru-baru ini viral di media sosial.
Tidak itu saja. Batang Arau juga bersentuhan langsung dengan Kota Tua yang terkenal. Tamu-tamu yang mengeksplorasi Kota Tua pasti menyusuri sebagian aliran Batang Arau.
Pendeknya, Batang Arau adalah etalase kota. Mata setiap tamu pasti tertuju ke etalase. Alangkah malunya kita sebagai tuan rumah bila para tamu bergumam ketika mengunjungi jembatan Siti Nurbaya atau Batang Arau: "Sungai seindah ini kok dibiarkan sekotor ini ya?". Atau, "Sungai ini indah benar ya, sayangnya kotor dan amburadul". Dan, kalimat-kalimat minor lainnya.
Jika ini terjadi, kita warga pasti rugi besar. Target 5 juta wisatawan dengan pendapatan sebesar 80-90 milyar setahun akan terganggu. Taroklah tahun ini tercapai karena perhelatan Rakernas APEKSI dan ICE, tapi kerugian menunggu di muka. Orang tidak mau datang lagi. Bahasa dagangnya, repeat order tidak terjadi. Bahkan bisa menjadi demosi bagi pariwisata kota Padang umumnya.
Sepulang dari Batang Arau mereka berkemungkinan akan bilang begini: "Kalau mau berwisata jangan ke Padang ya. Orangnya kotor. Nikmat Batang Arau saja tidak bisa dikelolanya sebagaimana mestinya".
Membenahi Batang Arau tidak hanya membenahi sisi dalam sungainya saja. Sisi dalam pasti: sedimen harus dikeruk, ragam sampah harus dikeluarkan, bangkai-bangkai kapal harus diangkat, dan dermaga-dermaga lapuk yang sudah tidak terpakai harus dibereskan.
Bagian luar Batang Arau harus pula ditertibkan. Trotoar bagus yang membentang di sepanjang Batang Arau harus dibebaskan dari semua hambatan. Baik hambatan dari kontainer ikan para nelayan yang ditaruhnya di atas trotoar ataupun hambatan dari lapak-lapak Pedagang Kaki Lima nakal.
Khusus untuk Batang Arau bagian luar ini, saya membayangkan di sela-sela Raker, tamu-tamu kita itu bisa berjalan-jalan santai tanpa hambatan di areal bawah Jembatan di Kampung Batu sampai ke Seberang Pebayan sembari menikmati jagung bakar dan penganan lainnya.
Meski tidak lagi banyak, waktu masih ada. Wali Kota dan jajarannya harus gaspoll membenahi Batang Arau. Instansi vertikal ataupun yang berada di bawah kendali pemerintah provinsi harus dimintai bantuan. Minta nafas ke luar badan untuk kebaikan tidak apa-apa.
Masyarakat seputaran Batang Arau harus dibawa serta. Bahkan harus menjadi pelakon utama. Tidak serupa selama ini: masyarakat melihat-lihat dari jauh saja ketika ada "orang lain" yang datang membenahi Batang Arau.
Partisipasi publik harus dibangun. Harus didudukkan pemahaman bersama bahwa kota ini milik bersama. Sebab itu, kita semua bertanggung jawab merawatnya. Dalam konteks Batang Arau, masyarakat tempatan harus menjaga milik mereka, bersama-sama. Toh, jika Batang Arau terkelola baik, penikmat utamanya mereka juga. Baik nikmat sosial maupun nikmat ekonomi.
Miko Kamal: Koordinator Koalisi Masyarakat Peduli Batang Arau