Rahasia di Balik Persepsi: Kunci Komunikasi yang Lebih Efektif

Rahasia di Balik Persepsi: Kunci Komunikasi yang Lebih Efektif

Facya Apriranda. (Foto: Dok. Pribadi)

Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa terkadang pesan kita disalahpahami? Ternyata, cara kita memandang diri sendiri dan orang lain adalah kuncinya."

"Setiap komunikasi yang kita lakukan, baik dengan sahabat, keluarga, atau rekan kerja, selalu dipengaruhi oleh satu hal yang sering kita abaikan: persepsi."

Salah satu bab terpenting dalam buku The Interpersonal Communication Book karya Joseph DeVito adalah Bab 3, yang membahas tentang "Perception of the Self and Others in Interpersonal Communication." Bab ini menyoroti betapa besar pengaruh persepsi terhadap cara kita berkomunikasi dan memahami orang lain. Meskipun tampak sederhana, persepsi adalah dasar dari semua interaksi antar pribadi yang kita lakukan dalam kehidupansehari-hari.

  • Presepsi diri dan dampaknya

Persepsi terhadap diri sendiri adalah sebuah pengaruh  besar dalam bagaimana kita menghadapi dunia.Di dalam buku ini pastinya Menurut DeVito, persepsi diri kita terbentuk dari banyaknya pengalaman hidup yang kita lalui, bagaimana pandangan orang lain terhadap kita, dan prinsip hidup yang kita jalani. Semua ini bisa kita lihat dari cara kita menilai kekuatan diri kita dan kelemahan diri kita sendiri dalam berkomunikasi. Misalnya, seseorang yang introvert atau seseorang yang sulit berkomunikasi dengan orang lain,ketika pada suatu momen dihadapkan harus berkomunikasi di depan umum maka ia akan terlihat gugup dan dan sangat kesulitan dalam berbicara.

Ini terjadi karna seseorang membangun presepsi yang negatif dalam dirinya. Yang pada akhirnya mempengaruhi interaksi kita dengan orang lain. Namun sebaliknya,Persepsi diri yang positif, di sisi lain, bisa memperkuat dan mempermudah cara kita menyampaikan pesan dan bagaimana orang lain merespons kita.

Self-esteem, atau penghargaan terhadap diri sendiri, menjadi elemen yang sangat penting dalam persepsi diri. DeVito menjelaskan bahwa self-esteem akan sangat berpengaruh tentang bagaimana kita menilai diri kita sendiri. Seseorang dengan self-esteem yang tinggi lebih mungkin berinteraksi dengan percaya diri, terbuka dalam menyampaikan pendapat, dan tidak takut terhadap penilaian orang lain. Sebaliknya, self-esteem yang rendah dapat menyebabkan seseorang merasa cemas saat berbicara, atau bahkan menghindari interaksi sosial sama sekali karna takut  terhadap penilaian orang lain yang buruk terhadap diri nya. Ini membuktikan bahwa bagaimana kita memandang diri sendiri, cara kita memanfaatkan kan power saat berbicara dengan orang lain. sangat berpengaruh terhadap seberapa besar usaha kita untuk mencapai tujuan berkomunikasi interpersonal dengan baik.

  • Membentuk presepsi terhadap orang lain:

Namun,pada bab tiga ini DeVito tidak hanya membahas tentang  cara kita memahami dan menilai diri kita sendiri,  tetapi juga bagaimana kita membentuk persepsi terhadap orang lain. Terkadang, kita secara tidak sadar menggunakan stereotip atau ber prasangka dalam menilai seseorang berdasarkan penampilan, nada suara, atau ekspresi wajah mereka.ini mengingatkan saya tentang perkataan ustazah Oki setiana dewi dalam satu ceramahnya : DON'T JUDGE A BOOKING BY ITS COVER ,jangan pernah menilai seseorang dari luarnya saja.

 Sebenarnya dengan melihat dari seseorang dari luarnya adalah bagian alami dari proses manusia untuk menyederhanakan informasi yang kompleks. Tetapi, tantangannya adalah bisa ga sih jika kita memastikan bahwa persepsi ini tidak menghalangi kita untuk benar-benar memahami orang lain secara lebih dalam? Misalnya, saat kita melihat seseorang yang sedang serius dan tidak banyak berbicara.kita pasti akan berfikir dia adalah seseorang yang pendiam dan tidak peduli dengan sekitar, padahal mungkin mereka hanya pemalu atau sedang fokus.

DeVito juga menjelaskan bahwa ada beberapa faktor seperti budaya, pengalaman masa lalu, dan konteks sosial dapat mempengaruhi penilaian kita terhadap orang lain. Budaya memiliki dampak yang sangat besar, karena nilai-nilai dan norma-norma budaya membentuk cara kita menilai perilaku orang lain. Sebagai contoh, dalam beberapa budaya, usia sangat dihormati.seseorang mungkin cenderung menilai atau menpersepsikan orang yang lebih tua sebagai orang yang lebih bijak dan sangat berpengalaman, sementara dalam budaya lain, dimana orang yang berusia muda lebih dianggap inovatif dan pendapat mereka  memiliki bobot yang sama dengan yang lebih tua. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa persepsi tidak selalu bersifat umum atau universal dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing individu.

  • Impression formation dan self-fullfiling prophecy

Salah satu konsep yang menarik dari bab ini adalah "impression formation" atau proses pembentukan kesan. Bagaimana kita membentuk kesan tentang seseorang dalam komunikasi pertama sangat menentukan jalannya hubungan. Sering kali, kesan pertama tidak sepenuhnya akurat   atau benar karena kita cenderung terburu-buru menarik kesimpulan. Ini mengajarkan kita untuk lebih sabar dan teliti dalam mengenal orang lain, sehingga kita tidak hanya mengandalkan persepsi awal yang bisa saja salah. Dengan mendengarkan lebih dalam, dan mengenal orang lain dengan bertahap,dan memberikan waktu kepada orang lain untuk menunjukkan jati dirinya, kita bisa menghindari penilaian yang terlalu cepat atau berburuk sangka kepada orang lain dan tentunya akan membentuk hubungan yang lebih positif.

DeVito juga membahas konsep “self-fulfilling prophecy” dalam bab ini, di mana ekspektasi kita terhadap diri sendiri atau orang lain bisa menjadi kenyataan hanya karena kita percaya itu akan terjadi. Kita bisa mengambil contoh di dalam pengalaman saya pribadi. Ketika SMA,saya terpilih mewakili sekolah untuk lomba duta kamtibmas atau duta kepolisian,saat itu saya dengan penuh percaya diri dan berekspektasi akan menang dan saya akan mewakili kabupaten ke provinsi,dengan kepercayaan yang tinggi akhirnya saya benar benar bisa mencapai ekspektasi saya untuk menjadi duta kamtibmas tersebut.

Misalnya lagi, ketika kita yakin seseorang menyukai kita, kita mungkin akan bertindak salah tingkah atau juga menunjukkan perasaan yang sama yang membuat  orang tersebut semakin dekat dengan kita. Ini menunjukkan betapa kuatnya persepsi kita dalam mempengaruhi realitas komunikasi interpersonal. Efek dari "self-fulfilling prophecy" ini juga sering terlihat di dunia perkuliahan atau dalam hubungan sosial di masyarakat,di mana keyakinan seseorang tentang bagaimana orang lain akan bertindak bisa membentuk hasil yang diharapkan, baik positif maupun negatif.

  • Impression management dalam komunikasi

Selain itu, DeVito juga menyatakan  pentingnya impression management, yaitu cara kita mengendalikan tingkah laku yang kita buat di hadapan orang lain. Dalam setiap interaksi, kita cenderung ingin menampilkan sisi terbaik kita, baik melalui kata-kata, penampilan, maupun bahasa tubuh. Impression management ini penting tidak hanya dalam lingkungan sosial, tetapi juga dalam konteks profesional. Misalnya, dalam wawancara organisasi, kita akan berusaha untuk menunjukkan bahwa kita adalah kandidat yang kompeten dan percaya diri, dan tentunya sangat bisa di andalkan. Namun, DeVito juga mengingatkan bahwa terlalu fokus pada kesan yang ingin kita buat bisa menyebabkan kita menjadi tidak asli atau tidak jujur dengan diri kita sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara impression management dan keterbukaan sangat penting dalam menjaga hubungan yang sehat.

  • Kesimpulan:

Inti dari bab ini mengajak kita untuk lebih mempertimbangkan atau merenungkan ketika kita melihat diri sendiri dan orang lain. Persepsi tidak selalu merupakan representasi akurat dari realitas, tetapi lebih sering merupakan interpretasi kita yang bisa saja bias. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menyadari potensi bias atau mengambil keputusan yang baik dalam persepsi, agar kita dapat berkomunikasi dengan lebih terbuka dan efektif. DeVito menekankan bahwa semakin kita sadar akan faktor-faktor yang memengaruhi persepsi kita, maka akan semakin besar kemampuan kita untuk beradaptasi dalam komunikasi dan memperbaiki hubungan yang mungkin selama ini banyak terjadi kesalahan pahaman atau miskomunikasi.

Bagi saya, Bab 3 ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kita sering kali tidak menyadari bahwa cara kita memandang diri sendiri dan orang lain sangat berpengaruh dalam kualitas komunikasi kita. Dengan lebih memahami persepsi atau cara memahami diri kita sendiri,kita bisa menjadi komunikator yang lebih baik dan membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih tulus. Kita harus belajar untuk lebih membuka pikiran, mendengarkan dengan rasa empati, dan menghargai perbedaan perspektif agar komunikasi kita lebih efektif. Pada akhirnya, komunikasi yang baik bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal bagaimana kita menerima, menghargai, menafsirkan, dan merespons pesan-pesan dari orang lain.

Dengan demikian, Bab 3: Perception of the Self and Others in Interpersonal Communication memberikan panduan yang sangat penting dan menarik untuk dibaca karena kita dapat memahami bagaimana persepsi memengaruhi komunikasi kita sehari-hari.

Ini bukan hanya soal apa yang kita lihat di permukaan, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa lebih sadar dan lebih bisa merenungi setiap pengalaman yang kita lalui. Sehingga dapat membangun peran persepsi dalam menciptakan interaksi yang lebih bermakna kedepannya . Mari kita mulai dengan mempraktikkan keterbukaan dalam berkomunikasi, dan melihat dari sudut pandang yang lebih luas.

*Penulis: Facya Apriranda (Mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Peran Media Sosial Sebagai Alat Sosialisasi Politik Menjelang Pilkada 2024 pada Generasi Z
Peran Media Sosial Sebagai Alat Sosialisasi Politik Menjelang Pilkada 2024 pada Generasi Z
Dari Meme Hingga Gerakan: Dampak Media Sosial Terhadap Partisipasi Politik Gen Z
Dari Meme Hingga Gerakan: Dampak Media Sosial Terhadap Partisipasi Politik Gen Z
Membangun Budaya Politik Sehat Lewat Sosialisasi Politik Inklusif
Membangun Budaya Politik Sehat Lewat Sosialisasi Politik Inklusif
Budaya Politik Apatis Sebagai Ancaman Demokrasi Indonesia
Budaya Politik Apatis Sebagai Ancaman Demokrasi Indonesia
Siapa yang Layak Memimpin? Ketika Popularitas Menutupi Kompetensi
Siapa yang Layak Memimpin? Ketika Popularitas Menutupi Kompetensi
Catherine Jinks: Penguasa Dunia Fantasi
Catherine Jinks: Penguasa Dunia Fantasi